Membangkitkan Kembali Perekonomian Indonesia

Belum ada komentar

Rabu lalu (8/7), Bank Dunia untuk kesekian kalinya mengoreksi prediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk tahun 2015, kali ini dari 5,2 persen menjadi 4,7 persen. Jika prediksi Bank Dunia tepat atau setidaknya jika realisasi pertumbuhan  ekonomi Indonesia di bawah 5 persen tahun ini, maka perlambatan pertumbuhan bakal terjadi selama lima tahun berturut-turut. Niscaya ada yang tak beres menjangkiti perekonomian Indonesia. Masalah struktural harus dienyahkan.

Pertumbuhan ekonomi tertinggi setelah krisis tahun 1998 terjadi pada tahun 2010, yaitu sebesar 6,4 persen. Setelah itu mengalami penurunan terus menerus, menjadi 6,2 persen tahun 2011, 6,0 persen tahun 2012, 5,6 persen tahun 2013, dan 5,0 persen tahun 2014.

agdp

Pola pertumbuhan mengalami perubahan mendasar (structural change). Sebelum krisis, ujung tombak pertumbuhan adalah sektor tradables (penghasil barang: pertanian, pertambangan, dan industri manufaktur).  Setelah krisis, sektor nontradables mengedepan dengan laju pertumbuhan yang kian jauh lebih tinggi dari sektor tradables.

Ketika pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) mengalami kemerosotan selama kurun waktu 201-13, sektor nontradable mampu bertahan dengan laju pertumbuhan tinggi di aras 7,1-7,2 persen. Sebaliknya, pertumbuhan sektor tradables merosot tajam dari 5,1 persen (2011) menjadi 4,7 persen (2012) dan 3,7 persen (2013). Bahkan, pada triwulan I-2015, tatkala pertumbuhan PDB terus merosot, sektor nontradables menikmati peningkatan pertumbuhan dan sebaliknya sektor tradables mengalami kemerosotan pertumbuhan.

Tak ayal, kesenjangan pertumbuhan kedua sektor itu kian menganga hingga mencapai lebih dari dua kali lipat: 6,3 persen (nontradables) versus 2,7 persen (tradables).

aquality

Kemajuan sektor nontradables tampak nyata dari PDB seri 2010. Pada PDB versi sebelumnya hanya tercantum 6 sektor jasa, sedangkan pada PDB seri 2010 menggelembung menjadi 14 sektor. Peningkatan jumlah sektor jasa menunjukkan perubahan dinamika dalam perekonomian. Tak dinyana, sumbangan sektor tradable dalam perekonomian tinggal 44,2 persen.

asector

Sumbangsih sektor pertanian dan pertambangan secara alamiah memang akan terus turun. Namun, bagi Indonesia yang belum tuntas melalui tahapan industrialisasi dan sedang pada tahap industrializing, peranan sektor industri manufaktur dalam perekonomian sejatinya masih berpotensi besar untuk terus naik. Kenyataan justru sebaliknya. Sumbangan tertinggi sektor industri manufaktur hanya 29 persen pada tahun 2001. Setelah itu turun hingga mencapai titik terenda 23,7 persen pada tahun 2014 berdasarkan PBD seri 2010. Berdasarkan PDB seri 2010, sumbangan industri manufaktur terkoreksi ke bawah, tinggal 21 persen.

Pengalaman negara-negara yang telah berhasil menapaki tahapan industrialisasi menunjukkan sumbangan sektor industri manufaktur dalam PDB pada umumnya sampai 35 persen. China bahkan mencapai di atas 40 persen dan Malaysia 30 persen.

asharemfg

Pasca krisis 1998 pertumbuhan industri manufaktur nyaris hampir selalu lebih rendah dari pertumbuhan PDB. Selama kurun waktu 2011-14, industri manufaktur tumbuh hanya 5,3 persen rata-rata setahun, lebih rendah ketimbang pertumbuhan PDB sebesar 5,7 persen. Pada triwulan I-2015, pertumbuhan industri manufaktur kian terseok dibandingkan dengan pertumbuhan PDB. Bahkan lima subsektor industri manufaktur mengalami pertumbuhan negatif. Kondisi itu bertolak belakang dengan sebelum krisis, kalamana pertumbuhan industri manufaktur mencapai sekitar dua kali lebih tinggi dari pertumbuhan PDB.

amfg

Untuk bangkit, hampir tak ada pilihan kecuali menggenjot industri manufaktur. Industrialisasi harus digalakkan kembali.

Peluang emas jangan disia-siakan. China sedang mengalami restrukturisasi industri. Pemerintah China bertekad mendorong domestic demand, antara lain dengan meningkatkan upah buruh, agar ketergantungan pada pasar luar negeri (ekspor) berkurang. Mau tak mau relokasi industri ke luar negeri semakin gencar. Investor asing di China sudah melalukannya, demikian pula investor domestik. Diperkirakan ada 100 juta lapangan kerja yang bakal tercipta di negara-negara yang menjadi limpahan industri manufaktur China. Jika Indonesia mampu menyerap 20 persennya saja, itu berarti ada potensi sebanyak 20 juta pekerja. Jika terwujud, dijamin angka pengangguran di Indonesia turun tajam dan porsi pekerja formal akan meningkat tajam. Sekedar catatan, per Februari 2015 jumlah penganggur berdasarkan definisi Badan Pusat Statistik (BPS) adalah 7,45 juta.

Sejauh ini yang paling banyak menyerap potensi relokasi itu adalah Vietnam. Apalagi Vietnam menjadi anggota dari Trans-Pacific Partnership (TPP) sehingga akses ke pasar Amerika Serikat bakal lebih leluasa.

Kita memiliki kelebihan lebih banyak ketimbang Vietnam, apalagi dibandingkan dengan negara-negara di Afrika dan Asia Selatan.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.