Sejak zaman Kolonial hingga tahun 1967, Indonesia merupakan negara pengekspor gula, bahkan sempat sebagai pengekspor gula terpandang, nomor dua setelah Kuba. Bertahun-tahun gula menjadi sumber penerimaan ekspor terbesar bagi penjajah Belanda.
Sentra produksi utama adalah Jawa Timur di sepanjang Sungai Brantas. Kini Jawa Timur masih tetap dominan, menyumbang sekitar separuh dari produksi gula nasional.

Ironinya, negeri subur dengan ungkapan “gemah ripah loh jinawi,” sejak 2016 menjadi pengimpor gula terbesar sejagad.
Di tengah pandemi COVID-19, ketika impor anjlok, justru impor gula melonjak dari 4,09 juta ton tahun 2019 menjadi 5,54 juta ton, tertinggi sepanjang sejarah. Padahal industri makanan dan minuman–sebagai pengguna gula terbanyak–pertumbuhannya anjlok dari 7,8 persen tahun 2019 menjadi hanya 1,6 persen tahun 2020. Tidak ada tanda-tanda pula terjadi lonjakan konsumsi gula rumah tangga.

Memang produksi gula nasional turun, namun hanya 100 ribu ton, dari 2,23 juta ton tahun 2019 menjadi 2,13 juta ton tahun 2020. Jadi jauh lebih kecil daripada kenaikan volume impor yang mencapai 1,45 juta ton.

Keran impor dibuka lebar-lebar oleh pemerintah boleh jadi untuk meredam lonjakan harga rata-rata yang sempat menembus Rp15.000/kg pada April 2020, bahkan di beberapa daerah mencapai Rp22.000/kg. Padahal harga eceran tertinggi (HET) yang dipatok pemerintah sebesar Rp12.500/kg. Boleh jadi pula karena stok gula menipis, meskipun Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) menyatakan stok gula pada awal tahun 2020 sebanyak 1,35 juta ton sudah mencukupi kebutuhan konsumsi masyarakat hingga musim giling mendatang. Berdasarkan laporan USDA, stok gula Indonesia pada September 2019 sebesar 2,30 juta ton, sedangkan pada September 2020 sebesar 1,95 juta ton.

Kesenjangan harga eceran dibandingkan dengan harga gula dunia kian melebar. Pada awal 2012 harga eceran di Indonesia 2,3 kali lebih tinggi dari harga dunia. Pada pertenghan 2016 naik menjadi 2,8 kali. Demikian pula pada awal 2021. Kesenjangan paling lebar terjadi pada April 2020 yaitu 4,4 kali. Lonjakan harga eceran kala itu justru terjadi ketika harga dunia mengalami penurunan.

Rente Luar Biasa Nan Menggiurkan
Harga gula mentah yang menjadi referensi di pasar New York adalah Raw Sugar #11. Pada harga penutupan 31 Maret 2021 tercatat sebesar US¢14,77 per pound atau US$325,6 per ton. Ditambah dengan ongkos transport, asuransi, dan pengoahan senilai US$200 per ton, maka harga di pabrik gula rafinasi menjadi US$525,6 per ton. Dengan kurs tengah BI (JISDOR) pada 31 Maret (Rp14.572/US$), harga per kg adalah Rp7.959.
Jika pemerintah menugaskan pabrik gula rafinasi menjual langsung ke pasar, setidaknya keuntungan yang diperoleh mencapai Rp2.000 per kg. Harga untuk industri besar tentu saja lebih murah karena kontrak langsung dan mereka mengikuti pergerakan harga dunia, namun keuntungannya tidak jauh berbeda dibandingkan dengan menjual langsung ke pasar lewat distributor. Dengan produksi kesebelas pabrik gula rafinasi sekitar 3 juta ton, maka keuntungan totalnya adalah Rp 6 triliun. Pukul rata, setiap pabrik menikmati laba sebanyak Rp545 miliar. Teluk Intan Group dan Bank Index Group yang masing-masing memiliki tiga pabrik tentu saja menikmati rente paling besar. Martua Sitorus yang groupnya memiliki dua pabrik mengantongi lebih dari Rp1 triliun. Sisanya dinikmati oleh Group milik Tommy Winata, Ali Sanjaya, dan Olam Group Singapura.
BUMN tak ketinggalan meraup rente menggiurkan dari lisensi mengimpor gula rafinasi (white sugar #5) untuk dijual langsung ke pasar.
Harga di pasar lelang ICE London per 31 Maret 2021 adalah USD417 per ton. Katakanlah ongkos angkut plus bongkar-muat ditambah asuransi mencapai 20 persen dari nilai barang. Maka harga per ton sampai di pelabuhan tujuan adalah USD500.4, sehingga harga perolehan sebesar Rp7.292 per kg.
Setelah memperhitungkan ongkos distribusi dan margin pedagang serta biaya bunga bank sebesar sebesar Rp3.000, maka keuntungan bersih importir sebesar Rp2.208. Faktanya, harga eceran kerap di atas Rp12.500, sehingga potensi keuntungannya lebih besar lagi.
Bagi BUMN pemegang lisensi impor yang memiliki pabrik gula berbasis tebu, insentif untuk mengimpor lebih menggiurkan ketimbang menghasilkan gula dari tebu petani. Jika dapat lisensi impor satu juta ton, maka laba yang diraup setidaknya Rp2 triliun. Buat apa berkeringat tetapi labanya kecil ketimbang bermodal secarik kertas sakti dapat triliunan rupiah.

Mengada-ada
Peluang praktik berburu rente terbuka luas karena pemerintah mengada-ada. Dunia hanya mengenal dua jenis gula, yaitu gula mentah (raw sugar) dan gula rafinasi (refined sugar) atau gula putih (white sugar) atau centrifugal sugar. Nah, di Indonesia ada satu lagi, yaitu gula kristal putih (GKP) yang yang notabene serupa dengan refined sugar (pemerintah memberi nama gula kristal rafinasi atau GKR). Bedanya, GKP diproduksi oleh pabrik gula domestik dari tebu sendiri maupun tebu rakyat dan GKR diproduksi dari gula mentah yang diimpor. Jadi pemerintah menciptakan dua pasar untuk produk serupa.

Alih-alih meluruskan salah kaprah, pemerintah justru baru-baru ini membangun tembok tebal antara GKP dan GKR dengan menerbitkan Peraturan Menteri Perindustrian No. 3 Tahun 2021. Pada Pasal 6 tercantum:
(1) Perusahaan Industri gula kristal rafinasi hanya dapat memproduksi Gula Kristal Rafinasi (Refined Sugar).
(2) Perusahaan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat memperdagangkan Gula Kristal Rafinasi (Refined Sugar) hasil produksinya kepada Industri Pengguna sebagai Bahan Baku dan/atau bahan penolong Industri.
Sebaliknya, pada Pasal 7 menyatakan: “Perusahaan Industri gula berbasis tebu hanya dapat memproduksi Gula Kristal Putih (Plantation White Sugar).
Menurut para petinggi Kementerian Perindustrian, Permen itu bertujuan untuk menghindari rembesan. Bukankah rembesan terjadi karena perlakuan pemerintah sendiri yang membedakan dua produk (GKP dan GKR) yang notabene serupa? Buatlah kebijakan yang justru menciptakan satu pasar gula, bukan sebaliknya justru mempertebal pemisahan antara GKR dan GKP.
Membantu yang Lemah
Di kebanyakan negara, di negara paling liberal sekalipun seperti Amerika Serkat, kebijakan pemerintah bertujuan untuk melindungi dan memberdayakan petani. Di negeri yang memiliki Pancasila, petani malah termajinalkan, tidak menjadi roh dari kebijakan pemerintah.
Bagaimana menyelesaikan masalah pergulaan dengan tuntas? Pertama, petani tebu dibantu untuk menggunakan bibit unggul dan segala penunjangnya agar rendemen bisa ditingkatkan setidaknya 50 persen dari yang sekarang sekitar 7 persen. Kedua, merestrukturisasi pabrik gula agar terintegrasi sehingga menghasilkan gula dari tebu rakyat maupun tebu sendiri dan juga dari raw sugar yang diimpor. Dengan begitu, operasi pabrik bisa sepanjang tahun, sehingga ongkos giling lebih murah. Karena upah giling lebih murah, bagi hasil gula untuk petani meningkat dari 66 persen yang berlaku sekarang.
Dengan dua jurus itu saja, kesejahteraan petani bisa naik hampir dua kali lipat dan harga gula di tingkat konsumen berangsur turun mendekati harga dunia. Upaya ini butuh perubahan pola pikir dari mau gampangan dapat rente (value extraction) yang dinikmati segelintir pengusaha menjadi olah otak untuk menciptakan nilai tambah bagi maslahat rakyat banyak (value creeation).
***
REPUBLIK YANG BAIK HATI
Dijaman yang serba sulit ini, kita sering mendengar ceritera tentang bagaimana sepak terjang negara-negara di dunia yang saling mengekploitasi untuk kepentingan negaranya masingmasing. Ada negara yang mempergunakan kekuatan senjatanya, ada yang mempergunakan kepiawaiannya bermain politik, ada yang mempergunakan keunggulan teknologinya, ada yang mempergunakan kekuatan ekonominya dan ada pula yang mempergunakan sumberdaya alamnya dan lain sebagainya. Semuanya itu dilakukan semata-mata agar mereka bisa memakmurkan negara dan rakyatnya.
Nah, ditengah-tengah keriuhan itu, ternyata ada suatu negara yang memiliki sifat “baik hati”. Mengapa dinamai negara baik hati karena negara ini sangat gemar menolong negara lain walaupun dirinya sendiri sedang susah. Lalu dimanakah adanya negara ini? Negara ini berbentuk Repubik Demokrasi dimana kekuasaan tertingginya dipegang oleh rakyatnya. Republik ini terletak di Bumi Tuhan yang sangat makmur dan kaya sumberdaya alam. Republik ini memiliki kawasan yang luas dan subur tanahnya sehingga sebagian besar rakyatnya mencari nafkah dengan bercocok tanam.
Sifat baik hati negeri ini tampak sangat menonjol pasa saat dunia dirundung resesi akibat adanya wabah pandemi covid-19. Pandemi ini mengakibatkan penduduk (rakyat) di semua negara mengalami kesulitan untuk menjalankan kehidupannya secara normal. Kondisi itu juga dialami oleh Republik yang baik hati tersebut. Namun, berkat sifatnya yang baik hati Republik ini alih-alih memikirkan nasib rakyatnya, ia sangat fokus memikirkan nasib rakyat negara lain dengan cara membudidayakan kegiatan impor. Saat rakyat negara lain kesulitan menjual hasil pertaniannya, ia dengan sigap membelinya (walaupun para petani yang menjadi rakyatnya terancam harga jual produknya). Saat Industri pangan negara lain mengalami kesulitan menjual produknya dan terancam merugi, republik ini dengan cekatan membelinya agar Industri pangan di negara tetangganya itu tetap eksis (walaupun Industri pangan di negaranya sendiri terancam bangkrut). Negara ini sangat gemar mengimpor bahan jadi sehingga nilai devisa yang dibelanjakannya menjadi besar. Ia enggan mengimpor bahan baku walaupun itu bisa menghemat belanja devisa dan nilai tambah dari bahan baku menjadi bahan jadi dinikmati oleh industri rakyatnya sendiri.
Namun hal-hal tersebut tidaklah perlu diperdebatkan, karena ya memang begitulah seharusnya sifat orang yang baik hati, siap berkorban untuk kepentingan orang lain tanpa memperhatikan kepentingannya sendiri.
Yogyakarta, April 2021
Gus Pe
FTGN
Matur nuwun
Matur nuwun sanget, Gus.
Faisal Basri selalu jadi provokator. Kemarin beras sekarang gula. Seandainya para importir bermain mata untuk korupsi, laporkan ke KPK dengan bukti yang cukup. KPK pasti menindak-lanjuti bila bukti laporan cukup. Buktinya waktu ada kongkalikong daging sapi sudah disikat KPK.
Tunjukkan jika saya salah. dengan senang hati menerimanya. Beras terbukti untuk sementara tidak impor.
Mas ,, se ,, pendidikan politik itulah solusi nya ,, dan petani2 milenial lah yg akan merubah zona nyaman tsbt ,, percatalah ,,
Insya Allah generasi milenial menjadi ujung tombak perubahan.
Wah foto artikel saya di IDN Times dikutip Pak Faisal Basri, semoga industri gula bisa jaya seperti era kolonial Belanda. Sehat selalu pak. Salam hangat..
Mas Candrika yang baik. Mohon maaf tak seizin pemilik foto. Dalam kesempatan ini saya memohon perkenan pemuatan foto Mas Candrika. Terima kasih banyak.
Tabik
faisal basri
Ijin Pak,
Kompleksitas permasalahan Gula di Indonesia cukup kompleks dan tidak sesederhana matematis memperhitungkan selisih harga gula dunia versus di Indonesia.
Berikut beberapa kompleksitas permasalahan Gula (dan tebu) di Indonesia yang kelihatannya sederhana untuk diselesaikan:
1. Tebu adalah tanaman semusim yang artinya petani memiliki keleluasaan menanam bila dirasa tidak menguntungkan dan dapat menjadi blunder bagi pabrik gula terkait pasokan tebu (bila tidak memiliki lahan sendiri yang cukup untuk mencukupi kebutuhan
2. “Harga” satu Pabrik Gula (PG) adalah berkisar 15 sd 25 kali dari “harga” Pabrik Kelapa Sawit, yang berdampak pada memiliki kecukupan lahan sendiri untuk memasok 70% dari kapasitas PG adalah KEHARUSAN dan tantangan yang dihadapi adalah saat ini sangat sulit untuk dapat memiliki lahan sendiri yang cocok untuk tebu seluas +- 10.000 Ha dalam radius 50 km, sehingga sangat tidak mudah untuk mendirikan satu PG.
3. Mencari atau membeli bibit tebu TIDAKLAH semudah dan “semurah” membeli kecambah kelapa sawit ataupun biji karet, serta belum termasuk tidak semudah “memindahkan” nya.
4. Bibit tebu sangat sensitif terhadap kesesuaian lahan dan kondisi cuaca
5. Mekanisasi kebun tebu = kunci gula murah.
Dsb dsb dsb
Saya justru tertarik dengan kelanjutan narasi yang Bapak angkat:
“Manisnya Impor Gula, Dapat “Rente” Bisa Puluhan Triliun”
Arahnya kemana Pak???
Apa yang saya uraikan tadi, sesungguhnya masih panjang dan setidaknya minimal akan ada 10 (sepuluh) kendala utama tantangan masalah Gula di Indonesia.
Salam,
Mulyono Swito
(Konsultan Manajemen Perkebunan Spesialis Non Agronomi)
Email: rookandbridge@gmail.com
Pak Mulyono yb. Terima kasih banyak info yang sangat berharga buat saya. Tinajauan saya memang terbatas pada pendekatan ekonomi politik. Masih banyak yang hendak saya sampaikan, tapi tak sempat lagi mengutarakannya, sementara kebijakan pemerintah makin jauh dari solusi tuntas.
Kami beberapa kali mengunjungi pusat “penelitian gula di Jawa Tidur. Nasibnya memilukan, para doktor sudah pensiun. Kuncinya di R&D. Sudah puluhan tahun kami berulang kali mengajukan masukan, kepada menteri2 langsung. Tapi, pertimbangan politik mengalahkan akal sehat.
Kalaulah teman2 seperti Pak Mulyono diberi kesempatan, saya masih optimis industri gula bisa bangkit. Di masa kolonial saja bisa, tentu di masa kemerdekaan harusnya lebih bisa.
Sekali lagi, terima kasih banyak. Salam sehat selalu.
Tabik
faisal basri
Permasalahan lama yang tiada pernah berakhir. Perburuan rente menyebabkan amburadulnya aspek praktis di lapang sehingga Good Agricultural Practices menjadi tidak relevan lagi. Sebagai akibatnya produktivitas semakin merosot.
Dengan perubahan pola pikir insya Allah ada jalan untuk perbaikan mendasar.
This is aawesome