Strategi Menyerang untuk Meredam Pelemahan Rupiah*

6 komentar

Screen Shot 2018-09-03 at 01.29.53

Kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) bertengger di aras Rp 14.711 per dollar AS akhir pekan lalu, nyaris menyamai posisi terendah pasca krisis ekonomi 1998 yang terjadi pada 29 September 2015 sebesar Rp 14.728 per dollar AS.

Screen Shot 2018-09-04 at 10.09.26

Sampai 31 Agustus, retara tahunan nilai tukar rupiah berada pada titik terendah sepanjang sejarah, yaitu Rp 13.949 per dollar AS.  Pada puncak krisis ekonomi 1998, rerata tahunan hanya Rp 10.014 per dollar AS.

Screen Shot 2018-09-03 at 01.39.49

Selama kurun waktu 1998-2011, pergerakan rerata tahunan rupiah di kisaran Rp 7.855 hingga Rp 10.390 per dollar AS dengan pola naik-turun bergantian setiap tahun. Penyebab naik-turun rupiah dengan yang relatif tidak melebar karena sepanjang periode itu Indonesia menikmati suplus akun lancar atau transaksi berjalan (current account).

Mulai 2012, akun lancar berbalik menjadi defisit hingga sekarang. Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS terjun bebas dari Rp 8.770 pada tahun 2011 menjadi Rp 9.387 (2012), lalu turun menjadi Rp 10.461 (2013), kemudian merosot lagi menjadi Rp 11.879 (2014), dan melorot kian tajam menjadi Rp 13.392 pada 2015. Sempat menguat tipis menjadi Rp 13.307 setahun kemudian, tetapi kembali melemah ke aras Rp 13.384 pada 2017 dan akhirnya meluncur ke titik terendah Rp 13.949 per 31 Agustus 2018 (year to date).

Screen Shot 2018-09-03 at 01.41.44

Penyebab fundamental pelemahan rupiah adalah defisit akun lancar. Berapa pun besaran defisit akun lancar, rupiah tertekan. Batas aman defisit tiga persen dari PDB tinggal ilusi. Hanya saja, tekanan sedikit mereda jika arus masuk modal asing (capital inflows) melebihi defisit akun lancar seperti terjadi pada 2014, 2016, dan 2017. Karena arus modal masuk lebih banyak berupa “uang panas” alias investasi portofolio, nasib rupiah sangat rentan terhadap tekanan eksternal. Sedikit saja terjadi gejolak keuangan global, rupiah langsung lunglai, yang kerap dijadikan kambing hitam oleh para pembuat kebijakan ekonomi.

Screen Shot 2018-09-03 at 01.43.15

Ketika cadangan devisa melorot sebanyak 13,7 miliar dollar AS dalam enam bulan terakhir—yang antara lain digunakan untuk menahan kemerosotan rupiah—dan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI 7-day repo rate) sudah dinaikkan empat kali sebesar 125 basis poin dalam rentang waktu tiga bulan, tetapi rupiah terus melemah, pemerintah meluncurkan serangkaian kebijakan.

Screen Shot 2018-09-03 at 01.44.46
Screen Shot 2018-09-03 at 01.44.57

Yang paling kental adalah serangkaian langkah untuk menghambat impor. Pemerintah berencana mengendalikan impor dengan menaikkan pajak penghasilan impor (PPh impor) terhadap 900 jenis barang. Mengingat PPh impor merupakan cicilan PPh pada tahun berjalan yang bisa mengurangi pembayaran PPh di akhir tahun, maka secara teoretis tidak akan mengurangi impor, melainkan hanya menambah beban arus kas. Sasaran yang hendak dibidik adalah barang konsumsi. Karena impor barang konsumsi relatif sangat kecil, hanya sekitar sembilan persen dari impor total, maka dampak bagi penghematan devisa sangatlah kecil.

Inisiatif lain untuk meredam impor yang meningkat 23 persen selama Januari-Juli 2018—dua kali lipat lebih ketimbang peningkatan ekspor yang hanya 11,4 persen—adalah larangan impor mobil mewah sebagaimana digagas oleh Wakil Presiden. Sudah barang tentu cara ini pun tidak berdampak signifikan karena jumlah impor mobil mewah hanya ratusan unit.

Penerapan kewajiban mencampur 20 persen minyak nabati (biofuel) ke dalam minyak solar (B-20) yang berlaku mulai 1 September 2018 diharapkan menghemat devisa sekitar 2 miliar dollar AS hingga akhir tahun akibat penurunan impor minyak solar. Kita mendukung kebijakan itu karena sangat baik untuk jangka panjang, khususnya bagi ketahanan energi dan lingkungan hidup. Namun, kita tidak bisa berharap banyak dalam jangka pendek bisa membantu penguatan rupiah. Angka penghematan devisa versi pemerintah merupakan hitungan kasar karena tidak memperhitungkan kesempatan memperoleh tambahan devisa yang hilang dari penurunan ekspor minyak sawit. Jadi, dampak bersih dari penerapan kebijakan wajib B-20 pada solar tidaklah setinggi harapan pemerintah.

Kian Tersisih di Kancah Persaingan Global

Salah salah penyebab mendasar dari pertumbuhan yang tak kunjung mengakselerasi adalah karena perekonomian Indonesia semakin tertutup. Degree of openness—yang diukur dari nisbah ekspor barang dan jasa serta impor barang dan jasa dalam PDB—terus menerus mengalami penurunan tanpa jeda. Setelah mencapai tingkat tertinggi pada periode 1996-2000 masing-masing 36,6 persen untuk ekspor dan 31,1 persen untuk impor, pada kurun waktu 2011-2015 turun menjadi 23,9 persen dan 23,7 persen, dan akhirnya turun lagi di bawah 20 persen (masing-masing 19,7 persen dan 18,7 persen) pada 2016-2017. Secara keseluruhan, ekspor dan impor, yang tentu saja, juga turun dari 67,8 persen pada 1996-2000 menjadi 38,5 persen pada 2016-2017.

Screen Shot 2018-09-03 at 01.48.28

Penurunan degree of openness ditandai pula oleh penurunan surplus (ekspor minus impor). Surplus tertinggi sebesar 10,5 persen dari PDB terjadi pada tahun 2000. Selama 11 tahun kemudian (2001-2011), surplus mengalami naik-turun dengan kecenderungan mengecil, sampai akhirnya mengalami defisit pada pada 2012 sampai 2014. Sempat surplus tipis pada 2015-2017, akhirnya kembali defisit pada semester pertama tahun ini.

Screen Shot 2018-09-03 at 02.00.31

Sepanjang sejarah Indonesia merdeka, jasa selalu mengalami defisit. Kemampuan Indonesia dalam mengekspor kian terbata-bata karena pertumbuhan sektor jasa sejak krisis 1998 jauh lebih tinggi ketimbang pertumbuhan sektor barang (pertanian, pertambangan, dan manufaktur) yang merupakan tumpuan ekspor Indonesia. Lebih parah lagi, sektor industri manufaktur yang merupakan penyumbang terbesar PDB dan andalan ekspor selalu tumbuh lebih rendah dari pertumbuhan PDB. Tak pelak, pangsa manufaktur dalam PDB terus menerus menciut dari tingkat tertinggi 29,1 persen pada tahun 2001 menjadi di bawah 20 persen, tepatnya 19,8 persen, pada triwulan kedua 2018. Gejala dini deindustrialisasi ini menjadi biang keladi kemerosotan kinerja ekspor.

Screen Shot 2018-09-03 at 02.02.45

Saatnya Mengubah Strategi dari Bertahan Menjadi Menyerang

Tak ada satu pun klub sepakbola terkemuka di dunia berjaya karena paling sedikit kebobolan. Mereka juara karena paling banyak membobolkan gawang lawan. Lebih superior lagi jika merupakan perpaduan keduanya seperti Manchester City pada musim lalu.

Strategi bertahan sebagaimana kerap dipraktekkan oleh pelatih Manchester United, Jose Mourinho, terbukti gagal membawa klub yang diasuhnya menjadi juara di kancah liga domestik maupun liga utama Eropa. Selain itu, strategi pragmatis dengan bertahan total yang dijuluki strategi “parkir bus” tidak enak ditonton dan membosankan.

Saatnya Indonesia membidik pasar dunia dengan potensi pasar 7,5 miliar penduduk ketimbang jago kandang yang hanya mengandalkan 265 juta jiwa. Negara-negara yang lebih cepat meningkatkan kesejahteraan penduduknya adalah yang semakin membuka diri: ofensif merambah pasar global seraya membuka lebar pasar domestiknya. Di era saling ketergantungan, mustahil kita menuntut negara lain membuka pasar untuk produk ekspor kita seraya kita menambah barikade untuk mempersulit mitra dagang memasuki pasar kita. Secara teoretis, tak ada satu pun negara yang dirugikan dalam perdagangan internasional sekalipun suatu negara tidak memiliki keunggulan dalam segala hal atau keunggulan absolut. Seburuk-buruknya suatu negara, niscaya negara itu memiliki keunggulan komparatif dan oleh karena itu niscaya berpotensi beroleh keuntungan dari perdagangan internasional. Semakin banyak keuntungan jika yang diperdagangkan adalah produk manufaktur lewat perdagangan intraindustri.

Langkah pertama untuk mewujudkan strategi ofensif adalah mengidentifikasi kapasitas terpasang yang belum terpakai dari setiap industri. Industri otomotif memiliki kapasitas terpasang untuk menghasilkan 2 juta unit. Sejauh ini yang sudah termanfaatkan hanya separuhnya. Sementara itu, menurut kalangan pengusaha manufaktur, rerata kapasitas menganggur pada industri kita sekitar 30 persen. Oleh karena itu, peningkatan produksi untuk menggenjot ekspor dapat segera diwujudkan tanpa harus melakukan perluasan pabrik atau penambahan mesin.

Pemerintah sepatutnya bahu membahu dengan dunia usaha dan membujuk para prinsipal untuk memperluas pasar dengan diplomasi dagang lebih agresif. Negara-negara yang tidak cukup memiliki hard currency sekalipun ditawarkan dengan beragam metode countertrade seperticounter purchase, buyback, offset,dan switch trading. Jika kita tidak membutuhkan produk yang ditawarkan mitra dagang, kita bisa tetap mempertukarkannya dengan produk ekspor kita, lalu  mencari pasar di negara ketiga. Tugaskan PT PPI (persero)—badan usaha milik negara (BUMN) yang bergerak di bidang perdagangan—untuk merealisasikannya. Dengan begitu, PT PPI (persero) akan naik kelas menjadi trading company sesungguhnya yang berkelas dunia, bukan trading company yang lebih banyak menerima penugasan pemerintah lewat tata niaga atau penunjukan langsung.

Kedua, pemerintah duduk bersama dengan pelaku e-commerce,baik yang berbentuk B-to-B (business-to-business), “B-to-B-to-C (business-to-business-to-consumer), maupun C-to-C (consumer-to-consumer). Jangan sebatas mengeluhkan peningkatan impor akibat praktek e-commerce, melainkan kita memanfaatkan media e-commerceuntuk meningkatkan penetrasi ekspor.

Segera rumuskan paket insentif agar pelaku usaha termotovasi untuk mengoptimalkan segala potensi yang sejauh ini berserakan. Himpunlah potensi berserakan itu menjadi kekuatan nasional yang mumpuni. Kita pasti bisa.

Ketiga, daya gunakan seluruh perwakilan Indonesia di luar negeri sebagai ujung tombak pemasaran dan intelejen pasar. Suguhkan para tamu dengan produk-produk Indonesia semisal beragam kopi dan teh terbaik dengan cara memasak atau menyeduh yang benar. Tidak selesai dengan decak kagum para tamu. Perwakilan kita di luar negeri harus siap dengan segala kelengkapan informasi bagi yang hendak memesan atau menyebarluaskan keunggulan produk-produk Indonesia. Itu baru langkah kecil. Banyak lagi yang bisa dilakukan.

Strategi ofensif tidak berarti mengabaikan barisan pertahanan. Belakangan ini kita kerap kebobolan karena gol bunuh diri. Beberapa produk impor merajalela karena kebijakan pemerintah sendiri, terutama karpet merah yang digelar oleh Kementerian Perdagangan. Impor ban selama Jnuari-Juli naik lebih dari dua kali lipat karena Kementerian Perdagangan membuat aturan yang tidak lagi mensyaratkan rekomendasi dari kementerian teknis untuk mengimpor ban. Akibatnya ban impor dari China membanjiri pasar domestik yang kualitasnya lebih rendah dari ban produksi dalam negeri. Nestapa serupa dialami juga oleh produk manufaktur lainnya.

Rekomendasi untuk impor garam juga diobral oleh Kementerian Perindustrian. Tak tanggung-tanggung, sudah keluar rekomendasi impor sebesar 3,7 juta ton lengkap dengan senarai perusahaan pengimpor serta besaran kuota masing-masing. Padahal, defisit garam diperkirakan hanya sekitar 2 juta ton, mengingat tahun ini terjadi kemarau panjang sehingga produksi garam lokal berpotensi naik cukup lumayan mendekati 2 juta ton. Ironisnya, produksi petani itu tidak diperhitungkan dalam penentuan besaran impor. Berdasarkan Peraturan Presden No. 7/2018, pengimporan garam tidak lagi membutuhkan rekomendasi kementerian teknis. Kuota impor gula mentah (raw sugar) juga ditambah. Gula mentah diolah menjadi gula rafinasi untuk kebutuhan industri. Namun, gula rafinasi dengan mudah didapatkan di pasar eceran, padahal sebelumnya pemerintah melarang praktek itu. Belum lagi lonjakan izin impor beras menjadi 2 juta ton tahun ini yang lebih disebabkan karut marut perberasan dan salah urus impor beras sebagaimana ditengarai oleh Badan Pemeriksa Kuangan (BPK).

Presiden perlu segera menertibkan para menterinya yang kerap menyebabkan gol bunuh diri. Tanpa itu, jerih payah menerapkan strategi ofensif bakal memudarkan peluang untuk meraih kemenangan.

*Dimuat di Bisnis Indonesia, Senin, 3 September 2018, halaman 1 dan 3. Tulisan ini merupakan versi naskah yang belum diedit ditambah dengan peraga sebagai basis analisis yang tidak dimuat di versi cetak.

[Data nilai tukar rupiah dimutakhirkan sampai 4 September 2018 yang mencapai titik terendah sejak krisis finansial Asia1998.]

6 comments on “Strategi Menyerang untuk Meredam Pelemahan Rupiah*”

  1. bagaimana dengan perang dagang? apakah itu akan mengurangi total demand sehingga pasar eksport akan semakin sulit utk dicari? juga apakah kualitas dan harga manufaktur indonesia bisa bersaing pada saat ini untuk pasar dunia saat ini? pasar utama dunia adalah amerika eropa, apakah bisa eksport indonesia mengambil pie share dari demand mereka saat ini dengan harga dan kualitas bersaing? memang ada tarif oleh trump akhir2 ini utk produk2 dari negara asal import amerika yang tradisional di sepuluh tahun terakhir, tetapi apakah indonesia bisa mengisi “kekosongan” ini dengan cepat? jika export kopi teh dan sebagainya, apakah potensi export indonesia utk komoditas ini sudah maksimal? bisakah ditambah lagi? dengan naiknya suku bunga amerika bukankah akan memperkecil demand dari sana juga negara2 maju lain yang mulai ke arah tightening dalam beberapa bulan ke depan? .. terima kasih

  2. bagaimana dengan perang dagang? apakah itu akan mengurangi total demand sehingga pasar eksport akan semakin sulit utk dicari? juga apakah kualitas dan harga manufaktur indonesia bisa bersaing pada saat ini untuk pasar dunia saat ini? pasar utama dunia adalah amerika eropa, apakah bisa eksport indonesia mengambil pie share dari demand mereka saat ini dengan harga dan kualitas bersaing? memang ada tarif oleh trump akhir2 ini utk produk2 dari negara asal import amerika yang tradisional di sepuluh tahun terakhir, tetapi apakah indonesia bisa mengisi “kekosongan” ini dengan cepat? jika export kopi teh dan sebagainya, apakah potensi export indonesia utk komoditas ini sudah maksimal? bisakah ditambah lagi? dengan naiknya suku bunga amerika bukankah akan memperkecil demand dari sana juga negara2 maju lain yang mulai ke arah tightening dalam beberapa bulan ke depan? .. terima kasih

  3. untuk gula dan garam bagaimana dengan strategi penjagaan inflasi jangka pendek? bukankah dengan naiknya kurs dollar terhadap rupiah bisa membebani angka inflasi indonesia dan untuk menahan gejolak inflasi perlu diberlakukan kebijakan untuk memangkas harga kebutuhan setidaknya utk jangka pendek? jika indonesia menggunakan bumn perdagangan utk mengambil barang yg tdk diperlukan utk ditukar atau dijual ke pihak ketiga barang apakah itu? dan apakah dengan menjadi perantara, harga barang utk pihak ketiga bisa bersaing dengan harga barang2 supply dari negara lain? bagaimana dengan lokasi indonesia? apakah shipping akan bersaing jika indonesia menjadi perantara dan bagaimana dengan persaingan indonesia dengan negara sekitar kalau mau menjadi perantara? apakah cukup efisien dan murah ? apakah infrastruktur memadai pada saat ini untuk menjadi broker? bagaimana dengan sistem waktu perpindahan arus barang, pengecekan, pajak ,cukai dsb? apakah indonesia bisa bersaing utk menjadi perantara dengan variabel2 tersebut? bukankah strategi agresif lebih beresiko, pengalaman saya berbisnis itu bertahan lebih terprediksi dibanding menyerang karena resiko yang lebih besar. jika uang sudah lepas uang akan hilang dan kembalinya tidak terprediksi.. kalau ditahan sudah pasti segitu dan terprediksi.. mohon jawaban anda utk pertanyaan2 saya karena ini hal yang amat sangat menarik utk dibahas

  4. juga kondisi dunia yang semakin tidak menentu dan late cycle amerika yang sudah berada di posisi mau resesi.. jika penggenjotan eksport dan pembangunan infrastruktur produksi utk eksport digenjot, bukankah ada resiko jika kapasitas tersebut sudah siap, demand akan berkurang pada saat itu karena resesi amerika?

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.