Lanjut ke konten

faisal basri

  • About
  • Contact
  • Contact

Bulan: Agustus 2014

31 Agu 201429 Jan 2019 faisal basri Analisis Ekonomi Kompas, Migas, Public Policy

Jurus Pamungkas BBM Bersubsidi


Produksi minyak nasional pada Juli 2014 tinggal 788.000 barrel per hari, hanya separuh dari tingkat produksi 34 tahun yang lalu (1980). Sebaliknya, konsumsi minyak naik dua kali lipat hanya dalam waktu 20 tahun, dari sekitar 807.000 barrel per hari tahun 1994 menjadi sekitar 1.650.000 barrel per hari tahun 2014.

Tak pelak lagi, kesenjangan antara konsumsi minyak dan produksi minyak kian menganga. Dalam 12 tahun terakhir saja, selisih antara konsumsi dan produksi minyak melonjak berlipat ganda, dari hanya 46.000 barrel per hari menjadi sekitar 750.000 barrel per hari, atau lebih dari 16 kali lipat.

Devisa yang terkuras untuk impor minyak tahun 2013 mencapai 42,2 miliar dollar AS, sedangkan ekspor minyak hanya 14,5 miliar dollar AS sehingga defisit minyak tahun 2013 mencapai 27,7 miliar dollar AS. Selama semester pertama tahun ini, defisit minyak sudah mencapai 13,7 miliar dollar AS.

Defisit minyak pertama kali terjadi pada awal pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2004. Kala itu defisitnya masih 3,8 miliar dollar AS. Berarti, selama dua periode pemerintahan Yudhoyono, defisit minyak meroket lebih dari tujuh kali lipat.

Mekanisme paling ampuh untuk menemukan keseimbangan baru yang berkelanjutan agar kita berdaulat di bidang energi dan terhindar dari krisis minyak adalah penyesuaian harga. Tanpa penyesuaian harga, pemerintah tidak bakal mampu mengelola kebijakan energi nasional karena terlalu banyak variabel yang tidak bisa dikendalikan oleh pemerintah untuk menjaga harmoni permintaan dan penawaran minyak.

Kalau pemerintah bersikukuh mempertahankan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi pada level sekarang, subsidi BBM bakal terus menggelembung. Kuota BBM bersubsidi harus senantiasa dinaikkan, impor minyak kian menggila, serta defisit perdagangan barang (trade account) dan defisit akun lancar (current account) bakal terus menghantui sehingga menekan nilai rupiah.

Selama empat tahun terakhir, harga minyak ekspor Indonesia selalu di atas 100 dollar AS per barrel. Gejolak di kawasan kaya minyak tampaknya akan berkepanjangan sehingga harga minyak tetap tinggi. Penjualan mobil dalam enam tahun ini naik 3,5 kali lipat dan penjualan sepeda motor naik 1,65 kali lipat. Sementara itu, nilai tukar rupiah selama tiga tahun terakhir merosot 27,8 persen dari tingkat terkuatnya pada 2 Agustus 2011.

Antrean panjang di stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU) di sejumlah daerah merupakan konsekuensi logis dari inkonsistensi pemerintah mengelola BBM. Mempertahankan kuota BBM bersubsidi sebesar 46 juta kiloliter tahun ini yang sama dengan tahun lalu merupakan kemustahilan. Menghadapi gelagat kuota BBM bersubsidi bakal terlampaui, pemerintah lewat Pertamina membatasi pasokan. Dengan menggunakan mekanisme nonharga ini, niscaya terjadi kelebihan permintaan (excess demand) sehingga menimbulkan kelangkaan (shortage). Mahasiswa fakultas ekonomi semester pertama pun sangat paham soal itu.

Ketimbang berkutat dengan segala jurus nonharga mengendalikan permintaan BBM bersubsidi, alangkah arif jika pemerintah menohok ke akar masalah agar kanker BBM tidak menjalar ke sekujur tubuh perekonomian.

Setahun setelah kenaikan harga BBM memang bakal menekan perekonomian, membebani hampir seluruh segmen masyarakat, terutama penduduk miskin dan nyaris miskin (near poor). Adalah tugas utama pemerintah melindungi kelompok masyarakat yang paling rentan gejolak. Namun, kita pun ingin tidak hidup di bawah bayang-bayang mitos.

Penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan pada Maret 2014 berjumlah 28,28 juta, hampir dua pertiga tinggal di pedesaan. Harga beraslah yang paling sensitif bagi orang miskin dan nyaris miskin di pedesaan karena belanja untuk beras menghabiskan sepertiga dari belanja total mereka.

Selama lima tahun terakhir, harga beras naik 75,8 persen dari Rp 6.441 per kilogram (kg) pada November 2008 menjadi Rp 11.321 per kg pada Juli 2014. Cukup banyak keluarga tani yang menjadi pembeli neto, artinya produksi beras lebih kecil ketimbang konsumsi beras mereka. Selain itu, kenaikan harga eceran beras juga tidak proporsional dengan harga yang petani peroleh. Pada periode yang sama, harga padi dengan kadar air di bawah 14 persen di tingkat petani hanya naik 58 persen, dari Rp 2.909,18 per kg pada November 2008 menjadi Rp 4.597,59 per kg pada Juli 2014.

Sementara itu, selama November 2008 hingga Juli 2014, harga bensin bersubsidi hanya naik 8,3 persen, dari Rp 6.000 per liter menjadi Rp 6.500 per liter. Orang miskin di pedesaan hanya mengeluarkan 2,46 persen dari pengeluaran totalnya untuk bensin. Pengeluaran terbesar kedua yang menentukan garis kemiskinan di pedesaan adalah untuk rokok keretek filter, yaitu 8,64 persen.

Jadi, cara paling ampuh menurunkan angka kemiskinan bukanlah dengan mempertahankan harga BBM bersubsidi yang nyata-nyata menambah kenikmatan kelas menengah ke atas, melainkan dengan menjaga kestabilan harga beras di tingkat eceran seraya mendorong pendapatan petani dengan mereformasi mata rantai setelah panen. Selain itu, juga dengan menaikkan cukai rokok agar petani kian menjauh dari barang yang merusak kesehatan dan kantong petani.

Dampak inflatoar dari kenaikan harga BBM bisa ditekan dengan memilih momentum kenaikan yang tepat. Dari perilaku inflasi bulanan pada 10 tahun terakhir, waktu paling pas menaikkan harga BBM adalah bulan September. Semoga Presiden Yudhoyono berbesar hati melakukannya, mengakhiri pemerintahannya dengan tinta emas, paling tidak kenaikan Rp 1.500, sehingga bisa menghemat anggaran tahunan Rp 69 triliun. Lalu, pemerintah baru nanti menaikkan lagi sebesar Rp 1.500 pada Februari atau selambat-lambatnya April 2015.

Dana tambahan di APBN sebesar Rp 138 triliun dialokasikan untuk membangun sektor pertanian guna melumatkan kemiskinan di desa. Selain itu, sebagian dana juga untuk membenahi angkutan umum dan membangun perumahan terjangkau di kota besar guna membasmi kemiskinan di perkotaan.

Dengan begitu, mulai tahun 2016 kita bisa keluar dari perangkap dan mitos BBM, lalu melaju dengan kecepatan penuh.

[Dimuat di Harian Kompas, Senin, 1 September 2014, hal. 15]

10 Agu 201429 Jan 2019 faisal basri Analisis Ekonomi Kompas, Perjalanan, Public Policy

Hantu BBM


Tahun lalu impor minyak (minyak mentah dan produk bahan bakar minyak) menyedot devisa sebanyak 42,1 miliar dollar AS, naik 5,6 kali lipat dibandingkan dengan sepuluh tahun lalu yang masih senilai 7,5 miliar dollar AS.

Pada kurun waktu yang sama ekspor minyak hanya naik dua kali lipat, dari 7.2 miliar dollar AS pada tahun 2003 menjadi 14,5 miliar dollar AS pada tahun 2013.

Tak ayal, transaksi perdagangan minyak jungkir balik, dari surplus 0,3 miliar dollar AS pada tahun 2003 menjadi defisit yang meroket sebesar 27,7 miliar dollar AS pada tahun 2013.

Tak tanggung-tanggung, impor minyak tahun 2013 mencapai 43 persen dari cadangan devisa pada pertengahan tahun 2013 (akhir bulan Juni). Daya perusak minyak, terutama bahan bakar minyak (BBM), tampak pula dari kenyataan selama lima tahun terakhir ini.

Komoditas ini menjadi  pengimpor terbesar, mengalahkan impor mesin dan peralatan mekanik serta mesin dan peralatan listrik yang selama puluhan tahun berada di urutan pertama dan kedua. Minyaklah yang merupakan penyumbang terbesar pelemahan nilai tukar rupiah.

Tekanan minyak terhadap sekujur perekonomian terus berlanjut dan kian berat hingga sekarang. Anggaran Pendaptan dan Belanja Negara (APBN) digerogoti subsidi yang menggelembung, diperkirakan tahun ini sekitar Rp 260 triliun untuk BBM dan sekitar 104 triliun untuk listrik. Total subsidi untuk energi yag berjumlah sekitar 364 itu lebih besar dari APBN Perubahan yang hanya dianggarkan Rp 350 triliun.

Kuota solar dan premium bersubsidi sebesar 46 juta kiloliter tahun ini juga hampir pasti bakal terlampaui.

Menghadapi tekanan terhadap neraca pembayaran dan nilai tukar rupiah serta APBN yang telah berlangsung bertahun-tahun tidak membuat pemerintah belajar dan kian bijak. Urat nadi persoalan justru tak kunjung disentuh.

Penyesuaian harga BBM bersubsidi terakhir pada akhir Juni 2013 hanya mengembalikan tingkat harga Januari 2009. Jadi, praktis selama lima tahun terakhir tidak terjadi kenaikan harga BBM bersubsidi. Bahkan harga riil atau harga relatif BBM bersubsidi turun sehingga konsumsi naik pesat.

Pemerintah masih saja berakrobat dengan beragam wacana dan jurus tumpul. Tak satu pun jurus yang berjalan efektif. Sebut saja mulai dari pemasangan stiker mobil dinas pemerintah, wacana pembatasan penggunaan BBM bersubsidi untuk kendaraan pribadi, pemasangan radio frequency identification (RFID) yang tak jelas kelanjutannya, penggantian mulut tangki mobil terjangkau dan ramah lingkungan (LCGC), pembelian BBM bersubsidi nontunai, hingga inisiatif terakhir pembatasan lokasi dan waktu operasi penjualan solar bersubsidi.

Semakin banyak inisiatif pengendalian BBM bersubsidi, wujudnya semakin kontra produktif bagi perekonomian serta berpotensi menimbulkan beragam masalah baru yang bertambah pelik dan menambah ketidakpastian. Semua itu berujung pada ongkos penundaan yang kian mahal. Boleh jadi akumulasi ongkos penundaan lebih mahal daripada ongkos memangkas subsidi BBM secepatnya.

Ongkos penundaan paling kentara adalah tetap tingginya defisit akun lancar (transaksi berjalan/current account) dan  gejolak nilai tukar rupiah, penyelundupan dan manipulasi kian marak, ongkos berutang semakin mahal akibat sovereign rating (peringkat utang negara) tak membaik karena risiko fiskal naik, dan diversifikasi energi nonfosil terhambat.

Ujung-ujungnya adalah pertumbuhan ekonomi melambat. Sudah 14 triwulan terakhir ini pertumbuhan ekonomi mengalami tren menurun. Dalam dua triwulan terakhir pertumbuhan PDB masing-masing hanya 5,2 dan 5,1 persen, merosot dari 5,7 persen pada triwulan IV-2013.

Bukannya menawarkan kebijakan anti-cyclical untuk  membalikkan kecenderungan, tetapi justru pemerintah dan Bank Indonesia sibuk berulang kali mengoreksi proyeksi atau target pertumbuhan, seraya menempuh langkah-langkah yang “mencekik” kegiatan ekonomi produktif.

Sebagai contoh, tengok saja pertumbuhan konsumsi pemerintah yang turun tajam selama tiga triwulan terahir, dari 8,6 persen pada triwulan III-2013 menjadi 6,4 persen pada triwulan IV-2013 dan 3,6 persen pada triwulan I-2014, serta akhirnya kontraksi (minus) 0,7 persen pada triwulan II-2014.

Pemerintah juga selalu menjadikan perekonomian dunia, khususnya pertumbuhan di Amerika Serikat dan Tiongkok, sebagai kambing hitam. Padahal, pertumbuhan ekonomi AS naik tajam dari minus 2,1 persen pada triwulan I-2014 menjadi 4,0 persen pada triwulan II-2014.

Perekonomian AS yang membaik dipandang sebagai ancaman karena bakal mendorong Bank Sentral AS (The Fed) mengurangi stimulus. Sebaliknya, kalau memburuk, juga jadi ancaman terhadap ekspor Indonesia.

Kemungkinan perlambatan ekonomi Tiongkok juga dipandang berdampak terhadap perlambatan ekspor kita, padahal Dana Moneter Internasional (IMF) hanya mengoreksi proyeksi pertumbuhan Tiongkok dari 7,5 persen menjadi 7,4 persen untuk tahun 2014.

Kondisi geopolitik dunia dan regional makin tak menentu. Konflik di sejumlah kawasan yang kaya minyak tampaknya akan terus berlanjut. Faktor itu yang membuat harga minyak mentah dunia bakal tetap di kisaran 100 dollar AS per barrel dan sewaktu-waktu harga minyak mentah bisa naik tajam.

Jangan biarkan kanker menjalar ke sekujur tubuh perekonomian. Menaikkan harga BBM bersubsidi secepatnya paling tidak sebesar Rp 1.500 per liter merupakan kemoterapi yang menyakitkan, tetapi menjanjikan penyembuhan total. Menundanya sama saja dengan mewariskan bom waktu kepada pemerintahan baru.

Kita yakin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bakal meninggalkan legacy sebagai negarawan bijak bestari.

[Dimuat di Harian Kompas, Senin, 11 Agustus 2014, hal.15]

Tulisan Terakhir

  • Artidjo Alkostar: Kisah Teladan yang Tak Ada Duanya
  • Hampa
  • Refleksi Tahun Pandemi
  • Asa untuk Menteri Kesehatan yang Baru
  • Sosok IR. Djuanda di Balik Hari Nusantara

Komentar Terbaru

faisal basri pada Artidjo Alkostar: Kisah Telada…
Totok Harianto pada Artidjo Alkostar: Kisah Telada…
Obituari Dr Artidjo… pada Artidjo Alkostar: Kisah Telada…
faisal basri pada Artidjo Alkostar: Kisah Telada…
faisal basri pada Artidjo Alkostar: Kisah Telada…

Arsip

  • Februari 2021
  • Januari 2021
  • Desember 2020
  • November 2020
  • Oktober 2020
  • September 2020
  • Agustus 2020
  • Juli 2020
  • Juni 2020
  • Mei 2020
  • April 2020
  • Maret 2020
  • Februari 2020
  • Januari 2020
  • Desember 2019
  • November 2019
  • Oktober 2019
  • September 2019
  • Agustus 2019
  • Juni 2019
  • April 2019
  • Maret 2019
  • Februari 2019
  • Januari 2019
  • November 2018
  • Oktober 2018
  • September 2018
  • Agustus 2018
  • Juni 2018
  • Februari 2018
  • Desember 2017
  • November 2017
  • Oktober 2017
  • September 2017
  • Agustus 2017
  • Juli 2017
  • Juni 2017
  • Mei 2017
  • April 2017
  • Maret 2017
  • Februari 2017
  • Januari 2017
  • Desember 2016
  • November 2016
  • September 2016
  • Agustus 2016
  • Juli 2016
  • Juni 2016
  • Mei 2016
  • April 2016
  • Maret 2016
  • Februari 2016
  • Januari 2016
  • Desember 2015
  • November 2015
  • September 2015
  • Agustus 2015
  • Juli 2015
  • Juni 2015
  • Mei 2015
  • April 2015
  • Februari 2015
  • Desember 2014
  • November 2014
  • Oktober 2014
  • September 2014
  • Agustus 2014
  • Juli 2014
  • Juni 2014
  • Mei 2014
  • April 2014
  • Maret 2014
  • Februari 2014
  • Januari 2014
  • Desember 2013
  • November 2013
  • Oktober 2013
  • September 2013
  • Agustus 2013
  • Juli 2013

Kategori

  • Agriculture
  • Analisis Ekonomi Kompas
  • Audio
  • Automotive
  • Bank Century
  • Books
  • Buku
  • Capital Market
  • Cokro TV
  • corona virus COVID-19
  • coronavirus covid-19
  • Corruption
  • Culture
  • debt
  • Development
  • Education
  • Ekonomi Internasional
  • Ekonomi Politik
  • Employment
  • Energi
  • English
  • Environment – Green Economy
  • faisal basri
  • FDI
  • Financial Sector
  • fintech
  • Fiscal Policy
  • Food
  • Food & beverages
  • Gerakan Petani
  • Goresan
  • Health
  • Humaniora
  • Humor
  • ICT
  • Indonesian Economy
  • Industri
  • Inequality and Poverty
  • Infrastructure
  • Institutions
  • International
  • Interview
  • Investment
  • investment
  • JSS
  • Ketenagakerjaan
  • Lecture
  • Makroekonomi
  • Manufactures
  • Maritim
  • Migas
  • minerba
  • Mining
  • Monetary Policy
  • News
  • Oil and Gas
  • Omnibus Law
  • Perjalanan
  • Pilpres 2014
  • Podcast
  • Political Economy
  • Politics
  • Politik
  • poverty
  • Public Policy
  • R&D
  • Regional Development
  • Salah Kaprah
  • Services
  • Sesat Pikir
  • SJSN
  • SOEs
  • Sosok
  • Tata Niaga
  • Taxation
  • TKI
  • Tokoh
  • Tourism
  • umkm
  • Uncategorized
  • Urban Development
  • Utang
  • Video

Meta

  • Daftar
  • Masuk
  • Feed entri
  • Feed Komentar
  • WordPress.com
Buat situs web atau blog di WordPress.com Tema: Ixion oleh Automattic.