faisal basri

wear the robes of fire — kesadaran nurani dan akal sehat


  • Nestapa tak terperikan akibat wabah pandemik coronavirus COVID-19 sudah kian terasa. Hingga Jumat (8/5), pk.22:15, COVID-19 telah menjangkiti hampir 4 juta orang dan menewaskan 272 ribu orang di 212 negara dan teritori di setiap benua kecuali Antartika.

    Ongkos ekonomi berdasarkan perhiutngan konservatif Asian Development Bank (ADB) setara dengan Depresi Besar 1929-1939 yang mencapai titik terdalam pada 1933, yaitu US$4,1 triliun atau hampir 5 persen produk domestik bruto (PDB) dunia. Angka itu tampaknya akan terus menggelembung untuk waktu yang lebih lama.

    Hari in (8/5) Departemen Tenaga Kerja AS mengumumkan tingkat pengangguran meroket ke 14,7 persen. Bulan Maret angkanya masih 4,4 persen. Akibat lonjakan luar biasa, peraga di bawah yang menjadi berantakan. Jadi sengaja saya tampilkan hanya sampai kondisi Maret 2020.

    Untuk menggambarkan kondisi terbaru sampai April, sengaja saya tampilkan khusus mulai tahun 2020. Hasilnya seperti ini:

    Pada bulan Maret 2020, nonfarm payroll yang tertendang keluar dari pasar kerja masih hanya 870,000. Sebulan kemudian melonjak 23,6 kali lipat menjadi 20.500.000.

    Sejak 15 Maret hingga 2 Mei 2020, tercatat sebanyak 33,5 juta orang telah mengajukan klaim asuransi kehilangan pekerjaan (initial jobless claims).

    Laju pertumbuhan AS pada triwulan I-2020 mengalami kontraksi sebesar 4,8 persen. Pada triwulan II-2020 diperkirakan kontraksi akan lebih dalam.

    Kondisi di Zona Eropa lebih parah dan lebih buruk dari krisis finansial global tahun 2008-2009. Uni Eropa telah mengambil ancang-ancang menggelontorkan dana penyelamatan senilai US$2,2 triliun.

    Namun, tampaknya belum akan mampu untuk membuat negara-negara Eropa utama terhindar dari kontraksi terdalam tahun ini. Italia merupakan negara terparah, menyusul kemudian Spanyol. Derajat keterpurukan sangat terkait dengan keparahan akibat COVID-19.

    Sekalipun sebagai asal COVID-19, perekonomian China tahun ini masih bisa tumbuh positif sebesar 1,2 persen. India juga diperkirakan masih tumbuh positif tahun ini.

    IMF memperkirakan perekonomian dunia akan mengalami kontrasi 3 persen tahun ini.

    Penulis memperkirakan perekonomian Indonesia akan mengalami kontraksi sebesar 1,5 perssen.

    Perkiraan baseline penulis lebih baik ketimbang proyeksi Bank Dunia dengan skenario rendah (lower case).

    Pada triwulan I-2020, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih di zona positif, yaitu 2,97 persen, merosot dari 4,97 pada triwulan sebelumnya.

    Sektor yang paling dalam kemerosotan pertumbuhannya adalah sektor transportasi dan pergudangan, jasa perusahaan, dan penyediaan akomodosi dan makan minum. Sementara itu, pertumbuhan sektor industri pengolahan mengalami penurunan pertumbuhan yang relatif rendah dan lebih kecil ketimbang pertumbuhan PDB. Hal ini disebabkan karena petumbuhan industri manufaktur sudah dalam kecenderungan melambat cukup lama dan hampir selalu tumbuh lebih rendah daripada pertumbuhan PDB.

    Pada triwulan I-2020 belum satu pun dari 17 sektor yang mengalami kontraksi. Puncak kemerosotan diperkirakan terjadi pada triwulan II dan triwulan III.

    Sampai awal Maret 2020 sudah tiga juta lebih pekerja yang terdampak COVID-19.


  • [Dimutakhirkan dengan data BPS terbaru dan ditambahkan berbagai informasi terkait pada 8 Mei pk.20:10.]

    Angkatan kerja pada Agustus 2019 berjumlah 133,56 juta orang. Sebanyak 126,51 juta orang dengan status bekerja dan sisanya 7,05 juta orang menganggur, sehingga tingkat pengangguran terbuka (TPT) adalah 5,28 persen. Seseorang dikategorikan tidak mengganggur jika dalam seminggu terakhir bekerja setidaknya selama satu jam.

    Berdasarkan data terbaru yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) hari Selasa kemarin (5/5), jumlah angkatan kerja pada Februari 2020 adalah 137,91 orang, terdiri dari 131,03 bekerja dan sisanya 6,88 juta (4,99 persen) penganggur. Tingkat pengangguran terbuka pada Februari 2020 terendah sejak tahun 1998.

    Data terbaru BPS yang menunjukkan penurunan TPT terjadi karena belum ada kasus terkonfirmasi COVID-19 di Indonesia. Kasus pertama diumumkan pemerintah pada 2 Maret.

    Dewasa ini diperkirakan jumlah angkatan kerja sekitar 135 juta orang lebih. Akibat pandemik COVID-15 ada tambahan sekitar 3 juta orang tidak bekerja, baik karena pemutusan hubungan kerja, dirumahkan, dan cuti di luar tanggungan. Dengan demikian TPT naik menjadi sekitar 7,4 persen, tertinggi sejak tahun 2009.

    * Februari. **Mei (perkiraan penulis). Sumber: BPS

    Catatan: Sampai 2004 adalah data tahunan, sejak 2005 data tahunan berdasarkan rerata Februari dan Agustus. Sejak 2013 TPT Februari selalu lebih rendah dari Agustus, karena pengaruh musiman, terutama karena Februari adalah musim panen sehingga menyerap lebih banyak pekerja.

    Jika pandemik berkepanjangan, jumlah penganggur tentu bakal lebih tinggi, berpotensi menembus dua digit seperti yang terjadi tahun 2005. Belum lagi dengan memperhitungkan tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri yang terpaksa kembali ke tanah air akibat pandemik global.

    Jakarta dan Jawa Barat merupakan pusat pandemik. Banten berbatasan dengan Jakarta dan masuk sepuluh provinsi dengan kasus COVID-19 terbanyak.

    Banten merupakan provinsi yang TPT-nya tertinggi (8,01 persen). Disusul oleh Jawa Barat (7,69 persen). Ada pun TPT Jakarta hanya sedikit bi bawah TPT nasional, yaitu 4,93 persen.

    Pada Februari 2020, usia 15-24 tahun adalah kelompok dengan TPT tertinggi (16,3 persen), naik dibandingkan posisi Februari 2019. Sedangkan kelompok usia 25-59 tahun hanya 3,1 persen dan kelompok usia 60 tahun ke atas hanya 1,1 persen. Pada kedua kelompok terakhir ini terjadi penurunan tingkat pengangguran dibandingkan setahun sebelumnya.

    Pengangguran usia muda yang cukup tinggi membuat kondisi kian rentan terhadap gejolak. Mereka berpendidikan cukup tinggi tetapi banyak yang tidak terserap di pasar kerja. TPT tertinggi justru dialami oleh tamatan sekolah menengah kejuruan (8,5 persen), lalu sekolah menengah atas dan tamatan Diploma I/II/III, masing-masing 6,8 persen.

    Jadi profil umum penganggur kita adalah berusia muda dan berpendidikan cukup tinggi. Jutaan tambahan angkatan kerja dengan ciri itu niscaya amat sulit terserap di pasar kerja, apalagi kalau pandemik COVID-19 berkepanjangan. Untuk mempertahankan pekerja yang sudah ada saja, dunia usaha sudah babak-belur.

    Dilihat secara sektoral, pertanian, perdagangan, dan industri pengolahan merupakan penyerap terbanyak tenaga kerja. Sekitar 18,5 juta pekerja diserap oleh industri pengolahan. Kelompok pekerja ini paling rentan karena hampir semua tidak bisa bekerja dari rumah (WFH). Selain itu sektor ini terdisrupsi oleh sistem mata rantai pasokan global dan kemerosotan nilai tukar rupiah. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) memperkirakan kebanyakan perusahaan hanya bisa bertahan sampai bulan Juni.

    Pemetaan yang seksama atas profil ketenagakerjaan akan sangat membantu untuk meredam keresahan sosial. Bukan dengan kursus atau pelatihan online tentunya. Yang paling dibutuhkan adalah cash transfer agar mereka bisa bertahan hidup. Setidaknya butuh dana untuk itu sampai Agustus-Desember.

    Segala pembangunan fisik harus ditinjau ulang. Pembangunan ibukota baru sangat bisa ditunda sampai setidaknya lima tahun ke depan. Anggaran pertahanan sangat memungkinkan dipangkas separuhnya dari Rp122,4 triliun. Juga anggaran kementerian PUPR yang berjumlah Rp95,6. Alihkan separuhnya untuk infrastruktur terkait dengan penguatan sumber daya manusia.

    Ingat, kita sedang mengalami keadaan sangat tidak normal. Dibutuhkan tindakan luar biasa untuk menghadapinya. Relokasi anggaran yang dilakukan pemerintah masih mencerminkan kondisi “normal” atau sedikit tidak normal, belum menunjukkan kegentingan yang dihadapi oleh masyarakat luas dan tekanan sosial yang amat berat.


  • Kamis lalu (30/4), saya menerima kiriman dua bungkus kopi Sarongge masing-masing 250 gram dari Mas Tosca Santoso. Saya sudah menikmati varian 1535 (100 persen Arabica). Ketika membuat tulisan ini, saya ditemani secangkir kopi yang saya seduh dengan menggunakan moka pot. Sunguh nikmat dan meninggalkan jejak rasa (after taste) cukup lama. Insya Allah besok saya akan mencoba varian Ki Hujan yang diracik dengan sedikit Robusta.

    Perjuangan tak kenal lelah dan totalitas Mas Tosca membina petani dari nol telah membuahkan hasil yang membanggakan. Ia menggunakan pendekatan community development sebagai bagian dari pelestarian hutan.

    Sebagian besar produksi kopi nasional dihasilkan oleh perkebunan rakyat. Pada tahun 2019, perkebunan rakyat menyumbang 96 persen produksi nasional yang berjumlah 761,1 ribu ton.

    Sejak masa kolonial, kopi merupakan salah satu andalan ekspor Indonesia. Komoditas andalan lainnya adalah karet, tembakau, kopra, dan gula. Minyak bumi mulai diekspor sekitar tahun 1910 dan di puncak kejayaan pada tahun 1977 ketika produksi mencapai tingkat tertinggi sebanyak 1,7 juta barrel per hari. Produksi minyak sekarang tak sampai separuh dari tahun 1977.

    Sayangnya gula meredup. Indonesia terakhir kali mengekspor gula pada tahun 1967. Lambat-laun Indonesia menjadi negara pengimpor gula. Impor gula meningkat pesat sejak 2011 dan mencapai puncaknya tahun 2018. Dalam sepuluh tahun, impor gula meningkat 5 kali lipat. Sangat ironis, Indonesia yang tadinya pengekspor gula terpandang di dunia menjelma sebagai pengimpor, bahkan sejak 2016 menjadi pengimpor gula terbesar di dunia. Puncak impor terjadi tahun 2018. Manisnya rente impor gula tak terperikan, keuntungannya mencapai triliunan rupiah. Lihat Benalu di Lingkungan Presiden.

    Keuntungan trilunan rupiah diperoleh para pemburu rente ketika pemerintah mematok harga eceran gula tertinggi Rp12.500 per kg. Bayangkan sekarang harga gula terus merangkak naik mendekati Rp20.000 per kg. Tak terdengar lagi “polisi pasar” menindak pedagang yang menjual di atas harga eceran tertinggi.

    Ada tanda-tanda dunia perkopian Indonesia mengalami kemunduran. Indonesia sempat menjadi negara pengekspor kopi terbesar ketiga di dunia. Namun, mulai tahun 2000-an, Vietnam menyusul Indonesia dan sejak 2006 Vietnam telah menjadi negara pengekspor terbesar kedua setelah Brazil. Posisi Indonesia tahun 2019 melorot di urutan keenam.

    Produktivitas tanaman kopi di Indonesia relatif rendah, tak beranjak dari kisaran 600-700 kg per hektar, jauh tertinggal dari Vietnam yang mencapai hampir 3 ton per hektar.

    Pada tahun 2018 terjadi lonjakan impor kopi, dari hanya 14 ribu ton tahun 2017 menjad 79 ribu ton. Sebagian besar impor berasal dari Vietnam, yaitu 31,7 ribu ton. Tentu saja hampir semua adalah Robusta yang merupakan andalan Vietnam. Negeri ini memang pengekspor Robusta terbesar di dunia. Robusta impor ini terutama diserap oleh industri pengolah kopi yang tidak membutuhkan kopi berkualitas tinggi.

    Jika kita lengah dan salah arah dalam menerapkan kebijakan perkopian nasional, boleh jadi sebentar lagi Indonesia bakal menjadi pengimpor neto kopi.

    Sosok seperti Mas Tosca sangat dibutuhkan untuk memajukan kopi Indonesia sekaligus menyejahterakan petaninya. Riset mutlak harus digalakkan.

    Memasuki tahun 2020 harga kopi Robusta terus tertekan dan kembali di bawah US$2 per kg. Sebaliknya harga kopi Arabica mulai mencoba bangkit dan menembus US$3 per kg dalam lima bulan terakhir.


  • Utang pemerintah pusat bakal naik tajam tahun ini akibat penerimaan pajak merosot tajam dan tambahan pengeluaran untuk menangani wadah coronavirus. Tak ada pilihan, memang, karena kapasitas kita amat terbatas. Tax ratio turun terus hingga mencapai titik terendah dalam setengah abad.

    Selama enam tahun pemerintahan Jokowi, utang pemerintah pusat melonjak lebih dua kali lipat, dari Rp2,6 kuadriliun menjadi Rp5,4 kuadriliun. Nisbah utang terhadap produk domestik bruto (PDB) naik dari 24,6 persen menjadi 34,1 persen. Angka itu masih jauh dari batas maksimum 60 persen ketentuan dalam Undang-undang Keuangan Negara.

    Juga, nisbah utang terhadap PDB (debt to GDP ratio) Indonesia tergolong rendah dibandingkan dengan negara-negara maju dan beberapa negara tetangga. Namun membandingkan utang dengan hanya menggunakan satu indikator semata bisa menyesatkan. Jadi harus proporsional.

    Yang menabrak ketentuan adalah defisit APBN yang bakal melampaui batas maksimum tiga persen PDB. Supaya tetap konstitusional, presiden menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (PERPPU) dengan alasan keadaan darurat. Sampai seberapa besar defisit nantinya sangat bergantung perkembangan. Jika wabah pandemik coronavirus berkepanjangan, defisit APBN akan dinaikkan, tak ada batas atasnya. Dengan apa ketekoran atau defisit ditutupi? Ya dengan tambah utang lagi.

    * Perkiraan
    Sumber: Bank Indonesia

    Begitulah perangai pemerintah. Tatkala meraup rezeki nomplok, misalnya ketika commodity boom, semua pendapatan dibelanjakan tanpa sisa. Ratusan triliun dalam sekejap terbahar dalam bentuk subsidi BBM. Ketika paceklik atau krisis muncul seperti sekarang, pemerintah tinggal keluarkan surat utang atau mengajukan utang baru ke lembaga-lembaga internasional seperti Bank Dunia, ADB, dan lain-lain.

    Belajarlah dari krisis-krisis sebelumnya. Bukankah dalam setiap perekonomian ada konjungtur atau business cycle seperti diceritakan dalam kisah Nabi Yusuf yang tercantum dalam Al-Qur’an 12:43-55 dan Alkitab Kejaadian 40 dan 41.

    Utang BUMN

    Tak hanya pemerintah pusat yang utangnya menggelembung. Utang seluruh BUMN nonkeuangan meningkat pesat pada tahun 2018. Setahun kemudian menembus Rp1 kuadriliun. Selama pemerintahan Jokowi periode pertama, utang BUMN nonkeuangan meningkat 102 persen.

    Pelonjakan utang BUMN terutama disebabkan oleh beraneka ragam penugasan pemerintah yang terlalu dipaksakan dan di luar batas kemampuan beberapa BUMN. Pemerintah paling banter menyuntikkan dana ala kadarnya lewat penyertaan modal negara (PMN). Kebutuhan dana selebihnya harus dicari sendiri oleh BUMN, baik dengan mengajukan pinjaman ke perbankan maupun dengan menerbitkan surat utang.

    Hampir semua BUMN yang berutang tidak menghasilkan devisa neto. Padahal mayoritas utangnya dalam valuta asing. Pada tahun 2019, 63 persen utang BUMN nonkeuangan adalah dalam mata uang asing dan 57 persen berasal dari kreditor luar negeri.

    BUMN agresif pinjam ke luar negeri karena kamampuan sumber dana domestik sangat teramat terbatas. Tengok saja misalnya nisbah kredit perbankan terhadap PDB (credit to GDP ratio). Tak ada langkah nyata yang berarti untuk membenahi kelemahan ini. Tak kunjung terjadi konsolidasi perbankan.

    Sampai kini penetrasi kredit perbankan belum pulih dari kondisi sebelum krisis. Sejak 2013 praktis jalan di tempat.

    Dalam kondisi kedua jantung perekonomian (perbankan dan pemerintah) sangat lemah, pemerintah menggunakan BUMN sebagai motor pembangunan. Berutang menjadi jurus tunggal.

    Tanpa ada pandemik COVID-19 pun, beberapa BUMN sudah sempoyongan. Akhir tahun lalu PT PLN nyaris mengalami gagal bayar. Syukur bisa dihindari karena pemerintah membayar sebagian kecil kewajibannya kepada PT PLN. Bertahun-tahun pemerintah tidak membolehkan PLN melakukan penyesuaian tarif listrik, tetapi pemerintah tidak menambah subsidi listrik. Pemerintah hanya memberikan dana kompensasi yang pencairannya butuh tahunan.

    Kini PLN menghadapi tambahan masalah. Penjualan listrik turun signifikan karena kegiatan ekonomi dan mobilitas manusia dibatasi. Kemerosotan nilai tukar rupiah turut menambah beban PLN, karena lebih separuh utangnya dalam valuta asing.

    PT Pertamina agak terbantu karena pemerintah membiarkan Pertamina meraup laba di atas normal dengan tidak menurunkan harga eceran BBM walaupun harga minyak mentah anjlok ke titik terendah sepanjang sejarah. Walaupun demikian, tetap saja Pertamina mengalami tekanan yang lebih berat.

    Jika tekanan bertubi-tubi berkepanjangan, sangat boleh jadi beberapa BUMN berpotensi mengalami gagal bayar. Bisa saja pemerintah mengambil alih tanggung jawab BUMN, tetapi tentu ada batasnya. Gagal bayar bisa merembet ke BUMN lain, dan bisa menghancurkan reputasi kita secara keseluruhan di pasar finansial global.. Kemungkinan itu harus dicegah sedini mungkin. Setidaknya jangan lagi “ugal-ugalan” menugaskan BUMN. Silakan tugaskan apa pun kepada BUMN tetapi harus diiringi oleh akuntabilitas dan disiplin fiskal. Jangan sampai ambisi besar pemerintah tak tampak dalam APBN karena dibebankan kepada BUMN.


  • Pengantar: Tim tvOne mengikuti aktivitas saya sehari penuh pada 11 Maret 2020 mulai sekitar pk.6:00 sampai pk.21:30.

    ***

    Jakarta, tvOnenews.com – Faisal Basri dengan fasih memaparkan berbagai isu yang relevan, yang dialami oleh masyarakat saat ini. Dimulai dari isu global, seperti masalah kesenjangan nasional antarnegara di era modern, hingga masalah psikologi manusia yang merujuk kepada perilaku masing-masing individu. Referensi yang dibahas pun meliputi cakupan yang luas, seperti di Amerika Serikat, Asia, hingga negara-negara di Skandinavia. Semua pembahasannya pun dianalisis dengan berimbang, tidak berat sebelah dan memberi solusi bagi semua pihak. Video series “1 Hari, 1000 Pesan” akan menelusuri kehidupan Faisal Basri, tokoh yang dikenal sebagai ekonom dan politikus asal Indonesia. Banyak keteladanan yang bisa diambil dari kegiatannya sehari-hari. Mulai dari kegemarannya mengajar, kesederhanaan dalam menjalani hidup – hingga kesukaannya untuk makan masakan khas nusantara. Melalui video series ini, Faisal Basri akan memberikan inspirasi yang seluas-luasnya bagi generasi milenial untuk melihat peluang di masa depan. Dia akan menunjukkan kesalahan-kesalahan di masa lalu, namun analisisnya tidak untuk menjatuhkan, melainkan agar memberikan perspektif baru bagi masa depan Indonesia untuk menyikapi kondisi terkini dan nanti. Selamat menyaksikan! ——-

    Faisal Basri thoroughly describes the relevant issues dealt by the society now. From global issues, like inequity among countries in modern era, to psychological issues reflected in individuals’ behavior. With wide scope being discussed, from the USA to Scandinavian nations, Faisal Basri provided balanced analysis and solutions for everyone. The series “1 Day, 1000 Messages” will explore the life of Faisal Basri, a well known Indonesian economist and politician. Many of his daily activities can be set as examples, from his love of teaching, his humble way of life to his fondness of Indonesian cuisine. Through the series, Faisal Basri will widely inspire the millenial generation to be able to spot opportunities in the future. He will point out the past generation’s mistakes, not to judge them, but to provide the next generations with better perspectives for coping with the present and future conditions. Have a good time watching! ——-

    #1Hari1000Pesan #FaisalBasri

    Selengkapnya dalam versi YouTube dapat dilihat di sini.


  • Berita baik terus berlanjut hingga hari ini (19/4) sejak tulisan yang saya unduh tiga hari yang lalu. Sudah lima hari berturut-turut jumlah pengidap coronavirus COVID-19 yang dinyatakan sembuh lebih banyak ketimbang yang meninggal dunia.

    Perkembangan itu menghasilkan jumlah kumulatif pasien yang sembuh sudah lebih banyak dari jumlah kumulatif yang wafat sejak 16 April. Hal ini tercermin dari bidang berwarna hijau kian lebar (luas) dibandingkan bidang berwarna merah.

    Sayangnya jumlah kematian kembali melonjak, dari 15 orang kemarin menjadi 47 orang hari ini, menyebabkan tingkat kematian (case fatality rate) naik lagi dari 8,6 persen menjadi 8,9 persen, masih tetap tertinggi di Asia.

    Peningkatan jumlah pasien sembuh yang lebih banyak ketimbang pasien yang meninggal dunia belum diimbangi oleh penurunan kasus positif baru, sehingga jumlah kasus aktif terus menunjukkan kecenderungan meningkat.

    Kapan kasus aktif (active cases) mencapai puncaknya sangat bergantung pada jumlah tes. Per hari ini, baru 42.219 orang atau 154 orang per satu juta penduduk yang sudah dites. India jauh lebih tinggi, yaitu 270 orang per satu juta penduduk, Fulipina 547, dan Malaysia 3.114.

    Kunci untuk menjinakkan wabah coronavirus adalah dengan testing, karena dengan cara inilah kita akan mengetahui jumlah potensi musuh yang mendekati sebenarnya, bukan dengan tebak-tebakan. Dari hasil testing itulah kita bisa melakukan tracing, baru kemudian treating (Triple T)

    Tanpa melakukan “Triple T” dengan benar dan efektif, maka Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) akan mubazir dan berkepanjangan, sehingga ongkos sosial dan ekonominya tak terperikan.

    Sejatinya Perpu yang diterbitkan adalah untuk mobilisasi nasional mengatasi wabah coronavirus, bukan Perpu yang fokus pada penyelamatan ekonomi, penambahan utang, dan jaminan kebal hukum bagi para pembuat kebijakan. Perpu cuma menangani hilir, sedangkan hulunya keropos. Sehebat apa pun penanganan hilir akhirnya akan jebol juga kalau hulunya tidak ditangani secara tuntas dan efektif.

    Tanpa “Triple T” yang benar dan efektif, kebijakan apa pun yang ditempuh akan bersifat tambal-sulam.


  • Hari ini (16/4), terjadi lonjakan luar biasa jumlah pasien coronavirus COVID-19 yang dinyatakan sembuh, dari hanya 20 pasien kemarin menjadi 102 pasien atau kenaikan lebih lima kali lipat. Juga tergolong peningkatan sangat tajam jika dibandingkan dengan rerata harian selama seminggu sebelumnya yang berjumah 32 pasien.

    Berita baik kedua, dalam dua hari berturut-turut jumlah pasien sembuh lebih banyak ketimbang jumlah kematian.

    Karena tambahan kasus positif harian (daily cases) masih mengalami trend peningkatan, maka kasus aktif (active cases) pun masih terus meningkat dan tampaknya masih jauh untuk mencapai titik puncak. Namun, untuk pertama kalinya hari ini jumlah kumulatif pasien sembuh sudah lebih banyak dari jumlah kumulatif kematian. Ini berita baik ketiga.

    Jika kita mampu menekan jumlah kasus positif baru, mempercepat penyembuhan, dan menekan kematian, maka puncak kurva bisa lebih cepat seperti yang telah dialami Iran. Jerman, Swiss, Korea Selatan, dan China telah melampauai fase ini lebih awal.

    Walapun jumlah kasus di Indonesia relatif sedikit, di urutan ke-37, namun tingkat kematian (case fatality rate/CFR)) tergolong tinggi, yaitu 9,0 peren. Di antara negara dengan penduduk di atas 10 juta, CFR Indonesia berada di urutan ke-13 di dunia dan tertinggi di Asia.

    Jumlah kasus yang relatif rendah dengan tingkat kematian yang relatif tinggi di Indonesia boleh jadi karena jumlah test sangat rendah. Baru dilakukan 30.000 test sejauh ini atau hanya 132 test per satu juta penduduk. Di Malaysia sudah 87,183 test atau 2.694 test per sejuta penduduk. Vietnam yang jumlah kasusnya sangat sedikit (268) dan belum ada kasus kematian telah melakukan 135.938 test atau 1.398 per satu juta penduduk.

    Setiap celah yang bisa mengakibatkan lonjakan dan pemburukan patut kita tutup rapat-rapat. Yang terpenting adalah menekan jumlah pemudik. Terlalu mahal ongkos yang harus ditanggung jika terjadi gelombang mudik sekalipun hanya sepertiga dari biasanya.


  • Sampai hari ini pk. 16:16, jumlah kumulatif pengidap coronavirus COVID-19 di dunia (210 negara dan teritori) mencapai 1.786.769 orang. Ada pun yang meninggal dunia telah menembus 100.000 orang, persisnya 109.275 orang. Dengan demikian, tingkat kematian karena coronavirus (case fatality rate/CFR) dunia adalah 6.1 persen.

    CFR Indonesia tertinggi di Asia. Bidang berwarna biru adalah negara dengan penduduk di atas 10 juta dan yang berwarna kuning adalah negara dengan penduduk di bawah 10 juta.

    Sudah barang tentu CFR Indonesia juga tertinggi di ASEAN. Ada tiga negara ASEAN yang belum mengalami kasus kematian, yaitu Vietnam, Cambodia, dan Laos. Dua tetangga dekat kita (Timor-Leste dan PNG) sejauh ini masing-masing hanya ada dua kasus terkonfirmasi dan tidak ada kasus kematian.

    CountryPopulation (2018)Total casesTotal deathsCase fatality rate
    Indonesia267,663,4354,2413738.795
    Myanmar53,708,3953837.895
    Philippines106,651,9224,6482976.390
    Malaysia31,528,5854,683761.623
    Thailand69,428,5242,551381.490
    Brunei Darussalam428,96213610.735
    Singapore5,638,6762,29980.348
    Vietnam95,540,39525800.000
    Cambodia16,249,79812200.000
    Lao PDR7,061,5071800.000
    Timor-Leste1267972200.000
    Papua New Guinea8606316200.000

    Jumlah kematian di Indonesia lebih banyak ketimbang jumlah pasien yang telah sembuh.

    Akumulasi kasus yang terjangkit coronavirus di Indonesia hari ini (12/4) berjumlah 4.241 orang. Sebanyak 359 pasien dinyatakan telah sembuh dan 373 orang meninggal dunia. Sisanya adalah kasus aktif (active cases).

    Banyak kajian dengan menggunakan modelling mengindikasikan kasus di Indonesia jauh lebih banyak daripada yang setiap hari dilaporkan oleh juru bicara Gugus Tugas COVID-19, setidaknya puluhan kali lipat.

    Jika pengujian cepat dan pengujian lainnya lebih banyak, maka diperkirakan sampai beberapa minggu ke depan jumlah kasus akan terus meningkat. Ada yang memperkirakan puncak kasus terjadi bulan Mei sampai Juni.

    Jika kita membandingkan dengan kasus global, tampak bahwa pola Indonesia masih menunjukkan bahwa puncak pada fase awal pun belum terjadi. Untuk kasus global, jumlah yang sudah sembuh jauh lebih besar ketimbang jumlah kematian. CFR global adalah 6,1 persen. Jadi CFR Indonesia di atas CFR dunia.

    Iran adalah salah satu negara yang telah mengalami fase stabil dengan active cases yang sudah menurun. Jumlah kematian harian juga mengalami penurunan, walaupun kembali meningkat dalam dua hari terakhir. Yang menggembirikan jumlah yang sembuh terus menunjukkan peningkatan dan jauh di atas jumlah kematian.

    Setelah kawasan Jobodetabek ditetapkan dengan status Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), kita berharap puncak wabah coronavirus akan lebh cepat dengan kurva yang melandai.

    Kuncinya adalah faktor jumlah pemudi, terutama dari Jabodetadek.


  • Jakarta adalah episentrum wabah coronavirus di Indonesia. Sekitar separuh kasus terkonfirmasi (confirmed cases) dan jumlah kematian disumbang oleh Jakarta. 

    Per 8 April 2020NasionalDKI JakartaPersen DKI Jakarta
    Kasus terkonfirmasi2.9561.47049,7
    Meninggal24011447,5

    Jika pusat episentrum diperluas dengan memasukkan kota/kabupaten di sekitar Jakarta atau Jabodetabek (Kota Tangerang Selatan, Kabupaten Tangerang, Kota Depok, Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Kota Bekasi, dan Kabupaten Bekasi), porsinya mencapai sekitar 70 persen.

    Oleh karena itu, keberhasilan mengendalikan penyebaran coronavirus COVID-19 secara nasional sangat bergantung pada penanganan di Jabodetabek. Jangan sampai medan pertempuran meluas dan massif ke seluruh penjuru Tanah Air. Walaupun coronavirus telah menyebar ke 32 provinsi, kita masih punya waktu untuk meredamnya jika episentrum coronavirus bisa ditaklukkan.

    Tak terbayangkan jika penyebaran kian merata ke selruh provinsi mengingat daya dukung kita sangat terbatas.

    Jumlah dokter per 1.000 penduduk di Indonesia sangat sedikit dan jauh lebih rendah ketimbang negara-negara tetangga. Untuk jumlah perawat dan bidan, Indonesia hanya lebih baik dibandingkan Vietnam dan Iran.

    Jumlah tempat tidur di rumah sakit (hospital beds) sangat terbatas.

    Masalah semakin pelik karena persebaran dokter, perawat, dan tempat tidur di rumah sakit tidak merata. Lebih mengkhawatirkan lagi kondisi di daerah-daerah tujuan mudik utama. Jumlah dokter per 10.000 penduduk di semua tujuan mudik utama di bawah rerata nasional, dengan Jawa Barat yang paling parah.

    Untuk jumlah perawat (tidak termasuk bidan) per 10.000 penduduk, Jawa Barat menduduki peringkat terbawah. Jawa Timur dan Lampung di bawah rerata nasional, sedangkan Jawa tengah sama dengan rerata nasional.

    Ketersediaan tempat tidur rumah sakit sama mengkhawatirkannya. Semua tujuan mudik utama di bawah rerata nasional.

    Jadi bisa dibayangkan betapa akan tunggang-langgang daerah-daerah tujuan utama mudik jika mengalami ledakan wabah coronavirus yag dibawa oleh pemudik dari pusat episentrum Jabodetabek.

    Belum terlambat untuk menerapkan strategi nasional dengan kehadiran komandan perang di pusat medan laga. Sejauh ini, pemerintah daerah di Jabodetabek sudah amat sadar akan bahaya yang menghadang, tidak saja terhadap penduduk mereka, melainkan juga bagi kepentingan nasional.

    Jabodetabek butuh panglima perang. Juga Indonesia, tentunya. Teramat berat rasanya kalau diserahkan kepada masing-masing kepala daerah dan kerja sama sesama mereka semata. Sekali lagi, ini bukan persoalan Jabodetabek, melainkan sudah menjadi persoalan nasional yang genting.

    Sekalipun Jakarta sudah mulai kewalahan, bagaimanapun kesiapan Jakarta jauh lebih baik ketimbang daerah-daerah tujuan utama mudik. Semoga ini jadi pertimbangan bagi saudara-saudara kita yang hendak mudik.


  • Selengkapnya bisa diunduh di sini.