
Buku “Tambang untuk Negeri” mencerminkan kegelisahan dan keprihatinan penulis terhadap pengelolaan kekayaan tambang di Tanah Air. Kegelisahan dan keprihatinan Penulis juga turut kita raskan. Kekayaan alam Indonesia yang sudah puluhan tahun diekploitasi seakan tak berbekas dalam wujud peningkatan kesejahteraan rakyat yang berkeadilan. Jutaan hektar hutan menjadi gundul dilahap segelintir orang. Deforestrasi hingga sekarang terus terjadi. Rakyat di sekitar hutan tetap miskin, pendapatan negara dari berbagai iuran dan pungutan jauh dari memadai untuk merehabilitasi hutan tandus. Bahkan, sangat boleh jadi, mudarat yang ditimbulkan oleh eksploitasi hutan lebih besar ketimbang maslahat nasionalnya.
Eksploitasi massif berikutnya adalah terhadap kekayaan minyak dan gas bumi. Dalam kurun waktu yang relatif singkat, cadangan minyak kita tergerus. Penemuan cadangan baru semakin sedikit sedangkan konsumsi bahan bakar minyak melambung. Kekayaan alam yang relatif langka dan tak terbarukan dikuras habis karena dihargai amat murah. Pengelolaan migas yang “ugal-ugalan” membuat reserves-to-production ratio untuk minyak sudah mencapai titik kritis, sekitar 12. Berarti, jika tingkat produksi minyak terus seperti sekarang dan tidak ada temuan cadangan baru, dalam waktu 12 tahun ke depan kita sudah kehabisan minyak. Produksi turun terus, dari titik tertinggi sekitar 1,6 juta barrel per hari tahun 1977 menjadi hanya sekitar 800 ribu barrel tahun 2016. Tak ayal, impor minyak mentah dan BBM melonjak. Subsidi BBM bahkan beberapa tahun melebihi pendapatan pemerintah dari sektor minyak. Adalah pengelolaan minyak yang “ugal-ugalan” pula yang sempat hampir membangkrutkan keuangan negara pada awal 1980-an.
Penulis buku ini agaknya gundah menyaksikan kejadian serupa telah menimpa kekayaan tambang kita. Ia menawarkan konsep inovatif untuk membuat kekayaan tambang yang masih tersisa dapat dimanfaatkan bagi sebesar-besar kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Populisme yang menyesatkan harus dihentikan. Bisnis tambang harus dijauhkan dari praktek kroniisme. Pembangunan sektor tambang yang inklusif jangan diterjemahkan dalam bentuk bagi-bagi konsesi kepada perseorangan dan kepada para calo yang memperjualbelikan kertas konsesi semata. Bukan pula dengan konsep divestasi atas nama “pemilikan nasional palsu” tanpa keringat dan selanjutnya kembali ke tangan asing. Mereka memanfaatkan sentimen xenophobia.
Peran negara harus dikembalikan pada fungsi azalinya, mewakili rakyat sebagai pemilik dan menjalankan fungsi pengaturan dan pengawasan untuk memastikan manfaat maksimum bagi rakyat.
Tidah boleh lagi rakyat menjadi kedok dari para pemburu rente dan kapitalis kroni. Apalagi bisnis tambang dijadikan sumber logistik dalam bentuk pemburuan rente bagi para politisi untuk meraih kekuasaan dengan politik uang yang merusak tatanan demokrasi.
Salah satu konsep yang ditawarkan oleh Punulis adalah monetisasi dan sekuritisasi kekayaan tambang yang dikaitkan dengan “holdingisasi” yang tidak sama dengan konsep holding induk yang digulirkan pemerintah baru-baru ini. Jika swasta pemegang kontrak karya atau kontraktor bagi hasil yang notabene tidak memiliki kekayaan migas dan tambang bisa memperoleh pinjaman dari lembaga keuangan internasional, sang pemilik kekayaan seharusnya mampu meraup dana puluhan kali lipat. Konsep ini sejalan dengan memanfaatkan potensi future income dalam praktek bisnis yang lazim. Dengan monetisasi dan sekuritisasi, dana yang diperoleh bisa dimanfaatkan bagi kesejahteraan rakyat dan daerah penghasil, memajukan sumber daya manusia, serta menggerakkan kegiatan-kegiatan produktif di sektor nonpertambangan sehingga tatkala kekayaan tambang habis, daerah penghasil telah menjelma sebagai perekonomian yang maju dan modern. Dengan begitu tidak terjadi net resource outflow di daerah penghasil. Lebih jauh, konsep baru bisa dikembangkan, antara lain, sebagai instrumen untuk menegakkan keadilan antar-generasi lewat sejenis sovereign wealth fund.
Semoga buku ini menjadi wake-up call bagi para pemangku kepentingan tambang agar kita terhindar dari kutukan sumber daya alam (resource curse).
Luar biasa… semoga pemerintah mau membuka hatinya utk keadilan dan kesejahteraan seluruh anak negeri sebagai amanah UUD 45 dan tujuan bangsa…