Pemerintah mengklaim selama dua tahun pemerintahan Jokowi-JK berhasil mengurangi tingkat ketimpangan sebagaimana tercermin dari penurunan nisbah Gini (Gini ratio). Bahkan pada Maret 2016, nisbah gini sudah turun di bawah 0,4, yang berarti tingkat ketimpangan tergolong baik. Nisbah gini antara 0,4 sampai 0,5 masuk kategori ketimpangan sedang; dan di atas 0,5 tergolong ketimpangan buruk.

Kecenderungan ketimpangan jangka panjang (garis hitam) masih menunjukkan pemburukan.

Namun perlu diingat, nisbah Gini yang dihitung oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tidak mengukur tingkat ketimpangan pendapatan (income inequality) maupun ketimpangan kekayaan (wealth inequality). BPS menghitung nisbah Gini berdasarkan data pengeluaran yang diperoleh dari Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional). Ketimpangan pengeluaran sudah barang tentu lebih rendah ketimbang ketimpangan pendapatan maupun ketimpangan kekayaan, karena perbedaan konsumsi orang terkaya dibandingkan konsumsi orang termiskin cenderung jauh lebih kecil dibandingkan perbedaan pendapatan dan kekayaannya.
Perbedaan sangat mencolok antara data pengeluaran dan kekayaan bisa dilihat pada dua peraga berikut. Berdasarkan data pengeluaran yang dipublikasikan oleh BPS, kelompok 20 persen terkaya menyumbang 47 persen pengeluaran, sedangkan kelompok 40 persen termiskin hanya 17 persen dengan kecenderungan menurun dan stagnan dalam enam tahun terakhir.

Bandingkan dengan data kekayaan yang dikeluarkan oleh lembaga keuangan Swiss, Credit Suisse. Hanya satu persen saja orang terkaya di Indonesia menguasai 49,3 persen kekayaan nasional. Konsentrasi kekayaan pada 1 persen terkaya di Indonesia terburuk keempat di dunia setelah Rusia, India, dan Thailand. Jika dinaikkan menjadi 10 persen terkaya, penguasaannya mencapai 75,7 persen.

Kelompok milyarder di Indonesia merapup dua pertiga kekayaannya dari praktek bisnis di sektor kroni (crony sectors), yang dimungkinkan karena kedekatan dengan kekuasaan. Oleh karena itu tidak mengejutkan jika crony-capitalism index Indonesia bertengger di peringkat ketujuh dunia. Posisi Indonesia pada tahun 2016 itu memburuk dibandingkan tahun 2007 dan 2014.

Ibnu Khaldun mengingatkan bahwa pembangunan tak dapat dicapai kecuali melalui keadilan; keadilan merupakan standar penilaian keberhasilan penguasa; dan penguasa dibebankan dengan adanya tanggung jawab untuk mewujudkan keadilan. Jika rasa keadilan semakin terusik, maka harmoni sosial terganggu, yang berpotensi meningkatkan ketegangan sosial dan politik.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang kerap didengungkan tertinggi ketiga di antara negara G-20 tampaknya lebih banyak dinikmati oleh top-1% atau setidaknya kelas mengengah ke atas. Indikasi nyata tercermin dari pertumbuhan sektor jasa–terutama sektor jasa modern yang relatif sedikit menyerap tenaga kerja dan kebanyakan tenaga kerja berpendidikan tinggi– yang sekitar dua kali lipat dari sektor penghasil barang.


Pembangunan tidak mampu mengangkat mayoritas rakyat miskin dan yang hidup pas-pasan. Petani yang merupakan porsi terbesar rakyat Indonesia justru mengalami penurunan kesejahteraan. Kenaikan harga produk yang dihasilkan petani kalah cepat dibandingkan dengan harga barang yang dibeli petani. Walhasil, nilai barang dan jasa yang mereka beli dari pendapatannya semakin berkurang.

Nasib buruh tani pun tidak membaik. Upah riil mereka justru turun dalam dua tahun terakhir. Mereka tergolong sebagai pekerja informal di pedesaan. Nasib pekerja informal di perkotaan juga serupa, walaupun penurunan upah riilnya lebih kecil. Sekitar 58 persen pekerja di Indonesia adalah pekerja informal dengan status pekerjaan utama meliputi berusaha sendiri, berusaha dibantu buruh tidak tetap, pekerja bebas di pertanian, pekerja bebas di nonpertanian, dan pekerja keluarga/tak dibayar.

Secara umum sekalipun, upah riil cenderung mengalami penurunan. Penurunan upah riil paling tajam terjadi tahun 2015.


Kenaikan upah minimum setiap tahun, selain tidak mampu meningkatkan kesejahteraan pekerja, juga ternyata direspon oleh pengusaha dengan menurunkan jam kerja. Faktor lain yang menyebabkan penurunan jam kerja adalah kapasitas terpakai yang turun. Pengusaha berupaya tidak melakukan pemutusan hubungan kerja karena ongkosnya relatif lebih mahal.

Bagaimana kaum pekerja menyiasati hidup dalam tekanan yang semakin berat? Pertama, lebih banyak anggota keluarga yang masuk pasar kerja. Sangat boleh jadi itu termasuk anak-anak yang terpaksa drop out dari sekolahnya untuk menopang kehidupan keluarga. Maka tak heran tingkat partisipasi angkatan kerja naik cukup tajam sejak 2014.

Kedua, pekerja harus mencari pekerjaan tambahan atau menambah jam kerja. Lebih dari seperempat pekerja Indonesia bekerja lebih dari 49 jam seminggu. Jumlah pekerja keras Indonesia hanya kalah dengan Korea Selatan dan Hongkong.

Terlalu miskin bagi mereka untuk menganggur-too poor to be unemployed. Ditambah lagi mencari pekerjaan semakin sulit. Jika sebelum tahun 2010 mencari pekerjaan tidak sampai enam bulan, sejak tahun 2010 bertambah menjadi satu tahun atau lebih.

Data mikro dia atas membuat kita harus lebih hati-hati menginterpretasikan data pengangguran dan kemiskinan yang justru menunjukkan perbaikan. Pertumbuhan ekonomi yang cenderung melemah sejak 2012 justru beriringan dengan penurunan angka pengangguran dan kemiskinan. Perlu kajian lebih mendalam di tingkat mikro untuk menyibakkan dinamika di kalangan masyarakat berpendapatan rendah.

Yang juga perlu diwaspadai adalah relatif tingginya penganggur di kalangan usia muda. Negara-negara di Timur Tengah yang mengalami gejolak politik pada umumnya ditandai oleh tingginya penganggur belia.

Tak pelak lagi, tantangan ke depan adalah menggelar pembangunan yang lebih inklusif. Tak ada pilihan lain kecuali mentransformasikan pembangunan dari exclusive political and economic institutions menjadi inclusive political and economic institutions.
Artikel ini cukup membantu melihat gambar ragam “ketimpangan” yang perlu diatasi. Goodwill Pemerintah dlm mengatasi pengangguran muda dan mendorong produktivitas tampaknya perlu menjadi prioritas, misalnya mendorong tumbuhnya industri sektor pertanian dan kelautan yang inklusive di perdesaan. Sementara di perkotaan, perlu didorong tumbuhnya industri creative. Jika tidak, rentan terhadap gejolak sosial. Ironisnya, aspek pemasaran sampai saat ini masih menjadi persoalan. Bgm pandangan Bang Faisal? Terima kasih.
ya pak jokowi sudah mengakuinya td pas di ultah pdip 44, pr terbesar saat ini ktnya ketimpangan. dan bu sri mulyani jg sudah berkali2 bicara soal ketimpangan ekonomi indonesia. semoga cpt terselesaikan. amiinn
Syukurlah. Semoga ke depan kian menggigit kebijakan2 yang diambil.
Terimakasih sharingnya Pak Faisal. Mencerahkan.
Di paragraf terakhir disebutkan kemiskinan dan pengangguran trennya menurun seiring menurunnya pertumbuhan PDB. Logika saya, kalau pertumbuhan PDB turun tentunya kemiskinan dan pengangguran meningkat bukan Pak? Kenapa terjadi sebaliknya? Tapi kalau dilihat di grafik, dari 2015 ke 2016 pertumbuhan PDB agak naik sedikit, dan cukup berkorelasi dengan penurunan angka kemiskinan dan pengangguran dari 2015 ke 2016.
Kembali ke penurunan nisbah Gini. Apakah betul bila disimpulkan bahwa penurunan kemiskinan dan pengangguran berkontribusi pada pengurangan kesenjangan pendapatan orang miskin dan orang kaya, sehingga nisbah Gini menjadi turun?
Atas penjelasannya, saya ucapkan banyak terimakasih Pak. Saya sangat menikmati blog ini sebagai pelajar yang baru mengerti ekonomi.
“Tak ada pilihan lain kecuali mentransformasikan pembangunan dari exclusive political and economic institutions menjadi inclusive political and economic institutions”
Sebagai masyarakat kecil, apa yang perlu dilakukan saat ini ya?
terima kasih
mohon penjelasan tentang exclusive political n economic institution, tks
Reblogged this on Entre Nous.
Ketimpangan penghasilan warga di Jakarta ada datanya gak bang?
Saya tak punya datanya. namun bisa diduga sangat timpang dibandingkan dengan daerah lain.
Terima Kasih Pak Faisal sudah berbagi melalui tulisannya, saya pikir semua yang membaca blog ini akah dapat belajar dan mulai sadar bahwa ada banyak hal yang harus dibenahi.
1. Terkait hal tersebut apakah aturan pembatasan rasio gaji level bawah dan atas seperti di Jepang bisa membantu ketimpangan?
2. Untuk menjadi “inclusive political and economic institutions” merupakan tugas “too good too be true” Pak?melihat pemberantasan korupsi masih disitu2 saja, dan politik juga masih sama,
3. Mungkin film Inequality for All (2013), dengan narator dan pemainnya Mr. Robert Reich, film dokumenter ini sangatlah tepat menggambarkan ketimpangan,
Terima kasih, sama-sama.
1. Sumber terbesar ketimpangan bukan gaji, melainkan akses terhadap modal dan kebijakan2 pemerintah. Ketimpangan gaji memang semakin tinggi. Industrialisasi dan penguatan sektor pertanian jadi kuncinya.
2. Harus selalu ada upaya untuk mewujudkannya, mulai dari yang kecil dan memungkinkan secara politik.
3. Film bagus tentang kelemahan kapitalisme finansial.
Bang Faisal, dengan penguasaan kapital yang begitu besar, berapa sumbangan konsumsi orang kaya terhadap pertumbuhan ekonomi (mengingat lebih dari 50% pertumbuhan pdb disumbang konsumsi rumah tangga)? Betulkah jauh lebih kecil dibanding konstribusi kelas menengah, karena peningkatan kekayaan orang terkaya yang luar biasa justru diiringi dengan pertumbuhan konsumsi yang amat rendah (secara persentase). Karena itu pula akumulasi modal atau kekayaan mereka makin cepat melesat. Artinya, mereka makin kaya tapi pada saat yang sama konstribusi mereka terhadap pertumbuhan ekonomi makin ciut. Betulkah logika saya, Bang Faisal.
Yoenazh Khairul Azhar (Hairul)
Redaktur Majalah HousingEstate (Jakarta)
Saya tidak memiliki angka yang bisa dijadikan basis untuk mengambil kesimpulan. Namun, pandangan Mas Khairu sanagt tajam dan boleh jadi benar. Orang kaya konsumsinya boleh jadi banyak di luar negeri (memiliki apartemen di Singapura dan belanja barang-barang mewah di luar negeri, misalnya). Kalau belanja di dalam negeri pun, kandungan impornya tingi. Sementara itu, investasi mereka cederung melemah di sektor riil, mereka banyak yang beralih jadi pedagang karena iklim investasi belum kunjung membaik secara signifikan, terutama membangun pabrik. Karena itu, cukup banyak investasi orang kaya dalam bentuk tanah dan properti.
Dengan latar belakang itu, kalau pertumbuhan ekonomi mau lebih tinggi, yang perlu dirawat lebih seksama adalah kelas bawah dan menengah.
Terima kasih banget bang atas jawabannya. Jawaban Bang Faisal rasanya memang benar, berdasarkan pengalaman saya meliput properti, memang banyak orang kaya yang berinvestasi dalam properti karena dibebaskannnya penguasaan tanah ke mekanisme pasar, yang kemudian membuat ketimpangan makin menganga, Saya berharap rencana pemerintah menerapkan pajak progresif terhadap penguasaan tanah yang dianggap idle bisa menjadi salah satu solusi mengatasi kesenjangan penguasaan kapital ini. Sekali lagi terima kasih Bang Faisal.