Ketentuan pembebasan pajak penjualan barang mewah (PPnBM) atas sejumlah barang seperti parfum, sadel kuda, peralatan golf, dan tas Louis Vuitton menimbulkan reaksi pedas. Kebijakan itu dipandang sangat memanjakan kelas atas. Semakin miris kalau bertujuan mendongkrak daya beli kelas atas karena jauh api dari panggang. Lihat posting di blog ini yang berjudul “Benarkah Daya Beli Masyarakat Merosot?” Bisa diunduh di http://wp.me/p1CsPE-179.
Namun ada sisi positif dari kebijakan itu, yakni berlaku juga untuk barang elektronik seperti lemari pendingin, pemanas air, mesin cuci baju, monitor televisi, AC, AC mobil, alat perekam video, alat fotografi, kompor, proyektor, mesin cuci piring, mesin pengering, dan microwave oven.
Penghapusan PPnBM untuk produk elektronik sangat berpotensi meningkatkan investasi industri elektronik di Indonesia, baik dalam bentuk investasi baru maupun perluasan kapasitas pabrik.
Perjuangan menghapuskan PPnBM untuk berbagai produk elektronik sudah lama dilakukan. Penulis sendiri pernah menyampaikan langsung dampak positif dari penghapusan PPnBM untuk produk elektronik kepada Menteri Koordinator Perekonomian semasa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono periode pertama. Namun, usulan itu tidak digubris.
Tidak terlalu sulit menghitung dampak positif pembebasan PPnBM untuk produk elektronik. Pertama, sejumlah produk elektronik seperti kompor, alat fotografi, microwave oven, mesin pompa, televisi dan AC sudah merupakan kebutuhan yang melekat pada kelas menengah.
Kedua, akibat pengenaan PPnBM, produk elektronik buatan dalam negeri menjadi relatif jauh lebih mahal dibandingkan dengan produk serupa di negara tetangga. Disparitas harga yang relatif lebar membuat insentif untuk menyelundupkan produk elektronik dari luar negeri menjadi besar. Kenyataan memang menunjukkan cukup banyak produk elektronik illegal di pasar dalam negeri.
Ketiga, penghapusan PPnBM membuat produk elektronik di dalam negeri lebih kompetitif dibandingkan dengan produk serupa yang diimpor, sehingga menambah insentif bagi produsen di dalam negeri untuk meningkatkan produksi. Ongkos produksi (average production cost) sangat bertopensi turun karena skala produksi semakin besar atau memperoleh benefit dari keekonomian skala (economies of scale).
Keempat, dengan tercapainya keekonomian skala, Indonesia semakin menarik untuk dijadikan sebagai basis produksi (production base), tidak hanya untuk pasar domestik melainkan juga untuk kawasan regional maupun global.
Kelima, impor produk elektronik turun dan ekspornya berpotensi naik tajam, sehingga memperkokoh keseimbangan sektor eksternal, khususnya transaksi perdagangan luar negeri Indonesia.
Keenam, dengan perkembangan industri elektronik yang pesat pemerintah pada gilirannya menikmati kenaikan pendapatan dari pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak keuntungan perseroan. Sehingga secara netto, penerimaan pemerintah justru bertambah karena penurunan penerimaan pemerintah akibat penghapusan PPnBM lebih kecil daripada peningkatan pendapatan pemerintah dari PPN dan pajak keuntungan perusahaan.
Selain itu, jumlah pekerja yang diserap oleh subsektor elektronik akan meningkat signifikan sehingga mengurangi angka pengangguran dan meningkatkan pajak pendapatan karyawan.
Gagasan yang disampaikan sekitar 10 tahun lalu akhirnya terwujud. Namun, dalam 10 tahun itu telah terjadi banyak perubahan di lingkungan regional. Negara-negara tetangga lebih agresif menangkap peluang untuk memacu industri elektronik mereka.
Yang paling banyak mengambil peluang adalah Vietnam. Negeri yang tergolong baru dalam percaturan investasi asing langsung ini tiba-tiba menyembul sebagai negara pengekspor produk elektronik yang disegani. Ekspor produk elektronik Vietnam sudah jauh meningggalkan Indonesia. Pada tahun 2013, ekspor produk elektronik Vietnam sudah hampir empat kali lipat Indonesia. Sebaliknya, dalam 10 tahun terakhir ekspor elektronik Indonesia praktis jalan di tempat.
Samsung memilih Vietnam sebagai basis produksi regional. Sementara itu Blackberry memilih Malaysia, padahal Indonesia merupakan pasar terbesar kedua di dunia bagi blackberry.
Dengan Filipina saja Indonesia sudah kalah.
Semoga belum terlambat bagi Indonesia untuk memajukan industri elektronik. Pembebasan PPnBM merupakan momentum untuk bangkit.

Pak Faisal, saya sangat mengagumi tulisan dan langkah2 anda di bidang ekonomi.
Sebagai orang awam saya ingin bertanya bagaimana ekonomi suatu negara dihitung? Saya bingung karena setiap saya berbincang dengan pelaku bisnis belakangan hampir semua mengatakan omset turun 30-40%, tapi ekonomi masih menunjukkan pertumbuhan 4,7%.
Thanks before,
Dear Bung Johan,
ukuran untuk mengetahuiperkembangan ekonomi yg paling lazim dipakai adalah produk domestik bruto yg merupakan penjumlahan nilaitambah seluruh sector perekonomian. Nilai tambah diperoleh dari output minus input antara.
Ada pun omzet mengukur nilai penjualan akhir barang dan jasa, baik yg diproduksi di dalam negeri maupun impor.
Pengusaha lazimnya memdramatisasi. Kalau untuk tidak teriak, kalau untung besar bilangnya untung kecil. Kalau rugi berteriaknya dramatis.
Yang penjulannya merosot antara lain adalah mobil dan motor, tapi itu pun hanya belasan persen. Datanya dari Gaikindo.
Kita juga bias melihat dan merasakan sendiri. Apakah belanja kita merosot sampai 30-40 persen? Rasanya tidak.
Jadi, yang terbaik untuk menilai perkembangan ekonomi secara keseluruhan adalah PDB.