Indonesia Telah Menjelma sebagai Pekonomian Jasa

14 komentar

avangate.com

Tak dinyana, Indonesia kian kokoh menjelma sebagai perekonomian jasa. Sudah hampir satu dasawarsa peranan sektor jasa (non-tradables) dalam perekonomian melampaui sektor penghasil barang (tradables).

Peningkatan pesat sektor jasa terjadi sejak 2012. Pada tahun 2018 sektor jasa telah memberikan sumbangan sebesar 59 persen dalam produk domestik bruto (PDB). Padahal Indonesia masih tergolong sebagai negara berpendapatan menengah-bawah (lower-middle income) yang pada umumnya masih bertumpu pada sektor penghasil barang (pertanian, kehutanan dan perikanan; pertambangan dan penggalian; dan industri manufaktur).

Indonesia bukan lagi bersosok negara agraris, namun tak pernah pula beralih berstatus sebagai negara industri. Peranan sektor industri manufaktur mentok di aras tertinggi 29 persen, setelah itu susut hampir selalu setiap tahun hingga hanya di bawah 20 persen pada 2018. Negara-negara maju pada umumnya mengalami penurunan peran manufaktur dalam perekonomian ketika pangsa sektor manufaktur dalam PDB sudah mencapai sekitar 35 persen. Indonesia boleh jadi mengalami gejala dini deindustrialisasi (premature deindustrialization).

Sejak 2012, laju pertumbuhan semua sektor penghasil barang selalu lebih rendah dari pertumbuhan PDB. Sebaliknya, pada 2018, 11 dari 14 sektor jasa lebih bersinar dari pertumbuhan rerata perekonomian (PDB)

Sejalan dengan peningkatan peranan sektor jasa dalam perekonomian, penduduk yang bekerja di sektor jasa pun semakin meningkat dan telah melampaui penduduk yang bekerja di sektor penghasil barang, masing-masing 55 persen dan 45 persen.

Keperkasaan sektor jasa kian mencolok dalam penyerapan kredit perbankan. Pada tahun 2018, kredit perbankan konvensional ke sektor jasa mencapai 73 persen dari keseluruhan kredit perbankan kapada pihak ketiga.

Sektor jasa pun sudah dominan dalam hal nilai kapitalisasi saham di Bursa Efek Indonesia (BEI), yaitu 57 persen.

Oleh karena itu pula wajar jika sektor jasa telah menjadi penyumbang penerimaan pajak yang lebih besar ketimbang sektor penghasil barang, masing-masing 62 persen dan 38 persen.

Sementara itu, di sisi konsumsi, pengeluaran rerata perkapita untuk barang masih relatif tinggi. Bahkan pengeluaran untuk makanan sekalipun mencapai lebih dari separuh pengeluaran total dan belum menunjukkan tanda-tanda penurunan berkelanjutan. Itu pertanda wajar dari negara yang pendapatan perkapitanya masih relatif rendah dan sebagian besar rakyatnya hidup jauh dari sejahtera atau berkecukupan.

Tak pelak lagi, defisit perdagangan pangan (ekspor minus impor pangan) tak kunjung menunjukkan penurunan yang konsisten, bahkan meningkat pada tahun 2018. Indonesia telah mengalami defisit pangan sejar 2007.

Selain pangan, kita pun mengalami defisit untuk produk manufaktur dan migas. Jadi kita mengalami triple deficits.Penopang ekspor sebatas komoditas primer yang harganya berfluktuasi. Tak ayal, kita kian kerap mengalami defisit perdagangan barang dan mencapai puncaknya tahun lalu kala defisit perdagangan mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah.

Adakah strategi yang ditawarkan oleh kedua pasangan capres-cawapres untuk membuat pembangunan lebih harmonis? Rasanya belum ada.

14 comments on “Indonesia Telah Menjelma sebagai Pekonomian Jasa”

  1. Salah satu esensi penting tulisan kali ini: “Indonesia bukan lagi bersosok negara agraris, namun tak pernah pula beralih berstatus sebagai negara industri”..
    Thanks untuk uraiannnya yang menarik, pak faisal!

    1. Banyak alasan perusahaan asing gak mau buka di Indo salah satunya pasar tetangga spt Thailand lebih baik dari Indonesia.

      Bangun Pabrik, Royal Enfield Lebih Pilih Thailand daripada RI
      Rangga Rahadiansyah – detikOto
      Share 0Tweet 0Share 09 komentar
      Royal Enfield Continental GT 650 di California. Foto: Rangga Rahadiansyah Royal Enfield Continental GT 650 di California. Foto: Rangga Rahadiansyah
      Bangkok – Royal Enfield melihat pasar Asia Tenggara cukup menjanjikan. Beberapa waktu lalu, CEO Royal Enfield Siddhartha Lal sempat menyinggung menariknya pasar Thailand dan Indonesia.

      Royal Enfield pun menyiapkan pabrik di luar India. Kini, Royal Enfield menyiapkan pabrik di Thailand. Padahal, dilansir Rushlane, baru 2015 Royal Enfield mendirikan diler pertama mereka di Thailand. Pabrik Royal Enfield di Thailand akan beroperasi pada Juni 2019.

      Baca juga: Akankah Royal Enfield Bangun Pabrik di Indonesia?

      “Sejak kami memulai penjualan di Thailand tiga tahun lalu, kami benar-benar senang dengan cinta yang kami terima dari pemotor di sini. Pelanggan kami di Thailand telah menemukan bahwa klasik modern kami brilian untuk perjalanan panjang di jalan raya dan juga menjadi yang sempurna untuk berpergian dalam lalu lintas padat di kota,” kata CEO Royal Enfield, Siddharta Lal yang akrab disapa Sid.

      Ketika media test ride Royal Enfield Interceptor 650 dan Continental GT 650 Twin di Calofornia, Amerika Serikat, beberapa waktu lalu, detikcom sempat menanyakan kepada Sid terkait rencana membangun pabrik di Indonesia. Jawaban dia saat itu katanya Royal Enfield sangat-sangat serius dengan pasar Asia Tenggara terutama Indonesia dan Thailand.

      Kini, telah diumumkan Royal Enfield lebih memilih Thailand untuk memproduksi motor di luar India. Hal itu dilihat dari penjualan motor Royal Enfield di Thailand yang menjanjikan. Sejak peluncuran Royal Enfield Interceptor 650 dan Continental GT 650 Twin, motor bermesin dua silinder itu dipesan 700 unit di Thailand. Saat ini sudah 100 unit motor tersebut yang dikirim ke konsumen.

      Baca juga: Pencinta Royal Enfield Uji Adrenalin di Tengah Erupsi Bromo

      “Thailand telah menjadi rumah ketiga Royal Enfield setelah asal-usulnya di Inggris dan sukses di India. Keberhasilan 650 Twins di Thailand telah membuktikan bahwa Royal Enfield siap untuk mengisi celah di segmen menengah,” ujar Sid.

      “Dengan segmen komuter yang masif dan budaya riding jarak jauh yang kuat di negara ini, Thailand menawarkan ruang untuk pertumbuhan bagi Royal Enfield. Kami percaya bahwa lokalisasi operasi kami di Thailand akan memungkinkan kami untuk melayani pelanggan kami pada tingkat yang lebih dekat dan lebih intim,” katanya

  2. Tampaknya akan sulit sekali Pak untuk bangkit dari “triple deficits”, apalagi peran Indonesia dalam menarik FDI juga sepertinya menemui hambatan besar tidak seperti Cina dan India yang selalu konsisten dengan demikian dengan kondisi “cateris paribus” dan tidak ada gebrakan besar dalam meningkatkan tax ratio serta akselerasi ekonomi sepertinya kondisi ini akan terus berlangsung, sangat disayangkan.
    Terima Kasih Pak atas pencerahannya.

  3. Sudah saya baca Pak, menarik memang. Bagaimana perspektif yang tepat dapat menjadi formulasi dalam memacu ekspor yang pada akhirnya melegakan pernapasan (current account tidak defisit) namun kembali lagi ke FDI dimana hingga saat ini belum ada perubahan berarti.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.