faisal basri

wear the robes of fire — kesadaran nurani dan akal sehat


  • Indonesia adalah Rumah Kita

    Tempat  bermukim buat semua

    Tak membedakan suku, warna kulit, agama, dan asal muasal

    Untuk merajut asa wujudkan Indonesia yang berkeadilan dan sejahtera

    *

    Kita berbagi cerita dan cara

    Bukan memonopoli mau sendiri dan mimpi kosong

    Bukan dengan memaksakan kehendak dengan bedil

    Bukan dengan menindas kelompok yang tidak disuka.

    Bukan dengan membungkam barisan seberang

    *

    Anasir-anasir negara dan korporasi berkelindan

    Mewujudkan mimpi mereka sendiri

    Merampas tanah rakyat

    Membungkam suara Nurani

    Mengeruk kekayaan negeri untuk membangun kerajaan lewat politik dinasti

    Mereka membentuk kawanan rayap dan kecoak bertaring tajam

    Mengusik rumah kita, Rumah Indonesia

    *

    Mereka kian menggerogoti segala penjuru rumah kita

    Menyerang fondasi

    Mengacak-acak pilar-pilar bangunan

    Membombardir atap

    Tak pelak, Rumah Indonesia mulai oleng

    *

    Dentuman drum

    Lengkingan gitar

    Alunan dan pekik penyanyi

    Entakan kaki-kaki penonton

    Membuat kawanan rayap dan kecoak

    Pekak dan tuli

    Pandangan matanya merabun

    Sekujur tubuhnya kuyu

    Dengan lemah lunglai, mereka mengambil Langkah seribu terbirit-birit

    Meninggalkan arena

    *

    Kini saatnya 

    Kita kembali menata Rumah Indonesia

    Memperkuat fondasi

    Mereparasi pilar-pilar

    Dan menambal kebocoran

    Untuk mewujudkan Indonesia baru

    Mewariskan kejayaan bagi generasi mendatang

    *

    Saatnya

    Kejujuran

    Yang memimpin

    Bangsa ini

    ***

    Jakarta, 9 Desember 2023, diperbarui pada 18 Agustus 2024.


  • Catatan: Narasi berikut ini sepenuhnya disusun oleh pengelola podcast. Rekaman dilakukan pada Selasa, 23 Januari 2024 yang hasilnya bisa diunggah di link yang tentera di akhir narasi ini.

    ***

    Ekonom senior yang juga merupakan salah satu pendiri Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Faisal Basri mengungkapkan setidaknya ada 15 menteri yang siap mundur dari Kabinet Indonesia Maju pemerintahan Presiden Joko Widodo.

    Menurut Faisal, mundurnya para menteri itu selain karena arah politik yang berseberangan dengan Jokowi dalam Pilpres 2024 yang mendukung salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden tertentu juga disebabkan banyaknya intervensi politik yang dilakukan Jokowi terhadap tugas pokok dan fungsi mereka.

    Dia menyebutkan, total ada 15 menteri yang berpotensi mundur, termasuk Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono.

    Faisal menjabarkan, selain dua orang itu, akan ada lima orang menteri yang berasal dari partai politik PDI Perjuangan, lalu Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas Suharso Monoarfa, dan dua menteri dari PKB.

    Selanjutnya, ada satu menteri dari NasDem, yakni Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar. Kemudian, ada pula Menteri ESDM Arifin Tasri, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, serta Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD.

    Ia mengatakan, mundurnya sejumlah menteri dalam suatu kabinet di Indonesia bukanlah hal baru terjadi. Sebab, saat masa pemerintahan Presiden Soeharto juga pernah terjadi. Saat itu menurutnya belasan menteri juga mundur menyebabkan Soeharto juga ikut mundur.

    Bagaimana tentang kemungkinan mundurnya menteri-menteri tersebut? berikut obrolan eksklusif host Gerak98 Ignatius Indro dan Faisal Basri pada program Gerak-Gerik.


  • Agaknya tidak memadai untuk menelaah persoalan nikel sekedar dengan menggunakan analisis teknis bisnis atau teknis ekonomi. Tulisan berikut mencoba untuk menguraikan lingkungan eksternal atau lingkungan strategis yang mewarnai keberadaan smelter nikel di Tanah Air tercinta.

    ***

    MENGULIK KEBERADAAN SMELTER NIKEL: LINGKUNGAN STRATEGIS

    (Faisal Basri)

    Terima kasih banyak kepada Saudara Septian Hario Seto dan Mas Yustinus Prastowo yang telah menanggapi tulisan saya. Baru tiga orang saja menyampaikan pandangannya, persoalan kehadiran smelter nikel dari negara China kian terang benderang. Apatah lagi kian banyak pihak yang mengetahui persoalan ini bersedia bersuara, insya Allah publik bakal bisa memahami duduk perkaranya dan proses perumusan kebijakan akan lebih baik lewat saling koreksi demi sebesar-besar kemakmuran rakyat dan berkeadilan sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 dan Pancasila. 

    Konteks Suprastruktur

    Kehadiran smelter nikel tidak berada dalam ruang hampa. Oleh karena itu tidak cukup menganalisisnya secara teknis ekonomi atau teknis bisnis. Tidak hanya sebatas lingkup nasional, melainkan juga menyangkut dinamika geopolitik dan geoekonomi global. Bukan lagi sekedar isu nasional, tetapi juga telah merambat sebagai isu global, melibatkan berbagai negara dan lembaga internasional. Pendekatan ekonomi politik agaknya lebih tajam untuk membedah keberadaan smelter nikel di Indonesia.

    Kepentingan nasional yang hakiki menjadi acuan. Sebagai negara berdaulat kita tidak sudi diintervensi oleh pihak luar. Namun, kita menentang nasionalisme sebagai kedok untuk membungkus kepentingan pribadi (vested interest) atau kepentingan golongan atau kelompok tertentu.

    Kalau dalam tulisan ini dan sebelumnya saya menyebut China, amat jelas bahwa yang dimaksud adalah China sebagai entitas negara. Jadi tidak ada terkandung sentimen ras sama sekali. China dalam obyek tulisan ini bukan saudara kita sebangsa setanah air yang beretnis Tionghoa. Tak sedikit pengelola tambang bijih nikel adalah saudara kita yang kebetulan etnis Tionghoa, bahkan beberapa di antaranya merupakan sahabat saya. Tidak kebetulan kalau saya sudah lama menjadi salah seorang tim pakar di organisasi INTI (Indonesia Tionghoa). Semoga penegasan ini memupus kekhawatiran sahabat saya, Mas Yustinus Prastowo, bahwa sebutan China bisa menyulut sentimen rasial. 

    Kinerja Ekonomi

    Gempita dan deru pembangunan selama pemerintahan Presiden Joko Widodo sungguh luar biasa. Tak heran jika investasi paling dikedepankan. Kebijakan hilirisasi yang menjadi unggulan membuat istilah industrialisasi meredup. Makna hilirisasi dan industrialisasi hampir setali tiga uang. Bedanya, hilirisasi bertujuan untuk mengolah sumber daya alam agar bernilai tambah kian tinggi —tidak semata-mata keruk jual, tebang-jual atau petik-jual. Ada pun industrialisasi bermakna lebih luas, tidak sebatas mengolah sumber daya alam. Industrialisasi bertujuan memperkuat struktur industri agar kokoh, berkelanjutan, berdaya saing, mengembangkan budaya industri (tidak sekedar membangun pabrik), memperbanyak porsi pekerja formal, membangun kelas menengah yang mumpuni, mempercepat transformasi perekonomian, serta mengurangi ketimpangan berbagai dimensi. Keberhasilan industrialisasilah yang merupakan salah satu prasyarat penting agar suatu negara terhindar dari middle income trap dan mampu menggapai status negara maju, bukan sekedar negara berpendapatan tinggi.

    Data resmi menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia selama 10 tahun terakhir justru mengalami perlambatan, tak beranjak dari kisaran lima persen –jauh dari target 7 persen pada pemerintahan Jokowi periode pertama dan 6 persen pada periode kedua.

    Perlambatan laju pertumbuhan ekonomi sejalan dengan penurunan laju pertumbuhan investasi atau pembentukan modal tetap bruto. Padahal hampir segalanya telah ditempuh. Tak tanggung-tanggung, ada Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Ketua BKPM sekaligus menyandang jabatan sebagai Menteri Investasi, dan pembentukan Satgas Percepatan Investasi. Telah hadir pula Omnibus Law, undang-undang sapu jagat yang bertujuan untuk mengenyahkan segala hambatan investasi, serta sejumlah insentif dan fasilitas istimewa untuk menarik investasi. Bahkan Presiden menyempatkan datang ke kantor pengusaha kelas kakap dunia.

    Bukannya meroket, justru pertumbuhan investasi semakin melambat. Pada semester pertama tahun ini investasi (pembentukan modal tetap bruto) hanya tumbuh 3,3 persen.

    Sekalipun porsi investasi dalam PDB turun, namun masih tergolong relatif tinggi dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Dengan porsi investasi dalam PDB yang sudah turun di sekitar 28 persen dewasa ini, pertumbuhan ekonomi sejatinya bisa lebih tinggi asalkan pemerintah berhasil menekan ICOR (incremental capital output ratio) yang melonjak tajam selama pemerintahan Jokowi. ICOR yang tinggi mencerminkan investasi tidak efisien akibat praktik mark-up dan korupsi, penunjukan langsung dalam pembangunan proyek-proyek pemerintah, perencanaan yang lemah, serta buruknya manajemen proyek.

    ndikasi korupsi semakin marak terlihat dari indeks persepsi korupsi (IPK) yang memburuk. Skor IPK pada 2022 turun tajam dari 38 pada 2021 menjadi 34 pada 2022, sehingga mundur kembali ke pencapaian delapan tahun sebelumnya (2014).

    Ternyata, kualitas investasi pun buruk. Sekitar tiga perempat pembentukan modal berwujud bangunan, sedangkan dalam bentuk mesin dan peralatan hanya sekitar 10 persen saja selama lima tahun terakhir. Bangunan semata tidak menghasilkan output fisik tanpa kehadiran mesin dan peralatan. Tidak pula mendorong ekspor barang.      

    Perbandingan dengan negara-negara Asia menggambarkan kualitas investasi kita yang lemah dalam menggerakkan industrialisasi. Kandungan teknologi dalam pembentukan modal relatif rendah sehingga tidak terjadi peningkatan produktivitas secara berarti. 

    Pemerintah menggencarkan hilirisasi. Sejumlah kawasan industri dan kawasan ekonomi khusus bermunculan. Namun, industrialisasi terus saja memudar. Pertumbuhan sektor industri manufaktur selalu lebih rendah dari pertumbuhan PDB sejak 2005 hingga kini, kecuali pada 2011. 

    Akibatnya, peranan industri manufaktur dalam PDB meluncur hingga titik terendah pada 2022, tinggal 18,3 persen. Tampak pada peraga di bawah bahwa kemerosotan di Indonesia paling tajam dan persisten. 

    Kemerosotan relatif industri manufaktur berimplikasi pada penurunan tax ratio hingga hanya mencapai satu digit, peningkatan pekerja informal yang telah mencapai 60 persen pada 2023, dan kemerosotan total factor productivity.

    Lingkungan strategis seperti itulah yang dihadapi oleh dunia usaha, termasuk keberadaan industri smelter nikel. Ditambah lagi dengan kemunduran demokrasi. Baik Democracy Index versi Economist Intelligence Unit maupun V-Dem Report menunjukkan peringkat Indonesia merosot tajam dalam dua tahun terakhir.

    Sejalan dengan penurunan indeks demokrasi, checks and balances meredup. Conflict of interest kian kasat mata di pusaran inti kekuasaan. Batas antara penguasa dan pengusaha kian pudar, sehingga menyuburkan oligarki.

    Di tengah dinamika lingkungan strategis seperti itu, smelter nikel hadir. Polemik keberadaan smelter nikel dan sejumlah kebijakan kontroversial tentu saja bukan sekedar fenomena bisnis atau ekonomi.


  • Bang Yusril Ihza Mahendra mempertemukan Sdr. Septian Hario Seto dengan saya pada 17 Agustus lalu. Berikut link videonya:


  • Tanggapan saya berdasarkan berita yang tayang di CNN Indonesia (https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20230810125627-532-984316/jokowi-jawab-tuduhan-faisal-basri-soal-hilirisasi-untungkan-china). Selengapnya:

    Jokowi Jawab Tuduhan Faisal Basri soal Hilirisasi Untungkan China

    Jakarta, CNN Indonesia — Presiden Jokowi merespons tudingan ekonom senior UI Faisal Basri soal hilirisasi nikel yang dilakukan pemerintah Indonesia selama ini justru menguntungkan China.


    Menurut Jokowi tuduhan itu tidak benar. Dia malah mempertanyakan balik metode yang digunakan Faisal Basri dalam menyatakan China dan negara lain diuntungkan dari kebijakan itu.

    “Hitungan dia bagaimana. Kalau hitungan kita ya, contoh saya berikan nikel, saat diekspor mentahan setahun kira-kira hanya Rp17 triliun. Setelah masuk ke industrial downstreaming, ada hilirisasi, menjadi Rp510 triliun,” katanya di Stasiun Dukuh Atas, Kamis (10/8).

    Jokowi menambahkan dari angka itu saja jelas; negara bisa mendapatkan pajak yang lebih besar dari hilirisasi nikel yang dilakukan.

    “Bayangkan saja, kalau kita ambil pajak dari 17 triliun sama yang dari Rp510 triliun besar mana? Karena dari situ, dari hilirisasi, kita akan dapatkan PPN, PPh badan, PPh karyawan, PPh perusahaan, royalti, bea ekspor, Penerimaan Negara Bukan Pajak, semuanya ada di situ. Coba dihitung saja, dari Rp17 triliun sama Rp510 triliun besar mana?” katanya.

    Faisal Basri menyebut China mendapat keuntungan besar dari kebijakan hilirisasi nikel Indonesia. Persentasenya mencapai 90 persen dari total keuntungan.

    Sementara Indonesia hanya mendapatkan 10 persen dari keseluruhan keuntungan dari kebijakan tersebut.

    Hal itu ia ungkapkan dalam Kajian Tengah Tahun INDEF bertemakan Menolak Kutukan Deindus-trialisasi baru-baru ini.

    “Hilirisasi sekadar bijih nikel jadi nickel pig iron (NPI) jadi feronikel lalu 99 persen diekspor ke China. Jadi hilirisasi di Indonesia nyata-nyata mendukung industrialisasi di China. Dari hilirisasi itu, kita hanya dapat 10 persen, 90 persennya ke China,” kata Faisal Basri, Selasa (8/8) lalu.

    Jawab

    Angka-angka yang disampaikan Presiden tidak jelas sumber dan hitung-hitungannya. Presiden hendak meyakinkan bahwa kebijakan hilirisasi nikel amat menguntungkan Indonesia dan tidak benar tuduhan bahwa sebagian besar kebijakan hilirisasi dinikmati oleh China. 

    Jika berdasarkan data 2014, nilai ekspor bijih nikel (kode HS 2604) hanya Rp1 triliun. Ini didapat dari ekspor senilai US$85,913 juta dikalikan rerata nilai tukar rupiah pada tahun yang sama yaitu Rp11,865 per US$.

    Lalu, dari mana angka Rp510 triliun? Berdasarkan data 2022, nilai ekspor besi dan baja (kode HS 72) yang diklaim sebagai hasil dari hilirisasi adalah US$27,8 miliar. Berdasarkan rerata nilai tukar rupiah tahun 2022 sebesar 14.876 per US$, nilai ekspor besi dan baja (kode HS 72) setara dengan Rp413,9 triliun.

    Terlepas dari perbedaan data antara yang disampaikan Presiden dan hitung-hitungan saya, memang benar adanya bahwa lonjakan ekspor dari hasil hilirisasi, yaitu 414 kali lipat sungguh sangat fantastis.

    Namun, apakah uang hasil ekspor mengalir ke Indonesia? Mengingat hampir semua perusahaan smelter pengolah bijih nikel 100 persen dimiliki oleh China dan Indonesia menganut rezim devisa bebas, maka adalah hak perusahaan China untuk membawa semua hasil ekspornya ke luar negeri atau ke negerinya sendiri.

    Berbeda dengan ekspor sawit dan turunannya yang dikenakan pajak ekspor atau bea keluar plus pungutan berupa bea sawit, untuk ekspor olahan bijih nikel sama sekali tidak dikenakan segala jenis pajak dan pungutan lainnya. Jadi penerimaan pemerintah dari ekspor semua jenis produk smelter nikel nihil alias nol besar.

    Jika keuntungan perusahaan sawit dan olahannya dikenakan pajak keuntungan perusahaan atau pajak penghasilan badan, perusahaan smelter nikel bebas pajak keuntungan badan karena mereka menikmati tax holiday selama 20 tahun atau lebih. Jadi, nihil pula penerimaan pemerintah dari laba luar biasa yang dinikmati perusahaan smelter nikel. Perusahan-perusahaan smelter China menikmati “karpet merah” karena dianugerahi status proyek strategis nasional. Kementerian Keuanganlah yang pada mulanya memberikan fasilitas luar biasa ini dan belakangan lewat Peraturan Pemerintah dilimpahkan kepada BKPM.

    Apakah perusahaan smelter China tidak membayar royalti? Tidak sama sekali. Yang membayar royalti adalah perusahaan penambang nikel yang hampir semua adalah pengusaha nasional. Ketika masih dibolehkan mengekspor bijih nikel, pemerintah masih memperoleh pemasukan dari pajak ekspor.

    Hilirisasi untuk Mendukung Industrialisasi di China

    Kita mendukung sepenuhnya industrialisasi, tetapi menolak mentah-mentah kebijakan hilirisasi nikel dalam bentuknya yang berlaku sekarang. 

    Hilirisasi ugal-ugalan seperti yang diterapkan untuk nikel sangat sedikit meningkatkan nilai tambah nasional. Nilai tambah yang tercipta dari kebijakan hilirisasi dewasa ini hampir seluruhnya dinikmati oleh China dan mendukung industrialisasi di China, bukan di Indonesia.

    Kebijakan hilirisasi nikel sudah berlangsung hampir satu dasawarsa. Namun, justru peranan sektor industri manufaktur terus menurun, dari 21.1 persen tahun 2014 menjadi hanya 18,3 persen tahun 2022, titik terendah sejak 33 tahun terakhir.

    Keberadaan smelter nikel juga tidak memperdalam struktur industri nasional. Jangan membayangkan produk smelter dalam bentuk besi dan baja yang langsung bisa dipakai untuk industri otomotif, pesawat terbang, kapal, bahkan untuk industri peralatan rumah tangga seperti panci, sendok, garpu, dan pisau sekalipun. Ada memang, tetapi jumlahnya sangat sedikit.

    Produk besi dan baja (HS 72) yang diproduksi dan diekspor terdiri dari banyak jenis . Yang dikatakan oleh Presiden adalah produk induknya atau produk di kelompok kode HS 72.

    Hampir separuh ekspor HS 72 adalah dalam bentuk ferro alloy atau ferro nickel. Ada pula yang masih dalam bentuk nickel pig iron dan nickel mate. Hampir semua produk-produk itu tidak diolah lebih lanjut, melainkan hampir seluruhnya diekspor ke China. Di China, produk-produk seperempat jadi itu diolah lebih lanjut untuk memperoleh nilai tambah yang jauh lebih tinggi. Lalu, produk akhirnya dijual atau diekspor ke Indonesia. Dalam porsi yang jauh lebih rendah adalah semi-finished products. Sejauh ini tak satu pun pabrik smelter yang berada di Sulawesi telah memproduksi batere untuk kendaraan listrik atau besi baja sebagai finished products. Rel untuk kereta cepat saja seluruhnya masih diimpor dari China.

    Tak ada yang meragukan bahwa smelter nikel menciptakan nilai tambah tinggi. Siapa yang menikmati nilai tambah tinggi itu? Tentu saja pihak China yang menikmatinya. Nilai tambah yang mengalir ke perekonomian nasional tak lebih dari sekitar 10 persen.

    Begini hitung-hitungannya.

    Nilai tambah smelter = produk smelter – bijih nikel.

    Nilai tambah dinikmati pengusaha berupa laba, pemodal dalam bentuk bunga, pekerja dalam bentuk upah, pemilik lahan dalam bentuk sewa. 

    Hampir semua smelter nikel milik pengusaha China. Karena dapat fasilitas tax holiday, tak satu persen pun keuntungan itu mengalir ke Tanah Air.

    Hampir seratus persen modal berasal dari perbankan China, maka pendapatan bunga juga hampir seluruhnya mengalir ke China. Banyak di antara mereka yang bukan tenaga ahli, di antaranya juru masak, satpam, tenaga statistik, dan sopir. Kebanyakan tenaga kerja China menggunakan visa kunjungan, bukan visa pekerja. Akibatnya muncul kerugian negara dalam bentuk iuran tenaga kerja sebesar 100 dolar AS per pekerja per bulan.

    Banyak tenaga kerja China di smelter. Salah satu perusahaan smelter China membayar gaji antara Rp17 juta hingga Rp54 juta. Sedangkan rata-rata pekerja Indonesia hanya digaji jauh lebih rendah atau di kisaran upah minimum. Dengan memegang status visa kunjungan, sangat boleh jadi pekerja-pekerja China tidak membayar pajak penghasilan.

    Perusahaan smelter memang membayar pajak bumi dan bangunan namun nilainya amatlah kecil.

    Jadi nyata-nyata sebagian besar nilai tambah dinikmati perusahaan China.

    Nilai tambah yang dinikmati perusahaan smelter China semakin besar karena mereka membeli bijih nikel dengan harga super murah. Pemerintah sangat bermurah hati menetapkan harga bijih nikel jauh lebih rendah dari harga internasional.

    Berdasarkan harga rerata bulan April 2021, penerimaan yang dinikmati oleh perusahaan tambang bijih nikel jauh lebih rendah dari harga patokan yang ditetapkan pemerintah atau HMP (harga patokan mineral) yang sudah relatif sangat rendah itu.

    Sumber: Berbagai keterangan resmi pemerintah dan informasi dari kalangan pelaku bisnis bijih. 
    DeskripsiUS$
    HPM Ni 1,8%, MC 35% pada April 202138.35
    Harga kontrak dengan perusahaan smelter (HPM + US$2)40.35
    -/- Shipping Cost (Tongkang)8.00
    -/- Penalti SiO2/MgO  (jika di atas 2,5)5.00
    -/-Penalti Ni (jika di bawah 1,7%)8.00
    Harga yang diterima penambang19.35
    Sumber: Berbagai keterangan resmi pemerintah dan informasi dari kalangan pelaku bisnis bijih. 

    Betapa istimewa posisi perusahaan smelter China tercermin dari fakta berikut.

    Bapak Presiden, maaf kalau saya katakan bahwa Bapak berulang kali menyampaikan fakta yang menyesatkan.

    ***


  • Negara- negara di dunia bersiap menghadapi resesi di tahun 2023, termasuk Indonesia. Tapi sebelum itu, apakah masyarakat Indonesia sudah paham tentang inflasi dan resesi? Dan jika itu terjadi, bagaimana masyarakat Indonesia menghadapi resesi 2023? Asumsi bersama Pakar Ekonomi Faisal Basri bersiap memberikan penjelasan tentang inflasi dan resesi di Indonesia, dan data dalam video kali ini sepenuhnya didukung oleh @tsurvey.id by Telkomsel.

    Selengkapnya bisa dilihat di sini: https://www.youtube.com/watch?v=JP0lthr02Aw


  • Saya menikmati ngobrol santai dengan Ronald dan Tike di ROTIVI. Mereka berdua piawai mengorek sesuatu yang serius dengan gaya santai. Kang Ronald dan Mbak Tike sepertinya mewakili keresahan masyarakat yang sedang menghadapi kenaikan harga-harga kebutuhan hidup hingga gonjang-ganjing tentang ancaman resesi.

    Selengkapnya bisa disaksikan di: https://youtu.be/ouGRJ_UHeHQ.


  • Reporter: Moh. Khory Alfarizi

    Editor: Martha Warta Silaban

    Tempo.co, Minggu, 23 Oktober 2022 | 18:31 WIB

    TEMPO.COJakarta -Ekonom senior Universitas Indonesia Faisal Basri mengatakan Indonesia tidak akan mengalami krisis akibat ancaman resesi global 2023. Menurut dia krisis itu biasanya terjadi karena perpaduan antara apa yang terjadi di eksternal dan domestik.

    Menurut Faisal, krisis itu biasanya terjadi ditandai dengan gejolak sosial lebih dulu di domestik, kemudian skandal-skandal mulai bermunculan, dan ketahuan siapa saja yang terlibat. Jika itu menyatu, bisa terjadi krisis.

    “Tapi ekonomi saja pemerintah masih bisa menahan, kalau sosial saja juga bisa ditangani, tapi kalau dua-duanya terjadi bisa kayak tahun 1998,” ujar dia kepada Tempo di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Jakarta Timur, Kamis, 20 Oktober 2022.

    Faisal menuturkan Indonesia akan menghadapi tantang berat, meski ada kemungkinan tidak mengalami resesi. Karena, kata dia, berdasarkan pengalaman, menunjukkan bahwa jika ekonomi dunia resesi, maka Indonesia tidak. Alasannya, Indonesia keterkaitan dengan ekonomi dunia relatif kecil.

    Faisal mencontohkan misalnya global financial crisis 2008, saat dunia mengalami resesi dengan pertumbuhan ekonomi -1 persen, Indonesia angkanya 4,6 persen, bahkan nomor tiga tertinggi di dunia. Namun, tantangan saat ini sangat berat. Salah satunya nilai rupiah terhadap dolar Amerika melemah—sudah Rp 15.500—efeknya membayar utang dalam mata uang asing ikut naik. 

    “Jadi beban utang naik, bunga, belum ditambah cicilan. Cicilan itu bisa dibayar dengan utang lagi, gali lubang tutup lubang, tapi kalau bunga enggak bisa,” ucap Faisal.

    Bahkan, dia memprediksi bayar bunganya bisa melonjak lebih dari 20 persen dari total pengeluaran pemerintah pusat. “Itu sudah berat.” Sehingga, Faisal menambahkan, akan membuat ‘ruang’ bagi masyarakat semakin sedikit. Karena membayar bunga utang itu wajib, jika tidak Indonesia bisa mendapatkan penalty atau hukuman.

    Menurut ekonom lulusan Vanderbilt University, Amerika Serikat itu, naiknya suku bunga disebabkan oleh inflasi yang terus naik. Indonesia saat ini, kata dia, sudah hampir 6 persen (5,95 persen), dan akan terus menanjak, bahkan kemungkinan bisa mencapai 7 persen. Faisal menuturkan hal itu disebabkan oleh invasi Rusia ke Ukraina yang masih terjadi.

    “Sebentar lagi setahun, tahun depan bisa jadi makin mengerikan perangnya, yang menyebabkan ketidakpastian global itu masih sangat tinggi,” tutur Faisal.

    Tantangan lainnya, Faisal menyebutkan, climate change yang semakin gila-gilaan. Dampaknya bisa mempengaruhi harga pangan, karena banjir dan kekeringan ekstrem. Produksi pangan turun, bahkan setiap negara mengurangi ekspornya dan menambah pasokan cadangan. 

    “Syukur panen beras kita bagus terus nih. Tapi beras bagus, gandumnya gimana, itu makanan pokok kedua setelah beras,” kata Faisal. “Kalau naik semua, ujungnya kan menaikkan suku bunga, suku bunga naik, beban utang nambah lagi.”

    Kondisi perusahaan-perusahaan saat ini masih kesulitan akibat dampak dari pandemi Covid-19. Dia menjelaskan hal itu bisa dilihat dari kondisi penerbangan yang masih jauh dari pulih. Bahkan Faisal menceritakan penerbangan ke Semarang yang sebelumnya belasan kali, kini hanya dua kali satu hari. “Makanya saya kalau keluar kota harus nginap.”

    Faisal menjelaskan, dunia usaha belum pulih dan akibatnya penerimaan pajak masih rendah sementara pengeluaran naik terus. ”Pengeluaran pajak kan ‘daging’, utang makin membesar, tadi beban utangnya naik,” kata dia.

    Angka kemiskinan di Indonesia juga menjadi tantangan. Seingat Faisal, jumlah penduduk dengan pengeluaran per harinya di bawah Rp 35 ribu jumlahnya lebih dari 60 persen, yang merupakan kategori rentan miskin. Berbeda jauh dengan Malaysia yang masyarakat rentan miskinnya hanya 2 persen dan Thailand hanya 6 persen.

    Dengan kondisi seperti sekarang ini dan tantangan resesi global, kata Faisal, angka penduduk rentan miskin di Indonesia juga bisa naik menjadi 70 persen. Selain itu, penduduk usia muda 15-24 tahun di Indonesia yang mencari kerjaan tapi tidak dapat angka 17 persen. “Tertinggi di ASEAN,” ucap dia.

    Menurut Faisal, semua kondisi yang disebutkan itu merupakan instabilitas sosial, ditambah lagi jurang kaya miskin semakin melebar. Sehingga dia menyarankan, jika mendapatkan rejeki lebih baik jangan dipakai untuk yang non esensial, tapi ditabung untuk menghadapi kemungkinan yang sudah semakin terang akan terjadi yaitu resesi. “Jadi social instability ini bahaya. Kalau enggak (bisa) kolaps,” tutur dia.

    Sumber: https://bisnis.tempo.co/read/1648463/bukan-resesi-global-2023-faisal-basri-ungkap-penyebab-ri-bisa-alami-krisis-ekonomi?page_num=2#

    ***


  • Faisal Basri. TEMPO/M. Taufan Rengganis

    Reporter: Moh. Khory Alfarizi

    Editor: Rr. Ariyani Yaktı Widyastuti

    Tempo.co, Senin, 24 Oktober 2022

    TEMPO.COJakarta – Ekonom senior Universitas Indonesia Faisal Basri menjelaskan perbedaan kondisi Indonesia saat menghadapi krisis pada tahun 2008 dan ancaman resesi global tahun depan. 

    Faisal menceritakan bahwa krisis yang terjadi pada periode tahun 2008-2009 dipicu oleh krisis finansial global di Amerika Serikat. Saat itu, investasi berbagai sektor hancur yang bermula dari kejatuhan sektor finansial.

    “Pengaruhnya ke aset, misalnya. Aset dana pensiun anjlok. Jadi ke demand side, supply agak banyak terganggu,” ujar Faisal kepada Tempo, Kamis, 20 Oktober 2022.

    Meski begitu, menurut Faisal Basri, pengaruh krisis terhadap Indonesia pada tahun 2008 itu sangat kecil. Efek penuh krisis baru dirasakan pada tahun 2009, saat pertumbuhan ekonomi global berada di minus 0,1 persen, tapi Indonesia masih bisa mencetak pertumbuhan 4,6 persen. Hal itu terjadi karena sektor keuangan Indonesia belum terlalu dalam dan tidak terintegrasi dengan sektor keuangan global.

    Kondisi Indonesia ini, menurut Faisal, berbeda halnya dengan Singapura yang perekonomiannya ambles. Negara singa itu merupakan salah negara yang terintegrasi degan sistem keuangan global. Sementara, Indonesia praktis tidak banyak terpengaruh, tidak terjadi kebangkrutan massal, dan tak terjadi kehancuran sektor keuangan.

    Sementara di Amerika Serikat, kata Faisal, usai Lehman Brothers pailit, lalu pemerintah mengkonsolidasikan sejumlah bank besarnya. “Jadi yang kena adalah negara yang sistem keuangannya terintegrasi dengan sistem keuangan global. Pengaruhnya terbatas.”

    Adapun dampak krisis saat itu ke warga negara Amerika Serikat, Faisal menambahkan, tak sedikit yang langsung jatuh miskin. Mulai dari yang tidak bisa bayar cicilan kredit saat harga perumahan anjlok, dan banyak orang yang seketika tidak punya rumah di sana.

    Sedangkan hal tersebut tak terjadi di Indonesia. Ekonom lulusan Vanderbilt University, Amerika Serikat itu, menuturkan, krisis saat itu hanya berdampak ke ekspor nasional. “Ekspor Indonesia juga tidak terlalu besar terhadap PDB, hanya 20 persen, berbeda dengan Singapura, mencapai 170 persen,” ucapnya.

    Ia juga menyoroti sektor keuangan Indonesia pada tahun 2009 masih banyak bergantung kepada investor asing daripada sekarang. “Kalau saya enggak salah, kira-kira saham yang dimiliki oleh investor asing itu 50 persen, sekarang tinggal 32 persen,” tuturnya.

    Jadi, dengan kemungkinan terburuk, bila terjadi resesi pada tahun depan, menurut Faisal, kalaupun sektor keuangannya terganggu, dampaknya tetap tak terlalu signifikan terhadap Indonesia. Bila kepemilikan saham asing itu dijual, pasar saham tidak akan terlalu jatuh seperti 2009.

    Selain itu, pada tahun 2009, hampir 40 persen utang pemerintah berdenominasi rupiah dipegang oleh investor asing. Saat ini, proporsi tersebut sudah turun drastis menjadi hanya 16 persen.

    Hal ini pula yang membuat Faisal tetap optimistis bahwa pengaruh resesi global 2023 akan relatif kecil. Dalam hitungannya, perumbuhan ekonomi global pada tahun depan melambat ke level mendekati 0, tapi belum sampai 0.

    Lalu bagaimana dengan dampaknya ke Indonesia?

    Menurut Faisal, meskipun perekonomian Indonesia tak lepas dari perekonomian global, tetap butuh waktu untuk dampaknya menjalar ke Tanah Air. Bila ekonomi dunia pulih, pemulihan di Indonesia akan terjadi lebih lambat setahun atau dua tahun. 

    Meski perlambatan ekonomi global tersebut tak langsung berimbas ke dalam negeri, Faisal tetap mengigatkan untuk tetap waspada. Resesi adalah perpaduan antara demand shock dan supply shock, diiringi inflasi yang sangat tinggi, ditambah pengaruh pandemi Covid-19 yang masih terjadi. 

    Reseso global tak lantas membuat Indonesia langsung mengalami resesi. “Kecuali ada akselerasi persoalan lain, seperti sosial dan stabilitas bersatu momennya sama. Nah bisa krisis,” tutur Faisal.

    Sumber: https://wordpress.com/post/faisalbasri.com/24417

    ***


  • Kompas cetak, 31 Agustus 2022, halaman 1

    Jakarta – Mengurangi subsidi BBM secara bertahap dan mengalokasikan anggaran ke sektor yang lebih produktif adalah jalan terbaik. Penetapan harga BBM seharusnya berdasarkan formula yang mengacu kepada harga minyak bumi di pasar global, seperti dulu diterapkan pada awal-awal Pemerintahan Presiden Joko Widodo.

    Demikian saran pakar ekonomi pembangunan Faisal Basri kepada Pemerintah untuk menjaga stabilitas fiskal di APBN saat ini.

    “Demi kebaikan perekonomian nasional dan kesejahteraan bangsa, secara bertahap subsidi BBM harus dihilangkan,” tulis Faisal Basri dalam kajian berjudul Kebijakan Subsidi BBM: Menegakkan Disiplin Anggaran yang dia rilis kemarin, Minggu (28/08/2022).

    Polemik subsidi BBM mencuat menyusul potensi membengkaknya biaya subsidi BBM di APBN di tengah naiknya inflasi dunia karena disrupsi rantai pasok akibat pandemi dan perang. Hal ini memunculkan dilema.

    “Subsidi BBM dapat diibaratkan seperti candu yang membuat konsumen terlena dan menimbulkan ketergantungan. Untuk melepaskan diri dari ketergantungan tersebut memang sulit, namun tentu bukan mustahil,” kata Faisal Basri yang mendalami ekonomi pembangunan ini.

    Faisal menilai Presiden Joko Widodo sebenarnya sudah membuat kebijakan yang baik di awal pemerintahannya, dan ini perlu dilaksanakan konsisten. Saat itu, Presiden Jokowi mengeluarkan Perpres Nomor 191 tahun 2014 yang semangatnya untuk melakukan pengurangan subsidi BBM. Berdasarkan aturan tersebut harga BBM, kecuali minyak tanah yang nominal harganya ditentukan dan minyak solar yang mendapat subsidi maksimum seribu rupiah per liter, ditetapkan berdasarkan formula yang mengacu kepada harga minyak bumi di pasar global, dalam hal ini harga transaksi di bursa minyak Singapura (MOPS).

    “Berdasarkan aturan tersebut harga jual eceran BBM diubah setiap bulan sesuai dengan perubahan harga minyak di bursa Singapura. Selain itu, pemerintah tidak perlu mengeluarkan subsidi untuk bensin premium. Subsidi hanya diberikan untuk minyak tanah dan minyak solar,” papar Faisal Basri.

    Dalam catatan Faisal Basri, pencabutan subsidi ini berdampak besar pada pengeluaran pemerintah untuk subsidi BBM. Pengeluaran pemerintah untuk subsidi BBM turun tajam dari Rp191,0 triliun pada 2014 menjadi Rp34,9 triliun pada 2015.

    Dalam perjalanannya formula ini tak sepenuhnya berjalan, yaitu sejak adanya Perpres Nomor 43/2018 yang memberi kewenangan kepada Menteri ESDM untuk menetapkan harga BBM umum berbeda dengan harga yang dihitung berdasarkan formula. Sejak ini, pemerintah harus membayar kompensasi kepada Pertamina selaku badan usaha yang ditugaskan untuk memproduksi bensin premium, atas kekurangan penerimaan yang disebabkan oleh penetapan harga tersebut.

    “Kompensasi atas kekurangan penerimaan BUMN penerima penugasan pada dasarnya bentuk subsidi terselubung,” papar Faisal Basri.

    Untuk itu, Faisal Basri mendorong agar Indonesia kembali ke upaya konsisten menghapus kebijakan subsidi secara bertahap, alokasi anggaran subsidi BBM, mendorong produksi minyak bumi, dan peningkatan ketahanan energi.
    Langkah-langkahnya antara lain dengan mengembalikan aturan penetapan harga BBM sesuai dengan formula sebagaimana di atur oleh Perpres Nomor 191 tahun 2014.
    Sementara kekhawatiran harga BBM berfluktuasi sehingga menyumbang pada inflasi bisa dikurangi dengan memberlakukan dana stabilisasi, harga jual eceran BBM ditetapkan berdasarkan formula perhitungan harga yang sederhana dan mencerminkan keadaan sebenarnya (koefisien berdasarkan data up to date), memperkecil peluang manipulasi dan pemburuan rente di pasar, serta –jika terpaksa masih harus ada– subsidi BBM seyogianya dapat mendorong rakyat melakukan perubahan pola konsumsi BBM dan restrukturisasi industri perminyakan.
    Faisal Basri memahami, harga BBM menjadi persoalan sensitif bagi pemerintah karena kebijakan menaikkan harga BBM selalu mendapatkan penolakan dari berbagai kalangan. Namun Pemerintah bisa tetap konsisten di jalan menghapus subsidi BBM meski tidak popular.

    “Memerlukan upaya keras untuk meyakinkan masyarakat bahwa kebijakan tersebut diperlukan agar pemerintah dapat menyediakan anggaran cukup untuk kebutuhan lain yang memberi manfaat lebih besar bagi orang miskin,” kata Faisal Basri.*