Sekali Lagi Soal Utang

8 komentar


china.org.cn

Di blog ini sudah lumayan kerap saya menulis tentang utang. Di masa kampanye, intensitas perdebatan soal utang meninggi.

Persoalan utang pemerintah menjadi sasaran tembak yang kerap digunakan pasangan Prabowo-Sandi. Puncaknya adalah ketika Capres Prabowo Subianto menyarankan agar penyebutan Menteri Keuangan diubah menjadi Menteri Pencetak Utang.

Memang utang pemerintah di era Presiden Jokowi meningkat relatif pesat. Selama kurun waktu 2014-2018 utang pemerintah pusat naik 69 persen, dari Rp 2.605 triliun menjadi Rp 4.416 triliun. Peningkatan itu lebih tinggi ketimbang periode 2010-2014 sebesar 55 persen. Apakah persoalan utang pemerintah sudah parah sebagaimana dikatakan oleh Prabowo Subianto: “Ini kalau ibarat penyakit saya katakan stadium sudah cukup lanjut sudah lumayan parah. Utang menumpuk terus.”

Apakah utang yang mencapai Rp 4.416 triliun yang jadi patokan? Bandingkan Si Badu berutang Rp 10 juta dan pendapatannya Rp 20 juta dengan saya yang berutang hanya Rp 2 juta dengan pendapatan Rp 1 juta. Sekalipun Si Badu berutang 5 kali lipat dari utang saya, beban utang Si Badu tentu saja jauh lebih ringan dari saya. Utang Si Badu hanya setengah dari pendapatannya, sedangkan saya boleh dikatakan “lebih besar pasak dari tiang” karena utang saya dua kali lipat dari pendapatan. Jadi yang jadi persoalan bukan besarnya utang.

Potensi kemampuan pemerintah dalam membayar utang lazimnya dikaitkan dengan kemampuan perekonomian menghasilkan pendapatan yang diukur dengan produk domestik bruto (PDB). Jika PDB meningkat, maka kemampuan pemerintah menarik pajak juga naik. Pajak itulah yang pada gilirannya digunakan untuk membayar bunga dan cicilan utang.

Nisbah utang terhadap PDB (debt to GDP ratio) Indonesia tergolong masih sangat rendah, tak sampai 30 persen. Bandingkan dengan Jepang yang nisbah utangnya 250 persen PDB, tertinggi di dunia. Bandingkan juga dengan Amerika Serikat yang nisbah utangnya 105 persen PDB.

Membandingkan utang Indonesia dengan negara lain–yang sangat kaya sekalipun–tentu saja tidak cukup hanya menggunakan indikator tunggal nisbah utang terhadap PDB.

Sekalipun nisbah utang pemerintah Jepang delapan kali lipat lebih tinggi dari Indonesia, harus diingat bahwa Jepang bukan sekedar berutang (debitur), tetapi juga memberikan utang kepada negara lain, termasuk kepada Amerika Serikat dalam bentuk surat utang Amerika Serikat yang dibeli Jepang dan kepada Indonesia dalam bentuk pinjaman (loan) maupun surat utang yang dikeluarkan pemerintah Indonesia. Tak tanggung-tanggung, Jepang merupakan pemegang surat utang pemerintah AS terbesar kedua setelah China. Indonesia bisa dikatakan debitur murni.

Perlu pula diingat, suku bunga surat utang yang dikeluarkan pemerintah Jepang sangat rendah. Yield surat utang pemerintah Jepang bertenor 10 tahun hanya nol koma nol sekian persen, salah satu yang terendah di dunia. Ditambah lagi, hampir seluruh surat utangnya (sekitar 90 persen) dibeli oleh rakyatnya sendiri, sehingga dana pembayaran bunga tetap beredar di dalam negeri. Dengan demikian beban utang tidak besar dampaknya terhadap stabilitas makroekonomi Jepang.

Sebaliknya, surat utang pemerintah Indonesia dalam rupiah (local currency bonds) yang dipegang oleh investor asing relatif sangat besar, bahkan terbesar di antara emerging markets, mengakibatkan perekonomian Indonesia sangat rentan terhadap gejolak eksternal. Yield surat utang Indonesia bertenor 10 tahun pun tergolong tinggi, yaitu 8,12 persen per 28 Januari 2019.

Sekalipun utang pemerintah Indonesia masih relatif rendah, namun beban pembayaran bunga utang terhadap APBN terus meningkat.

Pada tahun 2014, pembayaran bunga utang baru mencapai 7,5 persen dari belanja total dan 11,1 persen dari belanja pemerintah pusat. Lima tahun kemudian meningkat masing-masing menjadi 11,7 persen dan 17,9 persen.

Selama kurun waktu 2014-2018, belanja untuk pembayaran bunga utanglah yang tumbuh paling tinggi (94 persen), lebih dari tiga setengah kali pertumbuhan belanja modal yang hanya 25,9 persen.

Sebagai perbandingan, Amerika Serikat yang nisbah utangnya jauh lebih tinggi dari Indonesia hanya mengalokasikan 7 persen dari belanja total pada tahun anggaran 2018.

Harus diingat pula, APBN AS sebagian besar dialokasikan untuk belanja sosial yang langsung diterima oleh rakyatnya, antara lain dalam bentuk perlindungan sosial dan kesehatan (medicare dan medicaid).

Akibat beban pembayaran bunga yang terus meningkat di Indonesia, alokasi untuk belanja sosial tak kunjung naik, bahkan turun.

Terakhir, peningkatan utang pemerintah sejatinya bisa dikurangi jika kemampuan pemerintah menarik pajak bisa ditingkatkan. Sejauh ini nisbah pajak (tax ratio) cenderung melambat. Baru tahun 2018 sedikit naik setelah empat tahun berturut-turut sebelumnya selalu turun. Dibandingkan dengan negara tetangga, nisbah pajak kita sungguh sangat rendah.

[Dimutakhirkan dan ditambah berita-berita terkait di bawah pada 29 Januari 2019, pk.23:32]

***

Faisal Basri Komentari Utang Pemerintah yang Disebut Membahayakan

Reporter: 

Dias Prasongko

Editor: 

Ali Akhmad Noor Hidayat

Senin, 28 Januari 2019 20:52 WIB0

Faisal Basri. TEMPO/Jati Mahatmaji
Faisal Basri. TEMPO/Jati Mahatmaji

TEMPO.CO, Jakarta – Pembahasan mengenai kondisi utang pemerintah belakangan banyak menjadi sorotan masyarakat.  Dalam beberapa kesempatan, calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto sempat menyatakan kondisi utang pemerintah Indonesia dalam kondisi yang membahayakan.

Baca: Prabowo Sebut Sri Mulyani Pencetak Uang, Kemenkeu Tersinggung

Dalam postingan terbaru melalui laman pribadinya, faisalbasri.com, Ekonom senior dari Universitas Indonesia Faisal Basri.mengunggah tulisan mengenai utang pemerintah Indonesia.

“Memang utang pemerintah di era Presiden Joko Widodo meningkat relatif pesat. Selama kurun waktu 2014-2018 utang pemerintah pusat naik 69 persen, dari Rp 2.605 triliun menjadi Rp 4.416 triliun,” kata Faisal dikutip dalam laman tersebut yang diunggah pada Ahad, 27 Januari 2019.

Faisal mencatat peningkatan utang itu lebih tinggi ketimbang periode 2010-2014 sebesar 55 persen. Namun, apakah persoalan utang tersebut sudah sangat parah seperti yang diungkapkan Prabowo? Menurut Faisal, jumlah utang yang mencapai Rp 4.416 triliun tersebut harus dilihat menyeluruh.

Pertama, jumlah utang harus dibandingkan dengan kemampuan perekonomian menghasilkan pendapatan yang diukur dengan produk domestik bruto (PDB). Jika PDB meningkat maka kemampuan pemerintah untuk menarik pajak juga meningkat, sehingga dapat digunakan membayar bunga dan cicilan utang.

Kendati demikian, Faisal mencatat nisbah utang terhadap PDB (debt to GDP ratio) Indonesia tergolong masih sangat rendah, tak sampai 30 persen. “Bandingkan dengan Jepang yang nisbah utangnya 250 persen PDB. Bandingkan juga dengan Amerika Serikat yang nisbah utangnya 105 persen PDB,” kata Faisal.

Faisal menyatakan, membandingkan utang dengan negara lain seperti Jepang dan Amerika tentu tidak cukup hanya dengan menggunakan indikator tungga nisbah utang terhadap PDB. Sebab, perlu juga diketahui bahwa meski nisbah utang Jepang delapan kali lipat lebih tinggi harus diingat negara itu bukan hanya berutang tetapi juga memberikan utang kepada negara lain.

Salah satunya, Jepang banyak memberikan pinjaman dalam bentuk membeli surat utang pemerintah Amerika Serikat. Tak tanggung-tanggung, Jepang merupakan pemegang surat utang pemerintah AS terbesar kedua setelah China. Indonesia bisa dikatakan debitur murni. Perlu juga diingat bahwa Jepang juga banyak memberikan utang kepada Indonesia dalam bentuk pinjaman (loan) maupun surat utang yang dikeluarkan pemerintah.

Faisal melanjutkan, perlu juga diketahui meski banyak menerbitkan surat utang, suku bunga surat utang yang dikeluarkan pemerintah Jepang sangat rendah. Yield surat utang pemerintah Jepang bertenor 10 tahun hanya nol koma nol sekian persen, salah satu yang terendah di dunia.

Belum lagi, sekitar 90 persen surat utangnya dibeli oleh rakyat sendiri. Sehingga dana pembayaran bunga tetap beredar di dalam negeri dan beban utang tidak besar dampaknya terhadap stabilitas makroekonomi Jepang. Sebaliknya, surat utang pemerintah Indonesia dalam rupiah lebih banyak dipegang oleh investor asing mencapai 37,8 persen, angka terbesar dari rata-rata negara berkembang yang mencapai 25 persen.

“Kondisi ini tentu mengakibatkan perekonomian Indonesia sangat rentan terhadap gejolak eksternal. Yield surat utang Indonesia bertenor 10 tahun pun tergolong tinggi, yaitu 8,1 persen per 25 Januari 2019,” tutur Faisal.

ADVERTISEMENT

Selain itu, Faisal juga mencatat bahwa meski utang pemerintah masih relatif rendah, tapi beban pembayaran bunga utang terhadap APBN terus meningkat. Ia mencatat, pada 2014, pembayaran bunga utang baru mencapai 7,5 persen dari belanja total dan 11,1 persen dari belanja pemerintah pusat.

Lima tahun kemudian meningkat masing-masing menjadi 11,7 persen dan 17,9 persen. Adapun total belanja pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada 2018 mencapai Rp 2.202 triliun sedangkan total belanja pemerintah pusat mencapai Rp 1.444 triliun.

“Selama kurun waktu 2014-2018, belanja untuk pembayaran bunga utanglah yang tumbuh paling tinggi sebesar 94 persen, lebih dari tiga setengah kali pertumbuhan belanja modal yang hanya 25,9 persen. Atau pada 2018 beban biaya bunga diperkirakan mencapai Rp 258 trilun,” kata Faisal.

Terakhir, menurut Faisal peningkatan utang pemerintah sejatinya bisa dikurangi jika tax ratio terhadap PDB bisa tingkatkan. Sayangnya, sejauh ini nisbah pajak atau tax ratio cenderung melambat. Baru pada 2018 angkanya sedikit naik menjadi 10,2 persen setelah sejak 2012 selalu turun. 

Sumber: https://bisnis.tempo.co/read/1169782/faisal-basri-komentari-utang-pemerintah-yang-disebut-membahayakan/full&view=ok

***

Jawab Faisal Basri, Sri Mulyani Sebut Beban Bunga Utang Masih Logis

Penulis:  Rizky Alika

Editor:  Pingit Aria 29/1/2019, 13.01 WIB

Sri Mulyani menyebut kenaikan beban bunga utang terjadi karena suku bunga tinggi.

Sri Mulyani
AJENG DINAR ULFIANA | KATADATA

Sejumlah pihak menyoroti tren kenaikan beban pembayaran bunga utang yang terjadi sejak 2014. Namun, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menilai hal itu merupakan hal yang wajar.

“Itu bukan sesuatu hal yang baru. Adalah sesuatu yang logis,” kata dia dalam Konferensi Pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) di Jakarta, Selasa (29/1).

Menurutnya, peningkatan bunga utang terjadi seiring tren kenaikan bunga acuan global. Bank Indonesia (BI) pun telah merespons hal itu dengan mengerek BI 7-day Reverse Repo Rate sebanyak 6 kali sepanjang 2018.

Sebaliknya, ia menyebut beban bunga utang pada 2014 rendah lantaran saat itu ada tren pelonggaran moneter dunia. Bank Indonesia pun disebutnya turut menurunkan suku bunga.

(Baca: Disebut Prabowo Sebagai Pencetak Utang, Kemenkeu Ungkapkan Kekecewaan)

Adapun, utang masih dilakukan apabila Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) masih mengalami defisit. Namun, ia meminta masyarakat untuk tidak melihat utang hanya dari nominalnya saja.

Seharusnya, utang dilihat dalam konteks yang lebih besar. “(Kalau) nominal lain tidak dilihat, itu kan jadi membingungkan atau cenderung dianggap untuk menakut-nakuti masyarakat,” ujarnya.

Grafik:

Menurutnya, utang diperlukan untuk menjaga stabilitas ekonomi Indonesia, seperti ketika mengalami tekanan harga komoditas dan pertumbuhan ekspor masih negatif. Selain itu, utang juga digunakan untuk membangun infrastruktur, mengurangi kemiskinan, dan menjaga pertumbuhan ekonomi. “Itu semua kan tujuannya,” kata dia.

Sebelumnya, Ekonom Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri mengakui bahwa rasio utang pemerintah Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masih relatif rendah bila dibandingkan dengan Jepang dan Amerika Serikat (AS). Namun, meminta pemerintah mewaspadai beban pembayaran bunga utang terhadap APBN yang terus meningkat.

(Baca: Rupiah Perkasa, Investor Asing Buru Aset Keuangan Indonesia)

“Selama kurun waktu 2014-2018, utang pemerintah pusat naik 69%, dari Rp 2.605 triliun menjadi Rp 4.416 triliun. Peningkatan itu lebih tinggi ketimbang periode 2010-2014 sebesar 55%,” tulis Faisal dalam situs resminya, Minggu (27/1).

Berdasarkan catatannya, pembayaran bunga utang pada 2014 baru mencapai 7,5% dari belanja total dan 11,1% dari belanja pemerintah pusat. Lima tahun kemudian (2018), pembayaran bunga utang meningkat, masing-masing menjadi 11,7% persen dari belanja total dan 17,9% dari belanja pemerintah pusat.

Selama kurun waktu 2014-2018, belanja untuk pembayaran bunga utang tumbuh paling tinggi, yaitu 94% atau lebih dari tiga setengah kali pertumbuhan belanja modal yang hanya 25,9%.

Sebagai perbandingan, rasio utang AS mencapai 105% dari PDB atau jauh lebih tinggi dari Indonesia, yaitu di bawah 30% dari PDB. Meski rasio utangnya lebih tinggi, AS hanya mengalokasikan 7% untuk pembayaran bunga utang dari total belanja total tahun anggaran 2018.

(Baca: BI Revisi Aturan Utang Luar Negeri Bank, Tambah Sanksi Bagi Pelanggar)

Sementara itu, APBN AS sebagian besar dialokasikan untuk belanja sosial, antara lain dalam bentuk perlindungan sosial dan kesehatan (medicare dan medicaid). Sementara Indonesia, alokasi untuk belanja sosial tak kunjung naik, bahkan turun lantaran beban pembayaran bunga yang terus meningkat.

Sumber: https://katadata.co.id/berita/2019/01/29/jawab-faisal-basri-sri-mulyani-sebut-beban-bunga-utang-masih-logis

Reporter:  Rizky Alika

***

Komentari soal Kritik Bunga Utang, Darmin: Tergantung Cara Hitungnya

Penulis:  Michael Reily

Editor:  Ekarina 29/1/2019, 18.51 WIB

Darmin menyatakan obligasi pemerintah pasti lebih tinggi daripada Malaysia dan Thailand.

Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution
ARIEF KAMALUDDIN | KATADATA

Sejumlah pihak tengah menyoroti tren kenaikan beban pembayaran utang yang terus terjadi sejak 2014. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution pun menyatakan beban bunga utang Indonesia memang lebih besar dibandingkan negara lain, namun hal tergantung seperti apa penghitungannya.

Darmin menyatakan obligasi pemerintah pasti lebih tinggi daripada Malaysia dan Thailand. “Tidak sama setiap negara kalau hitungannya obligasi pemerintah,” kata dia di Kompleks Istana Negara, Jakarta, Selasa (29/1).

Dia menjelaskan penghitungan bunga utang berdasarkan obligasi pemerintah pasti lebih tinggi daripada suku bunga. “Jika ukurannya berdasarkan utang langsung, bunga utang tidak akan banyak berbeda,” ujarnya. 

(Baca: Jawab Faisal Basri, Sri Mulyani Sebut Beban Bunga Utang Masih Logis)

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menilai kenaikan beban pembayaran bunga utang merupakan hal yang wajar. “Itu bukan sesuatu hal yang baru. Adalah sesuatu yang logis,” kata Sri Mulyani.

Menurutnya, peningkatan bunga utang terjadi seiring tren kenaikan bunga acuan global. Bank Indonesia (BI) pun telah merespons hal itu dengan mengerek BI 7-day Reverse Repo Rate sebanyak 6 kali sepanjang 2018.

Sebaliknya, ia menyebut beban bunga utang pada 2014 rendah karena pada saat itu sedang ada tren pelonggaran moneter dunia. Sehingga, Bank Indonesia saat itu turut menurunkan suku bunga.

div class=”embed-responsive embed-responsive-16by9″ style=”height:700px;” >

Adapun, utang masih dilakukan apabila Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) masih mengalami defisit. Namun, ia meminta masyarakat untuk tidak melihat utang hanya dari nominalnya saja.

Seharusnya, utang dilihat dalam konteks yang lebih besar. “(Kalau) nominal lain tidak dilihat, itu kan jadi membingungkan atau cenderung dianggap untuk menakut-nakuti masyarakat,” ujarnya. 

Menurutnya, utang diperlukan untuk menjaga stabilitas ekonomi Indonesia, seperti ketika mengalami tekanan harga komoditas dan pertumbuhan ekspor masih negatif. Selain itu, utang juga digunakan untuk membangun infrastruktur, mengurangi kemiskinan, dan menjaga pertumbuhan ekonomi. “Itu semua kan tujuannya,” kata dia. 

Sementara itu, Ekonom Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri mengakui bahwa rasio utang pemerintah Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masih relatif rendah bila dibandingkan dengan Jepang dan Amerika Serikat (AS). Namun, pemerintah diminta mewaspadai beban pembayaran bunga utang terhadap APBN yang terus meningkat.

“Selama kurun waktu 2014-2018, utang pemerintah pusat naik 69%, dari Rp 2.605 triliun menjadi Rp 4.416 triliun. Peningkatan itu lebih tinggi ketimbang periode 2010-2014 sebesar 55%,” tulis Faisal dalam situs resminya, Minggu (27/1).

(Baca: Alasan Sri Mulyani Gencar Terbitkan Surat Utang di Awal Tahun)

Berdasarkan catatannya, pembayaran bunga utang pada 2014 baru mencapai 7,5% dari belanja total dan 11,1% dari belanja pemerintah pusat. Lima tahun kemudian (2018), pembayaran bunga utang meningkat, masing-masing menjadi 11,7% persen dari belanja total dan 17,9% dari belanja pemerintah pusat.

Selama kurun waktu 2014-2018, belanja untuk pembayaran bunga utang tumbuh paling tinggi, yaitu 94% atau lebih dari tiga setengah kali pertumbuhan belanja modal yang hanya 25,9%.

Sebagai perbandingan, rasio utang AS mencapai 105% dari PDB atau jauh lebih tinggi dari Indonesia, yaitu di bawah 30% dari PDB. Meski rasio utangnya lebih tinggi, AS hanya mengalokasikan 7% untuk pembayaran bunga utang dari total belanja total tahun anggaran 2018.

Sementara itu, APBN AS sebagian besar dialokasikan untuk belanja sosial, antara lain dalam bentuk perlindungan sosial dan kesehatan (medicare dan medicaid). Sementara Indonesia, alokasi untuk belanja sosial tak kunjung naik, bahkan turun lantaran beban pembayaran bunga yang terus meningkat.

Reporter:  Michael Reily

Sumber: https://katadata.co.id/berita/2019/01/29/komentari-soal-kritik-bunga-utang-darmin-tergantung-cara-hitungnya?utm_source=dable

***

Sungguh tiara niatan sama sekali untuk menyudutkan siapa pun –Faisal Basri seperti jutul berta di bawah ini.

Faisal Basri Sudutkan Sri Mulyani Soal Bengkaknya Bunga Utang

NEWS – Yanurisa Ananta, CNBC Indonesia 29 January 2019 14:32SHAR

Foto: Menteri Keuangan Sri Mulyani Memimpin Konferensi pers kinerja APBN 2018 di Kementerian Keuangan (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)Jakarta, CNBC Indonesia – Bukan soal nominal kali ini yang diperdebatkan terkait utang. Justru bunga utang yang makin membengkak terus dibayarkan dari APBN.

Adalah Faisal Basri, Ekonom Senior Universitas Indonesia (UI) yang menyoroti hal tersebut.

“Sekalipun utang pemerintah Indonesia masih relatif rendah, namun beban pembayaran bunga utang terhadap APBN terus meningkat,” kata Faisal, yang ditulis di situs resminya, Selasa (29/1/2019).

Pada tahun 2014, pembayaran bunga utang baru mencapai 7,5% dari belanja total dan 11,1% dari belanja pemerintah pusat. Lima tahun kemudian, angka tersebut meningkat masing-masing menjadi 11,7% dan 17,9%.

Data Kementerian Keuangan mencatat, pembayaran bunga utang pada 2014 secara nominal mencapai Rp 133,4 triliun. Angka tersebut semakin meningkat di 2018 hingga Rp 238 triliun-non audited.

Selama kurun waku 2014-2018, belanja untuk pembayaran bunga utang tumbuh paling tinggi hingga 94%, lebih dari tiga setengah kali pertumbuhan belanja modal yang hanya 25,9%.

“Sebagai perbandingan, AS yang nisbah utangnya jauh lebih tinggi dari Indonesia hanya mengalokasikan 7% dari belanja total pada tahun anggaran 2018,” kata Faisal.

Mari menengok data bunga utang yang dibayar pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). 

Pada 2014 melalui APBN-P pembayaran bunga utang mencapai Rp 135,45 triliun. Kemudian, pada 2015 melalui APBN-P, pemerintah mengajukan pembayaran bunga utang hingga Rp 155,7 triliun atau 8% dari total belanja negara.

Sementara, APBN-P 2016 juga mencapai Rp 191,21 triliun atau 14,6% dari total belanja pemerintah pusat Rp 1.306,6 triliun.

Di tahun 2017, dalam APBN-P pembayaran bunga utang mencapai Rp 219,2 triliun atau 16% dari total belanja pemeirntah pusat yang sebesar Rp 1.367.

Pada 2018, pembaaran bunga utang mencapai Rp 238,60 triliun atau sebesar 16,4% dari total belanja pemerintah pusat.

Adapun di 2019, pemerintah mengalokasikan Rp 275,9 triliun atau 16,88% dari total belanja pemerintah pusat Rp 1.634 triliun.

Sri Mulyani menjelaskan, soal beban bunga utang bukan sesuatu yang baru. Hal itu logis, namun dengan catatan perlu dilihat dalam konteks yang lebih besar terkait guna dari utang tersebut. 

PILIHAN REDAKSIBukan Nominal yang Jadi Soal, Tapi Bunga Utang RI BengkakSri Mulyani Bicara Utang Bukan Sesuatu yang Baru & MenakutkanSoal Menteri Pencetak Utang, Bos Golkar: Berutang itu Biasa

Dalam penilaian, menurut Sri Mulyani, utang harus dilihat apakah mampu menjaga stabilitas ekonomi waktu mengalami tekanan akibat harga komoditas jatuh. Apakah bisa membantu perekonomian saat ekspor mencatatkan performa negatif tahun 2014-2015. Juga apakah mampu membangun infrastruktur, memerangi kemiskinan, dan menjaga pertumbuhan ekonomi. 

“Itu kan semua tujuannya. Jadi kalau cuma melihat dari utangnya saja jadi kehilangan konteksnya,” ucapnya. 

Dalam berita CNBC Indonesia, Selasa (29/1/2019) disebutkan, dalam kurun waktu 2014-2018 utang pemerintah pusat naik hingga 69% dari Rp 2.605 triliun menjadi Rp 4.416 triliun, atau lebih tinggi dari periode 2010 – 2014 sebesar 55%.

“Yang dibandingkan itu tidak hanya nominal. Kalau nominal berat tapi tidak dilihat nominal yang lain itu kan jadi membingungkan atau bahkan cenderung dianggap untuk menakut-nakuti masyarakat,” ungkapnya. 

Lebih lanjut Sri Mulyani menjelaskan, pada tahun 2014 terjadi monetery policy easing di mana seluruh dunia juga turut terdampak. Saat itu, Bank Indonesia (BI) menurunkan suku bunga acuan sehingga dengan stock utang yang lebih kecil maka bunga pembayarannya turut rendah. Baru 5 tahun kemudian, lanjut Sri Mulyani, stok nominal tinggi. 

“Nominalnya bertambah tapi juga suku bunga dunia meningkat ditambah Bank Indonesia juga menaikan suku bunga sudah 7 kali kan.” pungkasnya.

Faisal Basri Sudutkan Sri Mulyani Soal Bengkaknya Bunga Utang

(Sumber: https://www.cnbcindonesia.com/news/20190129140455-4-52858/faisal-basri-sudutkan-sri-mulyani-soal-bengkaknya-bunga-utang

8 comments on “Sekali Lagi Soal Utang”

  1. Halo,
    kami memberikan segala jenis pinjaman seperti pinjaman siswa, pinjaman hutang, pinjaman bisnis, pinjaman pribadi dan lain-lain, apakah Anda mencari pinjaman yang mudah dan cepat atau Anda pernah ditipu sebelumnya? Anda sekarang berada di tempat yang tepat untuk mendapatkan permintaan pinjaman Anda dengan sukses dan segera.

    Apakah Anda tertarik mendapatkan pemberi pinjaman yang tepat? jika ya silakan hubungi melalui email: zenithparkloanfunds@outlook.com

    Tuhan memberkati.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.