Harusnya Kita Sudah Belajar Dari Peristiwa Serupa Tahun 2013 (Revisi)

6 komentar

belajar
Sumber: emergingequity.wordpress.com

Catatan: Tulisan dengan judul yang sama yang saya posting 26 September 2018 ternyata terhapus. Beberapa pembaca menyampaikan bahwa dalam tuisan itu ditemukan banyak salah ketik. Ternyata versi yang saya posting bukan versi terakhir dan belum diedit. Tulisan ini merupakan versi yang telah saya koreksi dan perbarui. Mohon maaf atas ketidaknyamanan ini.

Agaknya gejolak perekonomian tahun 2013 belum terlalu lama da semoga belum lekang dari ingatan kolektif kita. Kala itu, Bank Indonesia (BI) dan Pemerintah menengarai biang keladi gejolak perekoomian berasal dari faktor eksternal atau global, yakni tatkala bank sentral Amerika Serikat (The Fed) mengumumkan rencana pemotongan dana stimulus sebanyak 85 miliar dollar AS setiap bulan. Paragraf pembuka isi pidato Gubernur Bank Indonesia, Agus Martowardojo, pada acara Bankers Dinner 14 November 2013 menyuratkan hal itu:

“Secara pribadi kami sungguh merasakan tantangan ekonomi yang tidak ringan di tahun 2013 ini. Kami bergabung dengan Bank Indonesia pada 24 Mei 2013, tepat dua hari setelah Chairman dari Federal Reserve memberikan sinyalemen akan mengurangi stimulus moneter (tapeting). Sinyalemen yang sangat singkat, namun pengaruhnya mendunia. Sejak saat itu, hari demi hari hingga akhir Agustus lalu, ekonomi kita ditandai dengan derasnya aliran keluar modal portofolio asing, yang kemudian menekan nilai tukar rupiah dengan cukup tajam.” (huruf tebal oleh penulis.)

Menteri Keuangan menyampaikan hal senada, bahkan memperkirakan rupiah akan terus melemah hingga awal tahun 2014:

“Indonesia’s rupiah and bond yields will return to levels seen in 2009 after the Federal Reserve cuts stimulus that has buoyed emerging-market assets, Finance Minister Chatib Basri said.” (Source: Bloomberg.com, Indonesia’s Basri Sees Rupiah Back to 2009 Levels After QE Taper http://bloom.bg/1cHKkKO, November 8, 2013.)

Tidak hanya sampai awal tahun 2014, nilai tikar rupiah melemah terus hingga akhir tahun dan bahkan berkepanjagan hingga sekarang. Pada hari Gubernur The Fed, Ben Shalom Bernanke, mengumumkan rencana pemotongan stimulus, nilai tukar rupiah berada pada Rp 9.765 per dollar AS. Ketika Gubernur BI menyampaikan pidato akhir tahun pertamanya, kurs rupiah sudah mencapai Rp 11.546 per dollar AS. Pada akhir tahun 2014 rupiah kian melemah menjadi Rp 12.440. Hari ini, nilai tukar rupiah Sudan mendekati Rp 15.000 per dollar AS.

Screen Shot 2018-09-28 at 17.44.08

Indonesia relatif cepat menjinakkan gejolak 2013. Menteri Keuangan ketika itu, Muhamad Chatib Basri, mengutarakan pengalamannya mengelola gejolak dalam makalah yang diterbitkan oleh Ash Center, Harvard Kennedy School, Harvard University.

Gubernur baru sekarang yang dilantik pada 24 Oktober 2018 juga menghadapi tantangan pertama dalam bentuk yang mirip dengan yang dihadapi Gubernur BI sebelumnya yang juga baru dilantik pada 24 Mei 2013. Langkah pertama yang ditempuh keduanya juga sama, yakni menaikkan suku bunga acuan beberapa kali dalam waktu relatif singkat. Pemerintah kala itu dengan sigap melakukan langkah-langkah kebijakan untuk memitigasi gejolak. Tentu ada perbedaan dengan langkah-langkah yang dilakukan pemerintah sekarang.

Screen Shot 2018-09-27 at 22.25.34

Ada kesamaan tindakan pemerintah pada 2018 dan 2013 antara lain adalah penerapan kewajiban penggunaan biofuel dalam solar: tahun 2013 sebesar 10 persen dan tahun ini sebesar 20 persen.

Perbedaan mendasar yang dilakukan pemerintah pada tahun 2013 adalah relaksasi perpajakan dan lebih beragam instrumen untuk meningkatkan ekspor sekaligus mengurangi tata niaga yang menghambat impor demi menekan praktek pemburuan rente. Tindakan pemerintah sekarang lebih banyak untuk menekan impor seraya kurang menyentuh praktek pemburuan rente. Tahun 2013 Kebijakan lebih bersifat ofensif, sedangkan pemerintah sekarang lebih bersifat defensif.

Pengalaman tahun 2013 semakin menyadarkan pemerintah, Bank Indonesia,  kalangan ekonom dan analis betapa penting menggulirkan penyesuaian struktural untuk membakar lemak-lemak yang menyelubungi perekonomian agar pertumbuhan bisa kembali mengakselerasi. Sayangnya pertimbangan politik lebih mendominasi.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyoo sebetulnya tidak memikul beban politik yang terlalu berat karena tidak lagi berlaga dalam pemilihan presiden 2014. Presiden Joko Widodo kembali berlaga untuk terpilih kembali dalam pemilihan presiden 2019. Kebijakan-kebijakan yang ditempuh lebih bernuansa populis dan menghindari penyesuaian struktural yang pahit dalam jangka pendek tetapi meyembuhkan dalam jangka menengah dan jangka panjang. Sudah barang tentu ada risikonya. Katakalah harga minyak mentah merangkak naik mendekati 100 dollar AS awal tahun depan, antara lain disebabkan oleh penerapan sanksi oleh Amerika Serikat atas ekspor minyak Iran. Menghadapi kondisi demikian, pemerintah nyaris tidak memiliki pilihan kecuali menaikkan harga BBM, karena PT Pertamina (persero) dan PT PLN (persero) menghadapi  keterbatasa untuk menanggung beban tambahan. Bisa dibayangkan betapa bakal tidak populernya Presiden Jokowi dengan semakin dekatnya hari pencoblosan.

Sementara itu, fundamen perekonomian dewasa ini cenderung melemah dibandingkan kondisi tahun 2013. Jika pada 2013 pemerintah masih bermodalkan nisbah pajak (tax ratio) dua digit (11,3 persen), pada semester I-2018 tinggal 9,1 persen. Kemampuan bermanuver pemerintah menghadapi lonjakan harga minyak bakal semakin terbatas.

Screen Shot 2018-09-28 at 18.28.09

Kedua, pada tahun 2013 nisbah ekspor barang dan jasa terhadap PDB masih 23,9 persen, sedangkan pada semester I-2018 turun menjadi 20,7 persen. Jika hanya ekspor barang, pada kurun waktu yang sama, porsinya terhadap PDB turun dari 21,4 persen menjadi  hanya 18 persen. Sampai kini kita belum mampu menghentikan trend penerunan nisbah ekspor terhadap PDB yang sudah terjadi sejak awal tahun 2000-an.

Padahal kebutuhan devisa Indonesia terus meningkat untuk membiayai cicilan dan bunga utang luar negeri maupun untuk berjaga-jaga menghadapi penjualan bersih investor asing dalam bentuk investasi portofolio.

Screen Shot 2018-09-17 at 04.41.18

Ketiga, obligasi pemerintah dalam mata uang rupiah yang dipegang oleh investoir asing merangkak naik. Jika pada tahun 2013 baru mencapai 32,5 persen, per Maret 2018 sudah mencapai 39,3 persen.

Screen Shot 2018-09-10 at 12.43.10

Keempat, sejak 2010, baru pada tahun ini terjadi akumulasi penjualan Surat Utang Negara (SUN) berdasarkan data bulanan lebih besar dari pembeliannya sehingga mengalami net sale, bahkan sudah berulang kali. Kejadian ini sudah barang tentu berkontribusi signifikan terhadap pelemahan nilai tukar rupiah.

Screen Shot 2018-09-26 at 16.28.28

Kelima, pada tahun 2013 dan beberapa tahun sebelumnya, penanaman modal asing langsung (foreign direct investment) lebih besar dari investasi asing dalam bentuk portofolio. Namun, sejak 2014 keadaannya berbalik. Akibatnya terlihat tahun ini ketika investasi portofolio yang keluar lebih banyak dari yang masuk, membuat nilai rupiah kian melemah. Pada waktu bersamaan FDI yang masuk pada semester I-2018 juga merosot dibandingkan dengan semester I-2017. Di antara negara emerging Asia Tenggara, Indonesia paling sedikit menerima FDI.

Screen Shot 2018-09-29 at 00.19.15

Kemerosotan daya tarik Indonesia dalam menarik FDI terlihat pula dari survei tahunan yang dilakukan oleh Japan Bank for International Cooperation (JBIC) terhadap perusahaan manufaktur Jepang yang beroperasi di luar negeri. Pada tahun 2013 Indonesia untuk pertama kali menduduki posisi puncak. Dua tahun berturut-turut kemudian posisi Indonesia turun ke peringkat kedua, lalu pada tahun 2016 turun ke peringkat ketida, dan pada tahun 2017 turun dua peringkat ke urutan kelima. Untuk pertama kali Vietnam berada di peringkat lebih tinggi dari Indonesia.

Screen Shot 2018-09-29 at 00.19.20

Keenam, untuk mengurangi beban fiskal, pemerintah mempercepat kenaikan harga BBM pada 22 Juni 2013. Di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, seluruh subsidi BBM dan listrik dibebankan pada APBN. Pada pemerintahan Joko Widodo, kenaikan harga minyak tidak direspon oleh pemerintah dengan menaikkan harga BBM bersubsidi. Sebagian besar beban kenaikan itu dibebankan kepada PT Pertamina (persero) dan PT PLN (persero).

Harusnya kini kita lebih sigap menghadapi gejolak dibandingkan tahun 2013. Keledai tidak pernah terperosok dua kali di tempat yang sama.

6 comments on “Harusnya Kita Sudah Belajar Dari Peristiwa Serupa Tahun 2013 (Revisi)”

  1. Kayaknya banyak kesalahan ketik. Tapi secara substansi sangat mencerahkan utk mengetahui kinerja rejim ini secara obyektif.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.