Transformasi Struktural dan Daya Beli

4 komentar

banner_main_NKEA
etp.pemandu.gov.my

Catatan: Malam ini, pk.20:05, Metro TV menggelar acara (live) Economic Challenges dengan tema: “Sudah Pulihkah Daya Beli?” Berikut adalah bahan yang saya siapkan untuk acara itu.

***

Perubahan tidak muncul tiba-tiba. Gelagat perubahan sudah tampak cukup lama, perlahan tapi pasti.

Pembangunan ditandai oleh transformasi dalam perekonomian, di hampir segala aspek. Tulisan ini lebih menekankan perubahan dalam pola konsumsi masyarakat.

Ketika pendapatan rata-rata masyarakat masih sangat rendah, sebagian besar pendapatan dibelanjakan. Sejalan dengan kenaikan pendapatan, porsi yang dibelanjakan turun, sedangkan  porsi yang disisihkan untuk investasi naik.

c-i

Pola konsumsi masyarakat pun turut berubah. Ketika pendapatan masih rendah, sebagian besar pendapatan dibelanjakan untuk makanan. Peningkatan pendapatan mendorong porsi belanja untuk makanan turun, beralih ke non-makanan.

Selanjutnya, pergeseran terjadi dari konsumsi makanan karbohindrat ke protein dan dari bahan makanan (belum diolah) ke makanan olahan (processed food).

Pertumbuhan strata menengah (consumer class) dan kemajuan teknologi mendorong perubahan yang kian beragam. Misalnya pergeseran pola konsumsi dari kebutuhan non-leisure ke leisure. Menurut Badan Pusat Statistik, non-leisure meliputi makanan dan apparel; sedangkan leisure meliputi hospitality (hotel dan restoran) serta rekreasi dan budaya (recreation and culture).

Kemajuan ICT (information and communication technology) mengubah cara bertransaksi, dari interaksi atau transaksi langsung tatap muka menjadi transaksi online.    Transaksi e-commerce dan belanja online kian marak walaupun porsinya masih relatif sangat kecil.

Daya Beli Turun?

Dalam artian sempit, daya beli adalah nilai dari suatu mata uang dinyatakan dalam jumlah barang dan jasa yang diperoleh dari satu unit mata uang itu. Dalam kaitannya dengan sinyalemen terjadi penurunan daya beli masyarakat, daya beli bisa didefinikan sebagai kemampuan masyarakat dalam membeli barang dan jasa. Kemampuan itu dipengaruhi dua faktor, yaitu pendapatan dan tingkat harga (inflasi). Daya beli masyarakat turun jika pendapatan nominal turun atau harga-harga meningkat atau keduanya. Sepanjang kenaikan pendapatan lebih cepat ketimbang kenaikan harga-harga, daya beli akan meningkat.

Tidak terjadi kejadian luar biasa yang menyebabkan daya beli masyarakat turun. Pendapatan rill rata-rata masyarakat tidak pernah turun sejak krisis ekonomi 1998. Belakangan ini laju inflasi semakin rendah, bahkan sudah di bawah 4  persen. Jadi, daya beli masyarakat secara keseluruhan tidak turun. paling banter yang terjadi adalah perlambatan kenaikan daya beli.

infl

Betul terjadi penurunan porsi pendapatan masyarakat untuk konsumsi. Kecenderungan itu sudah berlangsung lama seperti tampak pada peraga di atas, namun nilai riil yang dibelanjakan masyarakat tetap naik.

Penurunan porsi pendapatan yang dibelanjakan semakin jauh dari cerminan penurunan daya beli karena terjadi pengalihan (switching) ke tabungan. Pada triwulan II-2016 porsi pendapatan masyarakat yang ditabung sebesar 18,6 persen, pada triwulan II-2017 naik menjadi 21,1 persen. Survei Kepercayaan Konsumen oleh Bank Mandiri juga menunjukkan kecenderungan serupa dan berlanjut. Berdasarkan survei itu, porsi pendapatan masyarakat yang ditabung naik dari 20,6 persen pada Juli 2017 menjadi 21,1 persen pada Agustus 2017.

Pengalihan ke tabungan tampak pula dari akselerasi kenaikan dana pihak ketiga (DPK) di perbankan sejak Oktober 2016. Pada September 2016 pertumbuhan DPK hanya 3,5 persen. Sebulan kemudian naik menjadi 6,5 persen, lalu naik lagi menjadi 8,4 persen pada November dan 9,6 persen pada Desember. Sejak Januari 2017 hingga Juni 2017 pertumbuhan DPK hampir selalu dua digit. Sebaliknya, kredit yang disalurkan perbankan melemah dan hanya tumbuh satu digit selama 19 bulan terakhir. Jadi, dana masyarakat yang mengendap di perbankan mengalami peningkatan.

dpk

Memang terjadi penurunan daya beli pada kelompok 40 persen termiskin. Nilai tukar petani sejak November 2014 hingga Agustus 2017 turun dari 102,87 menjadi 101,60. Khusus untuk NTP pangan penurunannya lebih tajam, dari 102,0 menjadi 98,3. NTP di bawah 100 perlu diwaspadai.

Upah riil buruh tani juga merosot 2,49 persen selama kurun waktu November 2014 hingga Agustus 2017. Pada kurun waktu yang sama, upah riil buruh bangunan di perkotaan pun mengalami penurunan sebesar 2,12 persen.

Indikasi lainnya terlihat dari kenaikan jumlah pekerja informal dari 57,94 persen pada Februari 2015 menjadi 58,35 persen pada Februari 2017.

Penurunan daya beli kelompok 40 persen termiskin antara lain tercermin dari penurunan penjualan sepeda motor dalam tiga tahun terakhir, masing-masing minus 15,2 persen pada 2015, minus 7,3 persen pada 2016, dan minus 13,1 persen pada januari-Juli 2017.

Ada beberapa indikasi penurunan daya beli telah merembet ke kelompok 40 persen berpendapatan menengah, khususnya menengah-bawah dan menengah-tengah. Pertama, gaji pegawai negeri/TNI/Polri tidak naik sejak 2016 dan pemerintah telah mengumumkan tidak ada kenaikan pada 2018.

Kedua, pencabutan subsidi listrik untuk pelanggar 900 VA. Jumlah mereka sekitar 19 juta. Akibat pencabutan subsidi itu, pengeluaran rerata kelompok ini untuk listrik naik tajam dari Rp 80.000 per bulan menjadi Rp 170.000 per bulan.

Ketiga, penurunan penjualan mobil sedan selama Januari-Juli 2017 turun sebesar 24 persen dan penjualan mobil komersial 4X2 turun 7 persen dibandingkan Januari-Juli 2016. Sebaliknya, mobil yang lebih murah (LCGC) naik tajam sebesar 35,8 persen.

Kelompok berpendapatan mengengah-atas dan 20 persen terkaya tampaknya masih menikmati peningakatan daya beli. salah satu indikatornya terlihat dari kenaikan penjualan mobil dalam dua tahun terakhir, masing-masing 4,8 persen pada 2016 dan 4,1 persen pada januari-Juli 2017.

Indikator lainnya adalah peningkatan jumlah penumpang angkutan udara yang mencapai dua digit selama semester I-2017, masing-masing 10,2 persen untuk penumpang angkutan udara domestik dan 13,5 persen untuk penumpang udara internasional.

Penurunan daya beli Bottom-40 belum menurunkan daya beli masyarakat secara keseluruhan karena porsi belanja Bottom-40 hanya 17 persen. Sepanjang kelompok Mid-40 dan Top-20 masih “bugar,” daya beli masyarakat secara keseluruhan tidak akan merosot.

4 comments on “Transformasi Struktural dan Daya Beli”

  1. Bang Faisal,
    Apakah ada dampaknya ojek dan taxi online terhadap penurunan penjualan sepeda motor dan mobil? Juga kebijakan pemda DKI yg meningkatkan “hambatan” bagi pengendara sepeda motor dan mobil pribadi? Bagaimana juga dengan perbaikan kualitas commuter line?

  2. Selamat pagi Pak Faisal Basri,
    saya mahasiswi tingkat akhir FEB UI. Pak terkait tulisan bapak ini dan presentasi bapak yang berjudul Peta Perekonomian Indonesia Memasuki Era Digital, saya ingin mengajukan pertanyaan terkait fenomena pergeseran konsumsi masyarakat kelas atas ke produk leisure. Terkait hal tersebut, menurut bapak apakah faktor determinan yang menyebabkan adanya pergeseran konsumsi masyarakat kelas atas ke produk leisure dan adakah jurnal yang dapat menjadi acuan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Topik ini rencananya akan saya jadikan bahan skripsi pak. Terima kasih pak.

    1. Selamat siang Sdri Firli.

      Sangat menarik menyibakkan fenomena baru ini. BPS pun baru meraba-raba.

      Penjelasan menarik oleh Dekan kita ketika berdiskusi di Kompas. DR. Ari Kuncoro mengaitkannya dengan teori Maslow.

      Kita gali sama-sama, ya.

      Saya menyarankan konsultasi juga dengan Pak Dekan.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.