[Dimutakhirkan dengan data BPS terbaru dan ditambahkan berbagai informasi terkait pada 8 Mei pk.20:10.]
Angkatan kerja pada Agustus 2019 berjumlah 133,56 juta orang. Sebanyak 126,51 juta orang dengan status bekerja dan sisanya 7,05 juta orang menganggur, sehingga tingkat pengangguran terbuka (TPT) adalah 5,28 persen. Seseorang dikategorikan tidak mengganggur jika dalam seminggu terakhir bekerja setidaknya selama satu jam.
Berdasarkan data terbaru yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) hari Selasa kemarin (5/5), jumlah angkatan kerja pada Februari 2020 adalah 137,91 orang, terdiri dari 131,03 bekerja dan sisanya 6,88 juta (4,99 persen) penganggur. Tingkat pengangguran terbuka pada Februari 2020 terendah sejak tahun 1998.
Data terbaru BPS yang menunjukkan penurunan TPT terjadi karena belum ada kasus terkonfirmasi COVID-19 di Indonesia. Kasus pertama diumumkan pemerintah pada 2 Maret.
Dewasa ini diperkirakan jumlah angkatan kerja sekitar 135 juta orang lebih. Akibat pandemik COVID-15 ada tambahan sekitar 3 juta orang tidak bekerja, baik karena pemutusan hubungan kerja, dirumahkan, dan cuti di luar tanggungan. Dengan demikian TPT naik menjadi sekitar 7,4 persen, tertinggi sejak tahun 2009.

Catatan: Sampai 2004 adalah data tahunan, sejak 2005 data tahunan berdasarkan rerata Februari dan Agustus. Sejak 2013 TPT Februari selalu lebih rendah dari Agustus, karena pengaruh musiman, terutama karena Februari adalah musim panen sehingga menyerap lebih banyak pekerja.

Jika pandemik berkepanjangan, jumlah penganggur tentu bakal lebih tinggi, berpotensi menembus dua digit seperti yang terjadi tahun 2005. Belum lagi dengan memperhitungkan tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri yang terpaksa kembali ke tanah air akibat pandemik global.
Jakarta dan Jawa Barat merupakan pusat pandemik. Banten berbatasan dengan Jakarta dan masuk sepuluh provinsi dengan kasus COVID-19 terbanyak.

Banten merupakan provinsi yang TPT-nya tertinggi (8,01 persen). Disusul oleh Jawa Barat (7,69 persen). Ada pun TPT Jakarta hanya sedikit bi bawah TPT nasional, yaitu 4,93 persen.

Pada Februari 2020, usia 15-24 tahun adalah kelompok dengan TPT tertinggi (16,3 persen), naik dibandingkan posisi Februari 2019. Sedangkan kelompok usia 25-59 tahun hanya 3,1 persen dan kelompok usia 60 tahun ke atas hanya 1,1 persen. Pada kedua kelompok terakhir ini terjadi penurunan tingkat pengangguran dibandingkan setahun sebelumnya.
Pengangguran usia muda yang cukup tinggi membuat kondisi kian rentan terhadap gejolak. Mereka berpendidikan cukup tinggi tetapi banyak yang tidak terserap di pasar kerja. TPT tertinggi justru dialami oleh tamatan sekolah menengah kejuruan (8,5 persen), lalu sekolah menengah atas dan tamatan Diploma I/II/III, masing-masing 6,8 persen.

Jadi profil umum penganggur kita adalah berusia muda dan berpendidikan cukup tinggi. Jutaan tambahan angkatan kerja dengan ciri itu niscaya amat sulit terserap di pasar kerja, apalagi kalau pandemik COVID-19 berkepanjangan. Untuk mempertahankan pekerja yang sudah ada saja, dunia usaha sudah babak-belur.
Dilihat secara sektoral, pertanian, perdagangan, dan industri pengolahan merupakan penyerap terbanyak tenaga kerja. Sekitar 18,5 juta pekerja diserap oleh industri pengolahan. Kelompok pekerja ini paling rentan karena hampir semua tidak bisa bekerja dari rumah (WFH). Selain itu sektor ini terdisrupsi oleh sistem mata rantai pasokan global dan kemerosotan nilai tukar rupiah. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) memperkirakan kebanyakan perusahaan hanya bisa bertahan sampai bulan Juni.

Pemetaan yang seksama atas profil ketenagakerjaan akan sangat membantu untuk meredam keresahan sosial. Bukan dengan kursus atau pelatihan online tentunya. Yang paling dibutuhkan adalah cash transfer agar mereka bisa bertahan hidup. Setidaknya butuh dana untuk itu sampai Agustus-Desember.
Segala pembangunan fisik harus ditinjau ulang. Pembangunan ibukota baru sangat bisa ditunda sampai setidaknya lima tahun ke depan. Anggaran pertahanan sangat memungkinkan dipangkas separuhnya dari Rp122,4 triliun. Juga anggaran kementerian PUPR yang berjumlah Rp95,6. Alihkan separuhnya untuk infrastruktur terkait dengan penguatan sumber daya manusia.
Ingat, kita sedang mengalami keadaan sangat tidak normal. Dibutuhkan tindakan luar biasa untuk menghadapinya. Relokasi anggaran yang dilakukan pemerintah masih mencerminkan kondisi “normal” atau sedikit tidak normal, belum menunjukkan kegentingan yang dihadapi oleh masyarakat luas dan tekanan sosial yang amat berat.
Yth Bang Faisal,
Saya setuju kondisi saat ini memang sulit dan tidak “normal”.
Apakah cukup prospek bila tenaga kerja yang ngaggur diarahkan untuk wirausaha?
Terima kasih.