Dalam salah satu putaran debat calon presiden pada pemilihan umum 2014, calon presiden Joko Widodo bertanya kepada calon presiden Prabowo Subiyanto: “Bapak Prabowo, kami ingin bertanya bagaimana cara meningkatkan peran, ini soal rakyat, peran TPID. Terima kasih.” Sebelum menjawab, Prabowo terlebih dahulu bertanya balik kepada Jokowi: “Apa singkatan TPID, Pak Jokowi?” Hadirin mendadak sontak tertawa.
Sebagai gubernur DKI Jakarta dan mantan walikota Solo, tentu saja Jokowi tahu benar apa itu TPID (Tim Pengendalian Inflasi Daerah). Tim ini dibentuk sebagai upaya untuk meredam inflasi, terutama yang bersumber dari sisi penawaran (supply) seperti gangguan produksi, hambatan distribusi, dan akibat kebijakan pemerintah, misalnya pengenaan kuota impor.
Dari sisi permintaan, tanggung jawab lebih berada di pundak Bank Indonesia.
Peraga menunjukkan skema koordinasi dan peranan pemerintah daerah dalam upaya pengendalian inflasi.

Presiden Joko Widodo tampaknya sangat peduli terhadap keberadaan TPID. Pada 4 Agustus kembali Presiden memberikan pengarahan di hadapan peserta rapat koordinasi nasional TPID VII yang sebagian besar pesertanya adalah gubernur, bupati, dan walikota.
“Presiden empat kunci yang harus dilakukan dalam pengendalian inflasi di Indonesia, baik di tingkat pusat maupun daerah. Pertama, penyediaan anggaran pengendalian harga oleh seluruh Pemda, agar dapat melakukan intervensi apabila diperlukan. Kedua, agar unsur-unsur di daerah, seperti Pemda, Kepolisian, Kejaksaan, dan BI di daerah, secara rutin melakukan pemeriksaan pasokan bahan pokok di gudang penyimpanan. Ketiga, memastikan transportasi di daerah maupun antardaerah selalu lancar. Keempat, menjaga distribusi barang.”Lihat Siaran Pres BI
Bahan makanan masih kerap menjadi penyumbang terbesar inflasi di Indonesia. Jika harga bahan makanan terjaga, inflasi bisa ditekan dan lebih stabil di kisaran 3 persen sampai 4 persen. Itu pun tergolong tinggi jika dibandingkan dengan inflasi di negara-negara tetangga.

Harga beberapa komoditas hampir selalu menjadi penyumbang inflasi terbesar di kelompok bahan makanan, antara lain: beras, daging sapi, daging ayam ras, telur ayam ras, cabai, bawang.

Jika kita cermati lebih jauh tampak bahwa permasalahan utama yang dihadapi bukan seperti empat faktor yang dikemukakan Presiden. Akar masalahnya justru bersumber dari pemerintah pusat sendiri.
Pemerintah menerapkan pengaturan yang tidak optimal untuk beberapa komoditas yang diimpor karena produksi dalam negeri tidak mencukupi. Ketika harga beberapa komoditi di pasar internasional turun, justru harga di dalam negeri cenderung naik terus menerus. Contohnya beras, jagung, daging sapi, dan gula. Pengaturan impor menimbulkan beragam praktek pemburuan rente.

Harga beras yang cenderung naik pada tingkat yang jauh lebih tinggi dibandingkan harga di pasar internasional lebih banyak dinikmati oleh pedagang yang menjalin mata-rantai panjang. Harga gabah di tingkat petani jauh lebih rendah dari harga beras eceran.


Carut marut data perberasan menambah buruk keadaan. Impor baru dilakukan ketika harga sudah sulit dikendalikan, ketika stok beras Bulog menipis.

Hal serupa terjadi pada komoditas jagung. Klaim pemerintah produksi jagung melimpah. Namun harga jagung di dalam negeri meningkat terus bahkan mencapai hampir 3 kali lipat harga internasional.
Peternak ayam menjerit karena jagung merupakan unsur utama pakan ternak yang menyumbang sekitar 70 persen ongkos produksi. Karena impor jagung tersendat, bahkan dilarang, pengusaha ayam terpaksa mengimpor gandum sebagai subtitusi jagung.
Impor jagung turun tetapi impor gandum naik. Karena haraga gandum lebih mahal dari harga jagung maka ongkos produksi ayam ras terus naik.
Jadi, bukankah akar masalahnya terletak pada pundak pemerintah pusat? TPID tidak mungkin efektif kalau mengandalkan fungsinya sebagai pemadam kebakaran. Mungkin sudah saatnya TPID direposisi.
Bagus Uda tulisannya. Terus saya baca setiap tulisan Uda
Semoga bermanfaat. Terima kasih banyak.
Inflasi menjadikan kaum pekerja menjadi kuli di negerinya sendiri
Inflasi memang menjadi musuh pekerja berpendapatan tetap, menggerogoti daya beli.