Rabu kemarin, 22 Februari 2016, Presiden Jokowi mengingatkan bahwa demokrasi kita sudah kebablasan. “Banyak yang bertanya pada saya, apa demokrasi kita keablasan? Saya jawab ya, demokrasi kita sudah kebablasan,” ujar Presiden. “Demokrasi yang kebablasan itu membuka peluang artikulasi politik yang ekstrim seperti liberalisme, radikalisme, fundamentalisme, sekterianisme, terorisme, serta ajaran-ajaran yang bertentangan dengan ideologi,” ujar Presiden lebih lanjut.
Kekhawatiran Presiden cukup beralasan. Kebebasan di era reformasi dimanfaatkan oleh kelompok ektrem kanan maupun kiri dalam mengartikulasikan kepentigannya, untuk keuntungan kelompoknya, dengan kurang mengindahkan akibat yang bakal terjadi dan cenderung melupakan nilai-nilai inti (core values) yang telah menjadi landasan berdirinya NKRI. Tak peduli kebebasan yang mereka praktekkan merampas kebebasan orang lain.
Pendulum bergerak sangat cepat ke kanan dan ke kiri, menciptakan keadaan seperti pesawat terbang yang mengalami turbulensi di udara. Penumpang ada yang panik, ada yang mabuk, ada pula yang berusaha tenang seraya memanjatkan doa.
Untuk meredam siatuasi penuh guncangan ini, setidaknya ada dua hal yang perlu dilakukan. Pertama, penegakan hukum lebih tegas tanpa pandang bulu. Ada semacam konsensus nasional, dan sejauh ini terbukti efektif, bahwa segala perbedaan–setajam apa pun–diselesaikan lewat jalur hukum. Perangkat hukum sudah cukup tersedia. Salah satu persyaratan terpenting adalah kredibilitas penegak hukum hingga pemutus tingkat tertinggi (Mahkamah Konstitusi). Sebaiknya seluruh aparat yang menjaga agar hukum berwibawa dan imparsial jauh dari kepentingan partai. Sekarang kita memiliki Jaksa Agung dan Menteri Hukum dan HAM dari partai politik. Sebagian hakim MK direkrut dari partai politik tanpa jeda. Hari ini mengundurkan diri dari partai bisa hari itu juga jadi hakim MK.
Politisi aktif bisa pula “serta merta” menjadi komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Posisi-posisi strategis lain yang idealnya steril dari pengaruh langsung partai politik juga dengan mudah diduduki oleh para politisi aktif, seperti BPK, Badan Supervisi Bank Indonesia, OJK, dan lain-lain. Mereka semakin mudah menduduki posisi strategis karena yang memilih adalah sejawatnya di DPR.
Di beberapa negara ada peraturan ketat untuk meminimalisasikan pengaruh partai atau intervensi politik. Di Jerman, misalnya, politisi yang hendak dicalonkan sebagai komisioner komisi yang mengawasi persaingan usaha (Bundeskartellamt) harus sudah meninggalkan panggung politik setidaknya selama empat tahun.
Kedua, pendulum harus bergerak dinamis dan terukur agar tidak menimbulkan potensi turbulensi. Salah satu syarat untuk mewujudkannya adalah dengan menjauhi kebijakan dan tawaran program berdasarkan suku, ras, dan agama. Ketimpangan atau kesenjangan yang terjadi bukan diselesaikan berdasarkan SARA, melainkan karena kesenjangan kelompok pendapatan: kaya-miskin. Kita tentu saja menyadari ada unsur SARA dalam mengatasi ketimpangan atau dishormoni sosial. Namun, tawaran penyelesaian masalahnya dengan menggunakan pendekatan kelas (class). Silakan tengok wawancara Jeffrey Sachs dan buku terbarunya berjudul Building the New American Economy.
Adalah tanggung jawab kita bersama untuk menghadirkan common action agar pendulum bergerak dinamis dan terukur di seputar titik keseimbangan. Demokrasi yang sehat menjanjikan terwujudnya kondisi itu, sehingga kita terhindar dari pergerakan pendulum ke titik ekstrem kanan ataupun ke titik ekstrem kiri.
Mencari alternatif di luar demokrasi membuat kita lebih nestapa dan kian tidak menentu.
Pak Faisal, sbg input sj, mohon quotation Bpk Presiden di kasih italic. Shg kelihatan secara gamblang, mana yang quotation Bpk Presiden, dan yang mana opini Pak Faisal
Terima kasih banyak masukannya. Jelas sekali quotation dengan “..” sebagaimana lazim dipraktekkan.
Terima kasih masukannya. Di kutipan kedua saya lupa menambahkan ” di akhir kutipan. Saya pun menambahkan ujar presiden untuk menegaskan itu berasal dari Presiden.
Tks tulisan yang menginspirasi.
Yang jelas tak perlu mencari alt demokrasi lain, tetapi wujudkan kehidupan yang berlandaskan Pancasila.
Presiden yang sudah diberi amanah oleh rakyatnya wajib menjalankan amanahnya sesuai Pancasila. Kalau beliau sudah menyatakan kebablasan, trs siapa yang harus bertanggung jawab ? Bukannya beliau adalah pilotnya ?
Salam
Terima kasih sama-sama. Semoga setelah menyadarinya, Pak Presiden akan segera mengambil langkah-langkah nyata.