
[Diperbarui dan ditambahkan pada 17 Maret 2021 ⏱06:29]
Tak ada halilintar, tak ada guruh, tiba-tiba pemerintah hendak mengimpor beras dalam jumlah cukup besar tahun ini–satu juta ton, separuhnya untuk meningkatkan cadangan beras pemerintah (CBP) dan separuh lagi untuk memenuhi kebutuhan Bulog. Rencana impor beras itu dipaparkan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian minggu lalu. Bahkan Menteri Perdagangan mengakui telah memiliki jadwal untuk mewujudkan rencana impor itu.
Jangan Ulangi Kesalahan 2018
Dengan tingkat produksi yang bisa dikatakan tidak buruk, lonjakan impor sepanjang tahun 2018 mengakibatkan stok yang dikuasai oleh pemerintah untuk PSO/CBP naik hampir 4 juta ton sedangkan penyalurannya anjlok dari 2,7 juta ton menjadi 1,9 juta ton. Akibatnya, stok beras melonjak lebih dua kali lipat dari 0,9 juta ton pada akhir 2017 menjadi 2 juta ton pada akhir 2018. Bulog dibuatnya kewalahan mengelola stok sebanyak itu. Bahkan hingga kini Bulog masih memiliki stok beras impor ratusan ribu ton sisa pengadaan tahun 2018. Kualitas beras yang dikelolanya merosot, bahkan ada yang menjadi tidak layak konsumsi. Ongkos “uang mati” pun tentu saja meningkat. Yang lebih mendasar lagi, kemampuan Bulog menyerap beras dari petani menjadi terbatas.

Meskipun kala itu memang butuh impor untuk stabilisasi harga menjelang pemilu, namun jumlahnya melebihi kebutuhan. Tak ayal, harga gabah kering di tingkat petani sempat merosot ke titik terendah dalam 9 bulan terakhir.
Penyebab lain dari penurunan harga adalah waktu pelaksanaan impor yang ganjil: impor relatif tinggi ketika masa panen atau tatkala terjadi surplus (produksi lebih besar dari konsumsi) dan sangat sedikit ketika sedang mengalami defisit (konsumsi lebih besar dari produksi).

Tahun ini pengalaman buruk 2018 berpotensi kembali terulang. Pengumuman impor beras sebanyak 1 juta ton secara langsung memengaruhi psikologi pasar yang cenderung menurunkan harga jual di tingkat petani. Apalagi petani sedang menyongsong masa panen raya (April-Mei).
Sebelum pengumuman impor saja harga gabah di tingkat petani sudah cenderung tertekan. Sekalipun harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani pada Januari 2021 naik 3 persen dibandingkan Desember 2020, namun masih lebih rendah dibandingkan Januari tahun lalu (year-on-year) atau turun sebesar 6,7 persen. Untuk harga gabah kering giling (GKG) lebih parah lagi, yaitu turun 0,73 persen dibandingkan bulan sebelumnya (Desember 2020) dan turun tajam sebesar 8,28 persen dibandingkan Januari 2020.
Harga Beras Stabil
Berbeda dengan harga gula yang sempat meroket tahun lalu, harga eceran beras setahun terakhir bisa dikatakan sangat stabil. Demikian juga dengan harga beras di tingkat penggilingan maupun harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani. Jadi berbeda dengan kondisi tahun 2018 yang sempat melonjak pada awal tahun.

Harga beras di Indonesia juga lebih stabil dari harga beras di pasar internasional yang mengacu pada harga beras Thailand maupun Vietnam. Sejak akhir 2019 harga beras Vietnam meningkat tajam, dari US325,79/mt (setara dengan Rp4.724/kg) pada Oktober 2019 menjadi US$500,48/mt (Rp7.256/kg) pada Februari 2021, dengan kurs Rp14.500/US$. Ada pun beras Thailand naik dari US$421/mt (Rp6.105/kg) pada November 2019 menjadi US$557/mt (Rp8.077/kg) pada Februari 2021.
Boleh jadi harga beras di pasaran internasional akan terus naik jika pembeli besar baru (new big buyer) masuk pasar. Pada tahun 2018 Indonesia merupakan pengimpor terbesar kedua dan tahun 2011 paling besar di dunia. Wajar jika para pengekspor beras utama dunia mencermati dengan seksama kebijakan perberasan Indonesia.

Praktik Pemburuan Rente
Bagi-bagi kuota impor sudah lama menjadi kelaziman dalam berbagai komoditas strategis seperti beras, gula, garam, daging, dan bawang putih. Pemicunya adalah selisih harga yang relatif lebar antara harga domestik dan harga internasional. Lebih menggiurkan lagi, volume impornya relatif sangat besar, mencapai jutaan ton untuk tiga komoditas pertama.
Salah satu kondisi ekstrem terjadi pada Oktober 2019. Harga beras eceran di Indonesia kala itu Rp13.978/kg. Pada waktu yang sama, harga beras Vietnam setara dengan Rp4.561. Selisih harga yang lebih dari tiga kali lipat itu amat menggiurkan. Seandainyanya pun dibandingkan dengan harga eceran tertinggi untuk beras medium di Jawa (Rp9.450/kg), selisihnya dengan beras Vietnam masih dua kali lipat. Katakanlah beras impor Vietnam sampai di pasar domestik menjadi Rp7.000/kg, keuntungan yang diraup setidaknya Rp2.500/kg. Dikalikan dengan 1 juta ton, maka keuntungan bersih bisa mencapai Rp2,5 triliun.
Solusi Terbaik
Banyak berita baik untuk membuat kita optimis produksi beras bakal meningkat. Pertama, di tengah pandemi COVID-19, sektor pertanian masih bisa mencatatkan pertumbuhan positif. Bahkan, subsektor tanaman pangan tumbuh positif 3,54 persen, tertinggi dalam lima tahun terakhir.
Kedua, BPS mengumumkan bahwa potensi produksi beras Januari-April tahun ini mencapai 14,54 juta ton, meningkat sebanyak 3,08 juta ton atau 26,84 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Kenaikan ini tak lepas dari kenaikan potensi luas panen yang cukup menjanjikan yaitu sebesar 1 juta hektar selama periode yang sama dibandingkan tahun lalu. Ditopang pula oleh potensi kenaikan produktivitas.
Jika pasokan pupuk terjaga dan tepat waktu niscaya produksi dan produktivitas masih bisa ditingkatkan. Semakin optimis lagi dengan telah kian banyaknya proyek pembangunan bandungan dan saluran irigasi yang sudah rampung.
Stok akhir pada akhir 2020 memang di bawah 1 juta ton, mirip dengan kondisi akhir 2017. Namun, peningkatan produksi yang cukup tajam, khususnya pada April-Mei, sudah di depan mata. Masih ada waktu yang cukup pula untuk mengamankan peningkatan produksi sampai akhir tahun ini. Dengan tekat kuat dan kerja keras, insya Allah kita bisa mengandalkan produksi petani dan meningkatkan kesejahteraan puluhan juta keluarga tani. Bukankah itu janji Presiden Jokowi pada masa kampanye Pilpres 2014?
Stok tidak perlu lagi sebanyak tahun-tahun sebelumnya karena penugasan untuk penyaluran CBP yang bersifat rutin tidak lagi sebesar sebelumnya.
Selain itu, data BPS menunjukkan terjadi tren penurunan konsumsi beras/ketan sejak 2009. Dalam tiga tahun terakhir penurunanya mencapai lebih dari 10 persen. Hal ini sudah barang tentu turut meredam kebutuhan impor.

Bapak Presiden, ganti saja segera menteri-menteri Bapak yang gandrung mengimpor. Mereka mau gampangnya saja–lebih mengedepankan value extraction alias percaloan yang menguntungkan segelintir orang ketimbang value creation dengan kebijakan kreatif dan inovatif yang menaburkan maslahat bagi banyak orang.
Bukan kali ini saja mereka berulah. Mungkin Bapak masih ingat kasus garam pada periode pertama Bapak. Kala itu Menteri Prerindustrian mengeluarkan rekomendasi impor garam yang jauh melebihi kebutuhan. Ketika ditanya wartawan, dirjen yang mengurus garam berkilah: “Kami lupa memasukkan produksi garam rakyat.”
saya pendukung pemerintah tapi sangat setuju dengan komentar Pak Faisal, Indonesia tanah subur dan lahan luas sehingga seharusnya masalah pangan kita harus menjadi pengexport. Kalaupun skarang kebutuhan lokal blm terpenuhi dan perlu import, maka harus diawasi karena tempat mencari keuntungan oknum tertentu.
Saya sangat berharap keputusan impor beras berbasis ilmu pengetahuan dan data yang akurat. Jangan sampai terulang kejadian 2018.
Jika kebijakan hadir tanpa basis data
Pastilah itu hanya soal ‘selera’
Jika kumandang pakar sudah tak didengar,
Bersiaplah hidup semakin hambar
Asyikkk… bisa makan banyak nih…..
Hal- hal yang krusial semacam ini ( karena menyangkut hajat hidup kaum tani) seperti hal kenaikan harga bbm harus dipublikasikan secara formal melalui media oleh menteri pertanian dan menteri perdagangan apa alasan dan pertimbangan nya harus impor dan buka risg diskusi dengan pakar serta libatkan Badan statistik Nasional. Jika hasil diskusi.menystaksn tidak perlu import beras jangan lakukan. Impor, jika hasil diskusi cukup.import 300.000 ton a itu saja ysng diimpor. Harus transparan dalsm menangani hal2 yang krusial. Sudah jamak dalam benak masyarakat bahwa impor bahan sembako selalu ada mainan komisi. Pemerintah jokowi harus memperbaiki citra ysng kurang baik dimata masyarakat, harus diingat korupsi bansos oleh mensos dkk dan skandal korupsi menteri KP memperburuk citra pemerintahan jokowi., disamping itu kinerja ekonominya juga tidak bagus dan kondisi keprihatinan bsngsa indonesia menghadapi pandemi covid 19.
Sangat setuju, Pak Oskar. Sayangnya, dua menteri yang ngotot itu dengan kementerian atau lembaga teknis yang mengurus beras saja tak berdiskusi secara terbuka.
Analisis yang gamblang bahkan dilengkapi rekomendasi solusi. Mengapa tidak dijalankan oleh pemerintah ya?
Hallo pembaca, Sudahkan anda mencoba untuk trading forex, emas, saham dan bitcoin, meefx adalah broker terbaik untuk anda.
mengapa harus berdagang di meefx.
1. Bonus 5 usd tanpa deposit
2. Trading tidak dikenakan swap
3. Trading tidak dinekan komisi
4. Deposit dan penarikan dapat menggunakan Bank lokal indonesia
5. spread yang rendah
6. Komisi untuk IB atau mitra terbesar di pasar forex.
Info lengkap langsung kunjungi website kami : http://meefxidn.com
Ternyata selisih harga jual beras dalam negeri dan beras impor sangat jauh sampai 3 kali lipat. Mengapa bisa begitu? Apakah karena kualitasnya berbeda atau karena harga pupuk dalam negeri terlalu tinggi sehingga produk bahan pangan di Vietnam jauh lebih murah?
Saya menelusuri bahan bacaan yang pernah saya baca tapi belum ketemu. Seingat saya harga di Indonesia lebih mahal karena per hektar 2-3 kali lihat tenaga kerja ketimbang Vietnam. Kedua, sewa tanah di kita jauh lebih mahal. Selebihnya saya tak ingat.