Judul tulisan ini kerap menimbulkan reaksi serta merta: jual tanah air, propaganda neolib. Padahal selama ini sudah marak praktek menjual tanah dan air kepada asing. Kita mengekspor bebatuan, logam, mineral, dan pasir. Perusahaan asing mengomersialisasikan air dalam bentuk produk air kemasan. Produk-produk itu dijual ke luar negeri. Kekayaan alam kita itu terbang ke luar, bekasnya adalah bukit yang terpangkas, lubang-lubang besar menyerupai danau kering, dan ketimpangan pendapatan yang melebar.
Padahal, kalau asing boleh memiliki properti dalam bentuk apartemen, bukan landed house, tidak ada tanah yang hilang. Asing tidak bisa menerbangkan apartemennya yang tak mendarat di bumi itu ke luar negeri kalau terjadi gejolak di Indonesia. Tidak akan terjadi pelarian modal (capital flight).
Sebetulnya kita tak menjual tanah ke asing. Yang kita jual adalah ruang “udara”. Dalam satu komplek apartemen, jumlah yang dimiliki asing dibatasi, katakanlah 45 persen. Selebihnya hanya boleh dimiliki warganegara Indonesia.
Akan terjadi bubble properti?
Harga properti akan melambung, harga tanah menggila. Akibatnya rakyat makin sulit memenuhi kebutuhan tempat berteduh. Kota-kota besar hanya dihuni orang kaya.
Hujah itu dengan mudah terpatahkan. Bubble properti seperti di Amerika Serikat yang menjadi pemicu krisis finansial global tahun 2008 tidak akan terjadi di Indonesia. Di sini tidak ada produk financial derivatives sejenis subprime mortgage. Pembeli properti di Indonesia paling banter memanfaatkan kredit pemilikan rumah (KPR) dan bank pemberi pinjaman tidak menganakpinakkan KPR menjadi produk finansial turunan. Jadi, KPR sepenuhnya ditopang oleh aset nyata (berwujud). Transaksi kredit itu jelas ada underlying asset-nya.
Sangat boleh jadi harga properti akan naik, tetapi sebatas properti yang boleh dimiliki oleh asing. Lagi pula, asing hanya kita bolehkan memiliki apartemen yang tergolong mewah. Jadi ada dua pasar properti yang cukup terpisahkan. Harga tanah dan properti lainnya boleh jadi naik sedikit yang merupakan kenaikan alamiah. Pemerintah pusat dan daerah memiliki instrumen untuk mengendalikan harga.
Caranya, pajak untuk properti yang dibeli asing dikenakan pajak lebih tinggi. Dana pajak itu bisa digunakan untuk membeli tanah di sepanjang jalur transportasi public/massal, terutama kereta api, dan di sekitar kawasan industri. Di atas tanah itu dibangun apartemen atau rumah susun yang terjangkau oleh para pekerja. Dengan tinggal di kawasan itu, ongkos transportasi masyarakat turun. Populasi sepeda motor turun drastis dan penggunaan mobil pribadi berkurang.
Jadi, membuka pemilikan properti oleh asing sekaligus sebagai bagian terintegrasi dari penataan kota. membangun kota yang berkeadaban tanpa membebani APBN atau APBD. Tanpa harus berutang.
Kontradiksi
Sekarang asing boleh membeli saham perusahaan properti milik warganegara Indonesia yang menguasai ribuan apartemen. Pemilik saham bisa menjual sahamnya kapan saja sesuka mereka. Pagi hari beli, siangnya dijual kembali. Kalau terjadi sedikit gejolak internal atau eksternal, serta merta mereka bisa melepas saham perusahaan properti milik warganegara Indonesia. Maka dengan mudah tejadi capital flight yang membuat indeks harga saham melorot dan nilai tukar rupiah lunglai.
Kalau asing boleh beli properti, maka jika terjadi gejolak mereka tidak bisa menggendong properti itu untuk diamankan ke luar negeri menggunakan pesawat dari bandara Soekarno-Hatta. Properti itu akan langgeng di Indonesia.
Apa yang Bakal Terjadi?
Katakanlah dalam lima tahun asing membeli 500.000 unit properti seharga rata-rata Rp 5 miliar per unit. Maka akan masuk dana segar senilai 192 miliar dollar AS (kurs Rp 13.000 per dollar AS). Cadangan devisa kita per 30 Juni 2015 hanya 108 miliar dollar AS.
Tidak seperti Singapura yang segala kebutuhan membangun apartemennya diimpor, kita menggunakan batu bata, semen, pasir, batu, cat, dan banyak lagi produk dalam negeri. Segala kebutuhan interior bisa dipenuhi dari produksi dalam negeri, mulai dari beragam barang elektronik hingga pengisi kamar mandi, dari furnitur hingga tanaman. Ratusan ribu pekerja tertampung, dari tukang bangunan sampai satpam. Sungguh sangat besar multiplier effect-nya.
Tidak berlebihan untuk menyimpulkan sektor properti bakal amat bergairah, berpotensi membangkitkan perekonomian nasional.
Ditambah dengan memajukan industrialisasi dan memperkokoh sektor pertanian, niscaya perekonomian kita bakal melesat.
wiihhh izin menshare ya mas ^^ dan terimakasih telah diizinkan untuk berkomentar
dan jangan lupa desember nanti kita memasuki MEA dimana orang asing dari negara2 asia tenggara bebas keluar masuk dan tinggal serta bekerja di Indonesia so “kepemilikan” property asing ini mustinya hal yg realistis yg harus dilakukan pemerintah.
Apalagi Tanah kita tidak berkurang
Secara rasional, ide pak Faisal memang cemerlang karena bisa meningkatkan pendapatan nasional yang bisa disharing untuk membantu kelompok masyarakat bawah. Namun, sayang sekali Pak, budaya birokrasi Indonesia sudah sangat diconstraint oleh economical interest baik untuk mempertahankan atau meningkatkan power mereka. Salah satu contoh kasus adalah penyewaan selama 30 thn pulau Kodingareng Keke di kota Makassar kepada seorang Belanda yang beristeri penduduk lokal. Pulau ini menjadi lebih indah penataannya, dan mungkin pendapat pemkot juga meningkat, tapi dampaknya kepada masyarakat, khususnya para nelayan tidak dapat lagi menangkap ikan di sekitar pulau ini. Malah pada awal pulau ini dimiliki oleh orang asing tersebut, nelayan yang menangkap ikan 10 m dari pulau Itu ditembaki oleh orang asing tersebut. Dan akhir tahun lalu, orang Belanda itu berani mengibarkan bendera Belanda di pulau tersebut yang tentu saja menimbulkan reaksi protes dari masyarakat ke pemkot Makassar.
Mantab!