faisal basri

wear the robes of fire — kesadaran nurani dan akal sehat


  • A. LATAR BELAKANG

    Dampak buruk kebijakan subsidi bahan bakar minyak disadari sejak lama namun upaya mencabut kebijakan tersebut tampak sulit dilakukan. Mencabut subsidi berarti menyerahkan penentuan harga minyak kepada mekanisme pasar. Walaupun tersedia mekanisme untuk menstabilkan harga bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri, kekawatiran terhadap fluktuasi harga BBM akibat perubahan harga minyak di pasar dunia senantiasa menciptakan kekawatiran pengambil kebijakan. Hambatan lainnya adalah pandangan bahwa BBM merupakan barang strategis yang penentuan harganya tidak dapat sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme pasar.

    Di tengah upaya pemerintah mengurangi subsidi BBM, belakangan muncul kebijakan baru berupa pemberian subsidi secara terselubung. Maksud dari kebijakan tersebut diduga untuk mengurangi fluktuasi harga BBM di dalam negeri. Berbeda dengan kebijakan subsidi yang pembiayaannya dianggarkan pada RAPBN sebagai pengeluaran subsidi, subsidi BBM dalam bentuk dana kompensasi dianggarkan dalam pos anggaran dana cadangan untuk pengeluaran lain-lain.

    Kajian ini bertujuan menganalisis kebijakan subsidi BBM dan permasalahan yang muncul akibat kebijakan subsidi BBM secara terselubung dalam bentuk pembayaran kompensasi BUMN akibat penetapan harga BBM yang lebih rendah dari biaya produksinya.

    Tujuan kebijakan subsidi BBM

    Indonesia memberlakukan subsidi bahan bakar minyak (BBM) sejak bergabung sebagai anggota Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) pada tahun 1962 untuk meredam inflasi, membantu rakyat miskin, dan melaksanakan pelayanan umum sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Dasar 1945 (Chelminski, 2018). Kebijakan tersebut dilakukan berdasarkan pandangan bahwa rakyat Indonesia perlu merasakan manfaat langsung atas kepemilikan sumber daya alam minyak bumi oleh negara. Selain itu, BBM merupakan kebutuhan dasar yang harus terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Dengan penetapan harga BBM lebih murah dari nilai keekonomiannya, BBM diharapkan dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat, termasuk masyarakat berpendapatan rendah (miskin). 

    Subsidi BBM berpengaruh pada penghasilan nyata rumah tangga baik secara langsung maupun tidak langsung. Harga BBM murah menyebabkan porsi pendapatan yang harus dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan energi bisa ditekan. Selain itu, subsidi BBM berpengaruh secara tidak langsung terhadap pengeluaran rumah tangga karena biaya yang dikeluarkan untuk barang dan jasa lain, terutama yang diproduksi membutuhkan energi, menjadi lebih murah. Dengan demikian, subsidi BBM diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

    Biaya subsidi BBM

    Meskipun pada dasarnya tujuan kebijakan subsidi BBM  untuk mengurangi beban dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tetapi kebijakan tersebut tampaknya bukan kebijakan yang paling efektif untuk memenuhi tujuan ini. Subsidi energi, termasuk bahan bakar minyak, menimbulkan biaya ekonomi, fiskal, sosial dan lingkungan yang signifikan dan bertentangan dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Berikut ini adalah biaya-biaya yang muncul karena kebijakan subsidi BBM atau subsidi energi pada umumnya.

    Biaya ekonomi

    Subsidi bahan bakar minyak menimbulkan efficiency cost karena mengaburkan sinyal harga. Penetapan harga lebih rendah dari opportunity cost menimbulkan distorsi pada konsumsi dan keputusan investasi. Dampak yang muncul adalah sebagai berikut:

    • Konsumsi berlebihan. Konsumsi berlebih menyebabkan peningkatan permintaan: mengurangi ekspor dan menambah impor. Dengan demikian, subsidi dapat menekan akun lancar (current account) dalam neraca pembayaran, sehingga berdampak pada pelemahan nilai tukar rupiah.
    • Efek subsidi BBM menyebar ke berbagai sektor, khususnya sektor padat energi, memengaruhi biaya produksi dan harga relatif barang yang diproduksinya. Perubahan harga relatif akan memengaruhi daya saing relatif tiap-tiap barang di pasar dunia.
    • Subsidi mengurangi kemampuan dan insentif investasi pada infrastruktur baru dan proses produksi. Subsidi juga menyebabkan memburuknya situasi keuangan perusahaan energi milik negara dan mengakibatkan investasi berkurang. Sebagai contoh, karena harus mengelola program subsidi silang antar daerah dan konsumen, yang mengakibatkan kondisi keuangan Perusahaan Listrik Negara (PLN) terganggu. Kompensasi negara tidak selalu dapat menutupi kesenjangan antara biaya produksi dengan harga jual. Sehingga PLN tidak dapat mendanai investasi baru, memperluas elektrifikasi di daerah pedesaan dan terkadang bahkan melakukan pemeliharaan standar. Akibatnya adalah pengembangan kapasitas pembangkit berkurang dan sering terjadi pemadaman listrik.
    • Distorsi harga dapat pula mengakibatkan kesalahan alokasi sumber daya dan pilihan investasi yang tidak efisien. Subsidi untuk jenis energi atau teknologi tertentu pasti akan merusak pengembangan dan komersialisasi sumber dan teknologi lain yang pada akhirnya mungkin menjadi lebih menarik secara ekonomi (dan juga lingkungan). Dengan demikian, subsidi dapat “mengunci” teknologi dengan mengesampingkan teknologi lain yang lebih menjanjikan.
    • Distorsi harga energi mendorong substitusi input lain (modal dan tenaga kerja) dengan energi. penghapusan subsidi energi dapat mendorong penyerapan tenaga kerja.
    • Kebijakan subsidi dapat menghambat persaingan usaha. Perusahaan energi milik negara, yang ditunjuk menjadi penyalur produk bersubsidi mendapatkan manfaat lebih dibandingkan produsen lain yang menjual produk non subsidi.
    • Kebijakan subsidi mendorong korupsi dan penyelundupan produk bersubsidi ke negara tetangga atau ke sektor non-subsidi di mana harga jual lebih tinggi; menimbulkan biaya administrasi besar untuk pemantauan, mencegah dan menangani penyalahgunaan.

    Biaya fiskal

    Pengeluaran untuk subsidi BBM menjadi beban berat anggaran negara. Penggunaan anggaran untuk subsidi energi mengurangi kemampuan negara untuk membiayai kebutuhan lain, termasuk pengeluaran subsidi pendidikan, kesehatan dan subsidi dan bantuan yang langsung menyasar masyarakat miskin.

    Kebijakan subsidi BBM juga membuat anggaran negara rentan terhadap pergerakan harga minyak bumi di pasar global. Harga minyak bumi di pasar dunia cenderung pro-siklus, naik ketika ekonomi tumbuh lebih cepat. Pengeluaran subsidi cenderung naik ketika ekonomi global tumbuh cepat dan turun ketika ekonomi tumbuh lebih lambat.

    Biaya sosial

    Manfaat subsidi BBM lebih banyak dinikmati oleh kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi sementara biaya subsidi dibebankan pada seluruh pembayar pajak. Karena subsidi bersifat regresif, mereka yang mengonsumsi paling banyak menerima manfaat terbesar dari subsidi tersebut. Survei menunjukkan bahwa konsumsi bahan bakar meningkat seiring dengan tingkat pendapatan. Akibatnya, lebih dari 90 persen subsidi bahan bakar menguntungkan 50 persen rumah tangga terkaya di Indonesia (Agustina et al., 2008). 

    Biaya Lingkungan

    Subsidi BBM dan energi pada umumnya, menimbulkan biaya lingkungan dengan mendorong emisi gas rumah kaca, polusi udara lokal, dan pengurasan sumber daya alam. Kebijakan subsidi bertentangan atau tidak sejalan dengan kecenderungan umum untuk beralih ke ekonomi yang lebih hijau. Dengan menjaga harga tetap rendah secara artifisial, subsidi bahan bakar mendorong konsumsi produk minyak bumi yang berpolusi secara boros. Subsidi BBM mengurangi insentif untuk melakukan efisiensi energi. Dengan mengaburkan sinyal harga, subsidi merusak diversifikasi sumber energi dan teknologi yang lebih bersih.

    Tantangan reformasi subsidi BBM

    Tantangan terbesar terhadap kebijakan penghapusan subsidi BBM adalah adanya anggapan sementara kalangan, termasuk mereka yang terdidik, bahwa negara kita memiliki kekayaan alam minyak bumi cukup banyak sehingga masyarakat berhak mendapatkan BBM dengan harga murah. Harga BBM menjadi persoalan sensitif bagi pemerintah karena kebijakan menaikkan harga BBM selalu mendapatkan penolakan dari berbagai kalangan. Menghapus subsidi BBM adalah kebijakan tidak popular dan memerlukan upaya keras untuk meyakinkan masyarakat bahwa kebijakan tersebut diperlukan agar pemerintah dapat menyediakan anggaran cukup untuk kebutuhan lain yang memberi manfaat lebih besar bagi orang miskin.

    Selain itu, BBM dianggap sebagai produk strategis dan menyangkut hajat hidup orang banyak sehingga penetapan harganya tidak dapat diserahkan berdasarkan mekanisme pasar. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor Perkara 002/’PUU-112003[1] menyatakan bahwa ketentuan Pasal 28 ayat (2) dan ayat (3) Undang- Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Dengan demikian, aturan pasal 28 ayat (2) UU Migas yang menyatakan  “harga bahan bakar minyak dan gas bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar” dianggap tidak berlaku.

    Untuk menggantikan aturan pasal 28 ayat 2 UU Migas yang dibatalkan Mahkamah Konstitusi seperti disebutkan di atas, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 30 tahun 2009. Pasal 72 PP Nomor 30 tahun 2009 menyatakan bahwa “Harga Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi diatur dan / atau ditetapkan oleh Pemerintah.”Walaupun tidak mengharuskan pemerintah untuk memberi subsidi, ketentuan tersebut mengharuskan pemerintah melakukan intervensi harga BBM.

    ~o0o~

    B. SUBSIDI BBM DI TENGAH ANCAMAN KRISIS ENERGI

    Indonesia menghadapi persoalan serius di sektor energi, terutama sektor minyak dan gas bumi. Defisit minyak bumi makin membengkak sehingga tidak lagi dapat ditutup oleh surplus produksi gas bumi. Tanpa upaya luar biasa dan segera, defisit perdagangan energi bisa mencapai sekitar US$80 miliar atau 3 persen PDB pada 2040.

    Perkembangan konsumsi dan produksi minyak dan gas bumi 

    Karena konsumsi minyak bumi terus meningkat sementara produksinya berkurang, Indonesia berkembang dari negara net eksportir menjadi net importir minyak dan produk minyak bumi.

    Berdasarkan dana British Petroleum (2020), selama sepuluh tahun terakhir (2010-2019) konsumsi minyak bumi[2]naik rata-rata 2,9 persen per tahun. Selama dua puluh terakhir, pertumbuhan konsumsi cenderung naik. Pada periode 2000-2009, konsumsi minyak bumi hanya naik rata-rata 2,7 persen per tahun. Konsumsi minyak bumi terus tumbuh disebabkan karena peningkatan jumlah penduduk dan kenaikan konsumsi energi per kapita. Sebagaimana negara-negara Emerging Market pada umumnya, pertumbuhan konsumsi energi Indonesia tergolong relatif tinggi (Lampiran 1). Sementara itu, penggunaan sumber energi terbarukan tumbuh sangat lambat (Lampiran 3), sehingga kenaikan kebutuhan energi langsung berpengaruh pada peningkatan konsumsi minyak bumi.

    Sebaliknya, produksi minyak bumi terus menurun. Pada periode 2010-2019, produksi minyak bumi turun rata-rata 2,3 persen per tahun. Laju penurunan produksi minyak bumi makin berkurang karena tingkat produksinya sudah sangat rendah. Produksi pada 2019 tinggal separuh produksi pada 2000. Pada periode 2000-2009, produksi minyak bumi turun rata-rata 3,3 persen per tahun. Produksi minyak bumi saat ini (2019) hanya sebesar 781,4 ribu barel per hari (285,2 juta barel per tahun) sama seperti tingkat produksi minyak bumi di awal perkembangannya di tahun 1970an.

    Peningkatan konsumsi dan penurunan produksi minyak bumi menyebabkan defisit produksi minyak bumi. Defisit minyak bumi (produksi lebih kecil dari konsumsi) telah terjadi sejak 2003. Saat ini defisit produksi minyak bumi diperkirakan sekitar 800 Ribu barel per hari.

    Defisit produksi minyak bumi tercermin pada perkembangan ekspor dan impor minyak mentah dan produk minyak. Sementara volume impor minyak mentah relatif stabil, volume ekspornya terus berkurang dan mengalami penurunan tajam pada tiga tahun terakhir (2017-2019). Defisit volume perdagangan minyak mentah telah terjadi sejak 2013.[3] Pada 2019, saat ini defisit minyak bumi (ekspor dikurangi impor) mencapai 59 juta barel. Padahal, sebelum krisis ekonomi 1997, surplus perdagangan minyak bumi hampir mencapai 215,5 juta barel. 

    Defisit minyak mentah terutama disebabkan oleh penurunan ekspor karena produksinya terus berkurang. Sementara volume impor minyak mentah terus berkembang untuk memenuhi kebutuhan produksi kilang minyak di dalam negeri. Pada 2019, volume impor minyak mentah mencapai 84,9 juta barel sementara ekspornya hanya 25,8 juta barel. Dengan demikian terjadi defisit perdagangan minyak mentah sebesar 59,1 juta barel.

    Produksi BBM tercermin pada refinery throughput[4] pengilangan minyak bumi. Sejak lebih dari dua puluh tahun terakhir, sejak 1997, refinery throughput relatif konstan, rata-rata 913 ribu barel per hari. Bahkan selama 2010-2017, rata-rata refinery throughput hanya sebesar 853,7 barel per hari (Lampiran 2).  Dengan produksi yang relatif konstan, tidak mengherankan jika impor BBM semakin meningkat.

    Sejak 1997, perdagangan produk minyak mengalami defisit (volume ekspor lebih kecil dari volume impor). Defisit produk minyak meningkat dari 11,2 juta barel pada 1997 menjadi 160,6 juta barel pada 2011. Sejak itu, defisit produk minyak relatif stabil dengan rata-rata 165 juta barel per tahun.

    Beruntung, hingga saat ini Indonesia masih mengalami surplus produksi gas bumi. Sayangnya, surplus gas kian menyusut. Sama halnya dengan konsumsi minyak bumi, konsumsi gas bumi juga terus meningkat. Sementara itu, produksinya sejak 2011 makin berkurang. Surplus produksi gas bumi mencapai puncaknya pada 2010, yaitu sebesar 42,73 miliar m2 (bcm) atau 252,69 juta barel setara minyak (boe). Pada 2019, surplus produksi gas bumi tinggal 23,72 bcm (139,57 juta boe)

    Impor gas dilakukan karena hanya sebagian kecil gas yang kita hasilkan dapat diubah menjadi LPG[5]. Sumur gas di Indonesia umumnya menghasilkan gas bumi yang mengandung lebih banyak metana dan hanya dapat diubah menjadi gas bumi cair (liquefied natural gas/LNG) atau gas terkompresi (compress natural gas/CNG). Padahal, kita membutuhkan LPG yang diproduksi dari gas yang mengandung banyak propana. Volume impor gas melonjak lebih dua kali lipat pada 2009 dan kemudian naik rata-rata 22 persen per tahun sampai 2019.

    Ekspor gas bumi mencapai puncaknya pada 2011, bersamaan dengan puncak produksinya. Setelah itu, ekspor gas bumi terus berkurang karena penurunan produksi dan peningkatan konsumsi dalam negeri.[6] Kombinasi antara kenaikan impor dan penurunan ekspor menyebabkan surplus perdagangan gas bumi terus berkurang. Pada 2019, surplus perdagangan gas bumi tinggal 66,4 juta boe menurun dari yang tertinggi yang pernah dicapai (261,4 juta boe) pada 2011.

    Transaksi perdagangan minyak dan gas bumi

    Di akhir dasawarsa 1990an (1996-1999), nilai ekspor minyak mentah Indonesia berkisar antara tiga sampai empat kali nilai impornya. Karenanya transaksi perdagangan minyak mentah mengalami surplus rata-rata US$3,4 miliar per tahun. Nilai ekspor minyak mentah mengalami peningkatan sampai 2011. Pada saat yang sama nilai impornya juga naik, bahkan kenaikannya lebih besar dari kenaikan ekspor sehingga  transaksi perdagangan minyak mentah terus menyusut.

    Sejak 2012, nilai ekspor minyak mentah terus menurun sedangkan impornya baru mengalami penurunan belakangan (2014). Pada 2013, Indonesia mulai mengalami defisit transaksi perdagangan minyak mentah dengan nilai menapai US$3,4 miliar. Sejak itu transaksi perdagangan minyak mentah terus mengalami defisit. Pada dua tahun terakhir (2018 dan 2019), defisit transaksi perdagangan minyak mentah masing-masing sebesar US$4 miliar.

    Defisit transaksi perdagangan minyak mentah menyebabkan defisit transaksi perdagangan minyak bumi (minyak mentah dan produk minyak) secara keseluruhan semakin membengkak.

    Indonesia sudah lama mengalami defisit transaksi perdagangan produk minyak. Defisit transaksi perdagangan produk minyak mengalami peningkatan dan mencapai puncaknya pada 2011-2014. Pada 2015, defisit transaksi perdagangan produk minyak mengalami penurunan karena impornya turun tajam. Sejak itu, defisit transaksi perdagangan produk minyak relatif stabil dengan rata-rata US$12,6 miliar.

    Indonesia mengalami surplus produksi gas bumi sehingga transaksi perdagangan gas bumi mengalami surplus. Surplus transaksi perdagangan gas bumi mencapai puncaknya pada 2011 senilai US$21,5 miliar. Setelah itu, surplus transaksi perdagangan gas bumi mulai berkurang dikarenakan ekspornya turun tajam sementara impornya naik.

    Penurunan surplus transaksi perdagangan gas bumi, di tengah defisit transaksi perdagangan minyak bumi menyebabkan transaksi perdagangan migas (minyak dan gas bumi secara keseluruhan) semakin memburuk. Sejak 2007, Indonesia praktis tidak lagi menikmati surplus perdagangan migas. Selama 2007-2011, transaksi perdagangan migas dapat dikatakan imbang. Pada 2012 terjadi penurunan ekspor migas sementara impornya naik sehingga transaksi perdagangan migas mengalami defisit cukup besar (US$5,6 miliar). Sejak itu transaksi perdagangan migas terus menerus mengalami defisit. Pada 2018 dan 2019, defisit perdagangan minyak dan gas masing-masing sebesar US$12,6 miliar dan US$10,0 miliar. Selama 2012-2019, rerata defisit perdagangan minyak dan gas bumi mencapai US$9,3 miliar.

    Memperhatikan kecenderungan penurunan produksi minyak bumi dan peningkatan konsumsi BBM, defisit transaksi perdagangan minyak bumi diperkirakan akan terus membesar. Saat ini, Indonesia masih menikmati surplus produksi gas bumi sehingga transaksi perdagangannya juga surplus. Berdasarkan kajian Wood Mackenzie, transaksi perdagangan gas bumi pada 2034 juga akan mengalami defisit. Indonesia memang masih mempunyai sumber energi batu bara yang akan terus menyumbang pada penerimaan ekspor. Namun surplus perdagangan batu bara tidak akan mampu lagi menutup defisit transaksi perdagangan migas sehingga transaksi perdagangan energi secara keseluruhan mengalami defisit. Menurut kajian yang sama, defisit perdagangan energi diperkirakan akan mencapai US$80 miliar pada 2040.

    Defisit perdagangan energi akan semakin membebani neraca pembayaran yang selanjutnya mengancam stabilitas nilai tukar dan makro ekonomi. Selain itu, defisit energi juga dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

    ~o0o~

    C. KEBIJAKAN HARGA BAHAN BAKAR MINYAK

    Kebijakan harga BBM mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 30 tahun 2009, pasal 72 yang menyatakan bahwa harga BBM diatur dan/atau ditetapkan oleh pemerintah. PP tersebut dijabarkan oleh Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 tahun 2014[7] yang mengelompokkan bahan bakar minyak menjadi tiga kategori yaitu bahan bakar tertentu, bahan bakar khusus penugasan dan bahan bakar umum. Adapun pengaturan harga ketiga kategori bahan bakar tersebut adalah sebagai berikut:

    • Bahan bakar tertentu. BBM Tertentu terdiri atas Minyak Tanah (Kerosene) dan Minyak Solar (Gas Oil). Harga minyak tanah ditetapkan berdasarkan penetapan harga nominal; Harga Minyak Solar ditetapkan dengan formula sesuai dengan Harga Dasar ditambah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB), dan dikurangi subsidi paling banyak sebesar Rp 1.000 (seribu rupiah). 
    • BBM Khusus Penugasan. Jenis BBM Khusus Penugasan merupakan BBM jenis Bensin (Gasoline) RON minimum 88 untuk didistribusikan di wilayah penugasan. Harga BBM khusus penugasan ditetapkan dengan formula sesuai dengan Harga Dasar ditambah biaya distribusi di wilayah penugasan (2 persen dari harga dasar), ditambah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB).
    • BBM Umum. BBM Umum terdiri atas seluruh jenis BBM di luar jenis BBM Tertentu dan jenis BBM Khusus Penugasan seperti disebutkan di atas. Harga BBM umum ditetapkan oleh Badan Usaha dengan formula sesuai dengan Harga Dasar ditambah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB), dengan ketentuan sebagai berikut: (a) harga terendah, dengan margin badan usaha paling rendah lima persen dari harga dasar; dan (b) harga tertinggi, dengan margin badan usaha paling tinggi 10 persen dari harga dasar.

    Perpres 191/2014 mencerminkan semangat untuk melakukan pengurangan subsidi BBM. Berdasarkan aturan tersebut harga BBM, kecuali minyak tanah yang nominal harganya ditentukan dan minyak solar yang mendapat subsidi maksimum seribu rupiah per liter, ditetapkan berdasarkan formula yang mengacu kepada harga minyak bumi di pasar global, dalam hal ini harga transaksi di bursa minyak Singapura (MOPS). Berdasarkan aturan tersebut harga jual eceran BBM diubah setiap bulan sesuai dengan perubahan harga minyak di bursa Singapura. Selain itu, pemerintah tidak perlu mengeluarkan subsidi untuk bensin premium. Subsidi hanya diberikan untuk minyak tanah dan minyak solar.

    Dalam perkembangannya kemudian, pada 24 Mei 2018, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Perpres Nomor 43 tahun 2018.[8] Dalam peraturan baru tersebut disebutkan bahwa, dalam hal tertentu, Menteri dapat menetapkan harga jual eceran Jenis BBM Tertentu dan Jenis BBM Khusus Penugasan berbeda dengan perhitungan formula yang ditetapkan, dengan mempertimbangkan antara lain: a. kemampuan keuangan negara; b. kemampuan daya beli masyarakat; dan/atau c. ekonomi riil dan sosial masyarakat” (Pasal 3 ayat (8)). 

    Selanjutnya peraturan tersebut menyatakan, dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan oleh auditor yang berwenang dalam 1 (satu) tahun anggaran terdapat kelebihan dan/atau kekurangan penerimaan Badan Usaha penerima penugasan sebagai akibat dari penetapan harga jual eceran BBM, menteri keuangan menetapkan kebijakan pengaturan kelebihan dan/atau kekurangan penerimaannya setelah berkoordinasi dengan menteri ESDM dan menteri BUMN.

    Pemerintah tampak tidak ingin harga jual eceran BBM berubah-ubah mengikuti perubahan harga minyak di pasar dunia. Oleh karenanya, pemerintah dapat menetapkan harga BBM untuk jangka waktu lebih lama dari sebulan seperti yang diharuskan oleh aturan sebelumnya. Stabilitas harga BBM kadang-kadang diperlukan misalnya untuk menjaga stabilitas harga barang dan jasa yang banyak menggunakan BBM misalnya jasa transportasi. Selain itu, kenaikan harga BBM yang tinggi menimbulkan citra buruk dan ketidakpuasan masyarakat pada pemerintah. 

    Konsekuensi dari kebijakan baru tersebut, pemerintah harus menalangi kekurangan apabila harga jual eceran ditetapkan lebih rendah dari harga yang dihitung berdasarkan formula. Sebaliknya, BUMN yang pelaksana penugasan harus membayar kelebihan apabila harga jual eceran ditetapkan lebih tinggi dari harga yang dihitung berdasarkan formula. Dalam praktiknya, harga yang ditetapkan lebih rendah dari harga yang ditetapkan berdasarkan formula sehingga pemerintah harus membayar kompensasi atas kekurangan penerimaan BUMN penerima penugasan, dalam hal ini PT Pertamina.

    ~o0o~

    D. ANGGARAN SUBSIDI BAHAN BAKAR MINYAK

    Salah satu tujuan dari kebijakan subsidi adalah redistribusi, agar distribusi pendapatan menjadi lebih merata. Dengan menetapkan harga lebih murah barang yang disubsidi menjadi dapat dijangkau oleh masyarakat yang miskin sekalipun. Subsidi BBM tampak tidak sejalan dengan tujuan tersebut karena ternyata orang miskin sedikit menggunakan BBM dari pada orang kaya. Sementara itu, subsidi BBM membutuhkan anggaran sangat besar. 

    Besarnya anggaran yang dibutuhkan untuk subsidi BBM mengurangi kemampuan pemerintah untuk membiayai pengeluaran yang lebih dibutuhkan oleh orang miskin, misalnya subsidi pendidikan dan kesehatan.

    Besaran pengeluaran subsidi BBM

    Sampai dengan 2014, Subsidi BBM merupakan komponen belanja pemerintah pusat yang sangat besar. Pada 2014, pengeluaran untuk subsidi BBM mencapai Rp191,01 triliun. Pada saat itu, pengeluaran pemerintah untuk subsidi BBM lebih besar dari belanja barang (Rp176,62 triliun), belanja modal (Rp147,35 triliun) dan pembayaran bunga hutang (Rp133,44 triliun). Pada periode 2011-2014, pengeluaran pemerintah untuk subsidi BBM sangat besar. Hal ini disebabkan oleh konsumsi dan harga yang tinggi. Pada tahun-tahun tersebut harga minyak bumi di pasar dunia rata-rata di atas US$90 per barel. Subsidi BBM memang sangat dipengaruhi oleh perkembangan harga minyak di pasar dunia.

    Subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) turun tajam menjadi Rp 34,89 triliun pada 2015. Penurunan subsidi BBM sebesar 82 persen seperti terjadi pada 2015 tidak pernah terjadi sebelumnya. Penurunan subsidi BBM yang besar (72,5 persen) pernah terjadi pada 2009 yang disebabkan oleh penurunan harga minyak bumi dari US$99,61 per barel pada 2008 menjadi US$61,7 per barel pada 2009. Penurunan pengeluaran pemerintah untuk subsidi BBM pada 2015 terjadi karena kombinasi antara penurunan harga minyak bumi dan kebijakan pemerintah menghilangkan subsidi untuk bahan bakar bensin premium (gasoline Ron88).

    Penurunan tajam tersebut terjadi karena penurunan subsidi premium yang pada 2014 mencapai Rp108,96 triliun pada 2014 menjadi hanya 11,19 triliun pada 2015. Penurunan tajam juga terjadi pada subsidi minyak solar yang berkurang dari Rp 74,86 triliun pada 2015 menjadi Rp20,48 triliun pada 2015. Penurunan juga terjadi pada subsidi minyak tanah, walau sejak diberlakukannya kebijakan konversi minyak tanah ke elpiji, belanja pemerintah untuk subsidi minyak tanah relatif kecil.

    Komposisi subsidi energi

    Sejak 2015, belanja pemerintah untuk subsidi BBM relatif kecil dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Selama lima tahun terakhir, 2015-2019, persentase belanja subsidi BBM paling besar hanya 2,9 persen dari total belanja pemerintah pusat, atau 18,8 persen dari total pengeluaran subsidi pemerintah.[9] Sebelumnya, pada 2017, subsidi BBM pernah mencapai hampir 18 persen dari total pengeluaran pemerintah pusat dan lebih dari separuh dari pengeluaran untuk subsidi.

    Belakangan, sejak 2015, belanja pemerintah untuk subsidi bahan bakar minyak semakin berkurang, terutama disebabkan karena penghapusan subsidi bensin premium (Gasoline RON 88). Sebelumnya, pada 2014, pengeluaran untuk subsidi BBM saja, hampir separuh (48,73 persen) dari pengeluaran subsidi atau 15,87 persen dari total pengeluaran pemerintah pusat. Belakangan, pengeluaran untuk subsidi BBM telah berkurang menjadi hanya kurang dari 3 persen dari total belanja pemerintah pusat atau kurang dari 10 persen dari total pengeluaran subsidi. Penurunan pengeluaran untuk subsidi bahan bakar minyak memungkin alokasi anggaran lebih besar untuk penggunaan yang lebih bermanfaat, seperti investasi infrastruktur, akumulasi modal manusia, dan program perlindungan sosial.

    ~o0o~

    E. BENTUK BARU SUBSIDI BBM

    Sejak 1 Januari 2015, pemerintah tidak lagi memberi subsidi harga bensin premium atau bensin RON88. Harga bensin premium selanjutnya ditetapkan berdasarkan formula  seperti ditetapkan oleh Perpres 191 tahun 2014. Pencabutan subsidi tersebut berdampak besar pada pengeluaran pemerintah untuk subsidi BBM. Pengeluaran pemerintah untuk subsidi BBM turun tajam dari Rp191,0 triliun pada 2014 menjadi Rp34,9 triliun pada 2015.

    Pencabutan subsidi bensin premium pada saat itu relatif tidak banyak mendapatkan penolakan masyarakat. Harga minyak bumi di pasar dunia saat itu sedang rendah, sehingga harga baru tanpa subsidi lebih murah dari harga yang ditetapkan sebelumnya. Selanjutnya harga BBM umum ditetapkan setiap bulan pada awal bulan. Karena ditetapkan setiap bulan berdasarkan formula yang tergantung pada harga minyak bumi di pasar dunia, harga BBM, khususnya bensin premium menjadi berubah-ubah.

    Perpres Nomor 43 tahun 2018 memberi kewenangan kepada Menteri ESDM untuk menetapkan harga BBM umum berbeda dengan harga yang dihitung berdasarkan formula. Harga yang sudah ditetapkan dapat terus berlaku walaupun terjadi perubahan harga minyak bumi di pasar global yang menjadi patokan. Dengan demikian harga BBM menjadi lebih stabil.

    Konsekuensi dari perubahan kebijakan tersebut adalah kerugian atau keuntungan apabila harga bensin premium yang ditetapkan lebih rendah atau lebih tinggi dari harga yang dihitung berdasarkan formula. Kerugian dan keuntungan yang terjadi dalam satu tahun dapat saja saling menutupi. Namun pada kenyataannya, sejak kebijakan tersebut diberlakukan, pemerintah harus membayar kompensasi kepada Pertamina selaku badan usaha yang ditugaskan untuk memproduksi bensin premium, atas kekurangan penerimaan yang disebabkan oleh penetapan harga tersebut.

    Kompensasi kerugian BUMN

    Kompensasi atas kekurangan penerimaan BUMN penerima penugasan pada dasarnya bentuk subsidi terselubung. Namun, pengeluaran untuk kompensasi tersebut dalam mata anggaran tidak dicatat dalam pengeluaran subsidi, tetapi dicatat pada pos pengeluaran lain-lain.

    Ketentuan tentang tata cara pembayaran kompensasi kepada BUMN penerima penugasan diatur oleh Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 227/2019 tentang Tata Cara Penyediaan, Pencairan, dan Pertanggungjawaban Dana Kompensasi Atas Kekurangan Penerimaan Badan Usaha Akibat Kebijakan Penetapan HJE BBM dan Tarif Tenaga Listrik.

    Dana Kompensasi adalah dana yang dibayarkan oleh Pemerintah kepada badan usaha atas kekurangan penerimaan badan usaha sebagai akibat dari kebijakan penetapan harga jual eceran bahan bakar minyak dan tarif tenaga listrik oleh Pemerintah, berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan atas subsidi bahan bakar minyak dan subsidi listrik yang telah diakui sebagai kewajiban oleh Pemerintah.

    Kekurangan Penerimaan Badan Usaha adalah selisih akibat penetapan harga jual eceran bahan bakar minyak jenis bahan bakar minyak tertentu dan/ atau bahan bakar minyak khusus penugasan oleh pemerintah yang lebih rendah dari perhitungan formula atau selisih neto akibat penetapan tarif listrik non subsidi oleh Pemerintah lebih rendah dari tarif tenaga listrik hasil perhitungan formula penyesuaian tarif yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    Untuk pemberian kompensasi kepada badan usaha telah dialokasikan dana kompensasi dalam rangka memberikan kompensasi atas kekurangan penerimaan badan usaha akibat kebijakan penetapan harga jual eceran Bahan Bakar Minyak dan Tarif Tenaga Listrik dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan pada Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara Pengelolaan Belanja Lainnya (BA 999.08).

    Dengan demikian terjadi perubahan pencatatan pada sebagian pengeluaran subsidi bahan bakar minyak dan tenaga listrik dari pengeluaran subsidi menjadi pengeluaran lain-lain.

    Besaran kompensasi kepada BUMN

    Realisasi Belanja Lain-lain TA 2019 adalah sebesar Rp11.7 triliun  atau 10,26 persen dari jumlah yang dianggarkan dalam APBN TA 2019 sebesar Rp114.00 triliun. Pada TA 2019 realisasi belanja lain-lain dana cadangan yaitu sebesar Rp8.0 triliun. Belanja tersebut di antaranya digunakan untuk melakukan pembayaran kewajiban pemerintah terhadap kebijakan tarif listrik TA 2017 sebesar Rp7.5 triliun kepada PT PLN (Persero). Dengan kata lain, belanja tersebut adalah pembayaran hutang kepada PLN atas beban pengeluaran yang sudah terjadi pada 2017.

    Pada pos pengeluaran tersebut belanja lain-lain seperti diuraikan di atas tidak terdapat pengeluaran kompensasi kepada PT Pertamina (Persero). Beban dana kompensasi kepada Pertamina dapat ditelusuri pada catatan hutang jangka pendek kepada pihak ketiga kelompok Satker Suspense pada komponen belanja lain-lain.

    Per 31 Desember 2019, utang kepada Satker Suspense tercatat sebesar Rp91,09 triliun, naik 56,95 persen dari Rp58,03 triliun pada 31 Desember 2018. Kementerian Keuangan memutuskan untuk membayar utang kepada Satker Suspense tersebut pada TA 2020. Adapun perincian utang kepada Satker Suspense adalah sebagai berikut:

    1. Kompensasi atas Kekurangan Penerimaan Badan Usaha Akibat Kebijakan Penetapan Tarif Tenaga Listrik Tahun 2018 sebesar Rp23.17 triliun;
    2. Kompensasi atas kekurangan Penerimaan Badan Usaha Akibat Kebijakan Penetapan Tarif Tenaga Listrik adalah sebesar Rp22.25 triliun;
    3. Kompensasi atas kekurangan penerimaan badan usaha akibat penetapan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak (HJE BBM) Jenis BBM Tertentu (JBT) dan/atau Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) sebesar Rp45.66 triliun, yang terdiri atas: (a) Rp45 triliun kekurangan penerimaan PT Pertamina (Persero) akibat penetapan HJE BBM JBT, dengan perincian: kekurangan penerimaan akibat penetapan  HJE BBM (JBT) Minyak Solar Tahun 2017 sebesar Rp20.79 triliun dan sebagian kekurangan penerimaan akibat penetapan HJE BBM JBT Minyak Solar Tahun 2018 sebesar Rp24.21 triliun; dan (b) Rp659 miliar kekurangan penerimaan PT AKR Corporindo,Tbk akibat penetapan HJEBBM JBT miliar dengan perincian: kekurangan penerimaan akibat penetapan HJE BBM JBT Minyak Solar Tahun 2017 sebesar Rp259 miliar dan kekurangan penerimaan akibat penetapan HJE BBM JBT Minyak Solar Tahun 2018 sebesar Rp400 miliar.

    Kompensasi kepada badan usaha sebagai bentuk baru pengeluaran subsidi BBM

    engeluaran pemerintah untuk kompensasi kerugian badan usaha pelaksana program atau yang mendapat penugasan seperti diuraikan di atas sejatinya merupakan bentuk baru dari pengeluaran subsidi. Namun pengeluaran tersebut tidak tercatat sebagai subsidi. Dengan kata lain, pengeluaran subsidi tersebut “tersembunyi” pada pos-pos pengeluaran lain.

    Perpres Nomor 43 tahun 2018 dapat dikatakan titik balik dari upaya pemerintah untuk mengurangi subsidi bahan bakar minyak. Berdasarkan perpres tersebut penentuan harga BBM khusus dan BBM khusus penugasan kembali ke cara lama, dapat ditentukan oleh Menteri berbeda dengan formula yang tertentu. Pembiayaan atas kebijakan penetapan harga BBM yang lebih rendah dari biaya produksinya dibebankan pada anggaran pemerintah namun tidak tercermin pada pos pengeluaran subsidi.

    Kebijakan tersebut mengembalikan persoalan-persoalan lama terkait subsidi bahan bakar minyak dan subsidi energi pada umumnya, di antaranya beban bagi BUMN yang menerima penugasan. Beban tersebut dapat menghambat BUMN yang bersangkutan untuk berkembang sehingga menjadi lebih efektif, kompetitif dan transparan.

    ~o0o~

    F. MOMENTUM PENGHAPUSAN BBM OKTAN RENDAH

    Pandemi COVID-19 telah mengubah hampir semua aspek kehidupan, termasuk untuk menghadirkan pembangunan yang lebih berwawasan lingkungan. Salah satu upaya yang bisa segera dilakukan adalah menghapuskan BBM kadar oktan rendah dan mengandung sulfur tinggi. Hampir semua negara telah melakukannya. Tinggal tujuh negara saja yang masih menggunakan BBM RON88, termasuk Indonesia. Hampir semua kendaraan yang diproduksi telah menyesuaikan spesifikasi mesinnya dengan standar minimum RON92.

    Harga minyak dunia selama 2019 hingga Agustus stabil di sekitar US$40 per barel. Pasca pandemi diperkirakan harga minyak cenderung tidak akan berfluktuasi tajam. Konsumsi energi dunia, termasuk minyak, telah mengalami penurunan. Elastisitas konsumsi minyak terhadap pertumbuhan ekonomi juga menurun akibat kemajuan teknologi yang lebih hemat energi serta pertumbuhan pesat energi terbarukan.

    Harga eceran bensin premium dan Pertalite sudah mendekati harga bensin RON92. Sekaranglah momentum emas untuk meningkatkan kualitas bensin dengan menghapuskan premium dan Pertalite. Kuncinya berada di tangan pemerintah. 

    Realisasi penggunaan bensin dengan minimum RON88 bisa diwujudkan mulai tahun 2021 dengan tanpa subsidi. Kalaupun terjadi kenaikan harga minyak, besarnya subsidi plus ongkos penugasan diharapkan tidak lebih dari besarnya subsidi yang berlaku atau yang telah dialokasikan pada APBN 2021.

    ~o0o~

    G. SARAN DAN REKOMENDASI

    Subsidi BBM dapat diibaratkan seperti candu yang membuat konsumen terlena dan menimbulkan ketergantungan. Untuk melepaskan diri dari ketergantungan tersebut memang sulit, namun tentu bukan mustahil. Demi kebaikan perekonomian nasional dan kesejahteraan bangsa, secara bertahap subsidi BBM harus dihilangkan. Kebijakan yang sudah dilakukan di awal pemerintahan Presiden Joko Widodo sebenarnya menjadi awal yang sangat baik, karena perlu dilaksanakan konsisten. Berikut ini adalah saran dan masukan berkaitan dengan upaya penghapusan kebijakan subsidi, alokasi anggaran subsidi BBM, mendorong produksi minyak bumi, dan peningkatan ketahanan energi.

    • Mengembalikan aturan penetapan harga BBM sesuai dengan formula sebagaimana di atur oleh Perpres Nomor 191 tahun 2014. Harga biodiesel ditentukan oleh pasar yang efisien.
    • Ketakutan harga BBM berfluktuasi sehingga menyumbang pada inflasi bisa dikurangi dengan:
    • Dana tabungan (semacam dana stabilisasi)
    • On/off PPN atau pungutan khusus.
    • Harga jual eceran BBM ditetapkan berdasarkan formula perhitungan harga patokan yang,
    • sederhana dan mencerminkan keadaan sebenarnya (koefisien berdasarkan data up to date); dan 
    • memperkecil peluang manipulasi dan pemburuan rente.
    • Jika subsidi, karena terpaksa, masih harus diberikan, subsidi BBM seyogianya dapat mendorong rakyat melakukan perubahan pola konsumsi BBM dan restrukturisasi industri perminyakan.
    • Setiap pengeluaran pemerintah untuk menutup perbedaan harga jual dengan harga pokok produksi dimasukkan sebagai pengeluaran subsidi.
    • Kompensasi atas kekurangan penerimaan BUMN penerima penugasan yang terjadi karena kebijakan penetapan harga seyogianya langsung dibayarkan atau setidaknya dibayarkan pada tahun berjalan.
    • Kepastian hukum: tegakkan aturan yang ada atau ubah aturannya
    • Menggalakkan eksplorasi dan eksploitasi dengan rezim yang fleksibel.
    • Menyusun Cetak Biru pengembangan energi untuk mendorong penggunaan sumber energi berkelanjutan dan ramah lingkungan (panas bumi, sinar matahari, air dan angin) dengan memperhatikan perkembangan penggunaan kendaraan listrik.

    ~o0o~

    Rujukan

    Chelminski, Kathryn (2018). “Fossil Fuel Subsidy Reform in Indonesia.” In The Politics of Fossil Fuel Subsidies and their Reform, edited by Jakob Skovgaard. Cambridge: Cambridge University Press. [online] Available at: https://www.cambridge.org/core/books/politics-of-fossil-fuel-subsidies-and-their-reform/fossil-fuel-subsidy-reform-in-indonesia/69E6706F3ABFB80052B20E3772404138/core-reader#

    Indonesia Research & Strategic Analysis dan Pusat Studi Energi Universitas Gajah Mada (2019). Persoalan Kebijakan dan Tata Kelola Sektor Energi. Laporan Kajian.

    Mourougane, Annabelle (2010). Phasing Out Energy Subsidies in Indonesia. OECD Economic Department Working Paper No. 808. [online] Available at:

    Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Laporan Keuangan Pemerintah Pusat, Tahun Anggaran 2004 – 2019.

    Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Nota Keuangan Beserta Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020. Buku II

    Tim Reformasi Tata Kelola Migas Nasional (2015). Rekomendasi Akhir: Memperkokoh Kelembagaan Sektor Migas Indonesia. Jakarta.

    Wood Mackenzie (2019). The Energy Transition. Laporan Kajian (tidak dipublikasi).

    ~o0o~


  • Blak-blakan Detikcom | Faisal Basri Takar Pertahanan Ekonomi RI Lawan Dunia,

    Rabu, 10 Agustus 2022 | 06:30 WIB

    Baca artikel detikfinance, “Tonton! Faisal Basri Takar Pertahanan Ekonomi RI Lawan Dunia” selengkapnya https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-6225420/tonton-faisal-basri-takar-pertahanan-ekonomi-ri-lawan-dunia.

    Jakarta – Ekonomi Indonesia tidak luput dari gonjang-ganjing kondisi dunia yang telah memakan korban sejumlah negara. Perang Rusia dan Ukraina telah memberi dampak domino yang berujung ke sejumlah masalah.

    Di tengah capaian pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II yang memberi senyuman, ekonom senior Faisal Basri membeberkan analisisnya mengenai kondisi ekonomi dalam negeri sebenarnya. Faisal mengatakan kondisi sektor keuangan Indonesia bahkan belum lebih baik dibandingkan sebelum krisis moneter 1998.

    “Kalau kita lihat sektor keuangan kita masih lebih lemah dari kondisi sebelum krisis. Dari kemampuannya menyalurkan kredit.” kata Faisal Basri dalam wawancara Blak-blakan detikcom, ditulis Rabu (10/8/2022).

    Kondisi itu disebut terasa dampaknya ke Indonesia. Pemerintah memiliki Pekerjaan Rumah (PR) besar untuk menjaga perekonomian agar tidak tertekan dan jatuh terlalu dalam.

    Faisal Basri mengungkapkan pemerintah harus menahan nafsu agar tidak menggunakan banyak anggaran untuk subsidi. Pasalnya saat ini Indonesia sedang dalam kondisi yang tidak baik meskipun fondasinya sudah cukup kuat. Pemerintah juga harus tetap waspada.

    Pemerintah dinilai harus mengalihkan uang untuk hal yang lebih penting dan mengutamakan kepentingan rakyat.

    Selain itu Faisal juga membahas harga bahan bakar minyak (BBM) yang dinilai harus naik hingga polemik pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung.

    “Tonton! Faisal Basri Takar Pertahanan Ekonomi RI Lawan Dunia” selengkapnya https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-6225420/tonton-faisal-basri-takar-pertahanan-ekonomi-ri-lawan-dunia.


  • Prof Mohammad Arsjad Anwar wafat Senin malam (25 April) dalam usia 85 tahun. Saya diminta oleh Humas FEBUI menyampaikan kesan dan pengalaman berinteraksi dengan Almarhum. Malam itu juga saya selesaikan tulisan ini hingga menjelang subuh. Teramat banyak kenangan. Baru sekelumit yang bisa saya tuliskan sebelum mengantar jasadnya ke pemakaman siang tadi.

    ***

    Saya beruntung menikmati interaksi panjang dengan Prof Mohammad Arsjad Anwar (MAA) sejak 1981 hingga sekarang, terutama sebagai mahasiswa maupun asisten peneliti. Selama empat dasawarsa, tak terbilang ilmu dan kearifan yang telah saya serap dan amalkan dari Prof MAA.

    Saya digembleng dari titik nol ketika masuk LPEM akhir tahun 1981 dengan pangkat terendah Junior Research Assistant A. Kala itu Prof MAA adalah Kepala LPEM. Gemblengannya yang paling membekas adalah bagaimana mengumpulkan, mengolah, menyajikan, dan menganalisis data—suatu talenta yang sangat dibutuhkan oleh seorang peneliti pemula. Jika kita melakukan proses itu secara seksama, niscaya insting kita tentang data akan semakin kuat dan membantu untuk menyibakkan makna dan misteri di balik data. Lebih jauh, Prof MAA memahami seluk-beluk pengumpulan data dan metodenya, sehingga ia pun mengetahui secara mendalam kekurangan atau kelemahan data itu. Yang paling fenomenal adalah kemampuannya “merapihkan” data resmi yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik sebagaimana tertuang dalam disertasinya. 

    Saya teringat pengalaman membantu Prof MAA mengolah data. Instingnya yang kuat dengan mudah mendeteksi kekeliruan atau kecerobohan saya. Serta-merta ia meminta saya menghitung kembali dan memang terbukti saya ceroboh. Sejak itu saya selalu memeriksa dan menghitung berkali-kali sebelum saya serahkan kepada Prof MAA. Jika beliau kurang puas (tak sejalan dengan teori), ia perintahkan mencari sumber data atau cara perhitungan alternatif. Semakin panjang rentang waktu dan semakin banyak data pembanding yang digunakan, kian mudah bagi kita untuk menemukan pola sehingga menghasilkan kesimpulan yang bernas.

    Kemampuan itulah yang bakal didapat jika kita mengikuti cara Prof MAA. Sebatas pengetahuan saya, Prof Mohamad Ikhsan dan DR M. Chatib Basri yang paling intens belajar dari Prof MAA. 

    Sedemikian piawainya Prof MAA, hasil proyeksi ekonomi berdasarkan modelling yang dilakukan para ekonom andal FEUI belum afdal kalau belum dikonsultasikan kepada Prof MAA. Kemampuan demikian tidak bisa didapat dari buku teks dan perkuliahan. 

    Satu lagi yang langka dari Prof MAA adalah kemampuan photographic memory-nya. Selain data ekonomi yang banyak melekat, Prof MAA juga piawai menceritakan dengan rinci sejarah FEUI dan LPEM: siapa nama tamatan pertama FEUI, dekan dan pembantu dekan serta pimpinan lengkap LPEM sejak awal berdiri. Tak pelak, Prof MAA selalu didapuk menceritakan kilas-balik FEUI dan LPEM ketika perayaan hari jadinya.

    Lebih setengah abad Prof MAA mengasuh mata kuliah Perekonomian Indonesia. Beberapa tahun saya menjadi salah satu anggota tim pengajar mata kuliah yang dinakhodai oleh Prof MAA dan atau Prof Dorodjatun Kuntjoro-Jakti. Mata kuliah ini wajib untuk semua jurusan dan menjadi bekal terakhir bagi mahasiswa untuk mengenal secara umum perekonomian Indonesia, khususnya bagaimana bertransformasi dari waktu ke waktu.

    Ketika terakhir bertemu sebagai sesama Penasihat LPEM (juga Prof Dorodjatun Kuntjoro-Jakti dan DR Darmin Nasution) bersama dengan Pimpinan LPEM di tengah pandemi COVID-19, Almarhum sempat menyampaikan pesan bagi pengelola LPEM dan keprihatinannya terhadap kondisi ekonomi Indonesia. Ia tahu persis kelemahan yang masih melekat dalam perekonomian Indonesia agar terhindar dari middle-income trap.

    Sang pengabdi FEUI terlama tanpa jeda itu telah meninggalkan kita—kehilangan amat besar bagi keluarga besar FEBUI. Semoga Almarhum bisa beristirahat dengan tenang dan berbahagia karena dedikasinya telah melahirkan ribuan sarjana, khususnya ekonom, mumpuni. Mendalami masalah sampai ke akarnya, membedah anatomi persoalan, dan konsisten selalu mengedepankan nilai-nilai akademik merupakan warisan Almarhum yang sepatutnya kita jaga dan terus warisi.

    Faisal Basri

    26 April 2022



  • Edition 45/02 – 10/Jan/1998

    In midst of an acute monetary crisis, the 1998/1999 draft state budget (RAPBN) increased to Rp. 133 trillion, or a 32% increase from the previous one. The government seemed to be optimistic about achieving the targets. Indeed, the present rupiah exchange rate of around Rp. 8,000 -Rp. 9,000 to the dollar is programmed to return to Rp. 4,000.

    According to Faisal H. Basri, the Head of Development Studies at the University of Indonesia, the rupiah’s fall after the announcement of the RAPBN was the result of government inconsistency towards IMF requirements. “The IMF’s requirement of a 1% surplus for the budget is not reflected in the RAPBN, so foreign investors and foreign fund managers considered that Indonesia is not serious about following the IMF’s prescription,” said Faisal.

    About the budget increase, Faisal thought it was unrealistic with the economic condition. “Other countries whose crisis is not as bad as Indonesia’s have cut their budgets, but Indonesian government increased theirs,” he said.

    Here are the excerpts of TEMPO Interaktif’s interview with observer Faisal H Basri, who is also a researcher in the Institute of Social and Economic Studies (LPEM) of the University of Indonesia, on Thursday, 8th January 1998.


    Is it true that 1998/1999 RAPBN is unrealistic in light of the real situation?

    Pak Harto said the increase is the result of strengthening US dollar rates. RAPBN’s revenues which are in US $ are oil, gas, foreign aid, port fees and export taxes. The total value of these four components is Rp. 44 trillion or 44.2%.

    Those four components contributed 13.5% of the increase of 32%. If the budget becomes bigger as the result of a rise in the exchange rate, the increase for the RAPBN should be 13.5%. But the increase not caused by a rise in the exchange rate is 18.6%. this means an increase compared to last year’s APBN, which only increased by 11%. Malaysia, whose crisis is not as bad as Indonesia’s and has not sought IMF aid, cut its budget by 18%. Indonesia, on the other hand, has enlarged its by 32%.

    The increase is not realistic. The government said we had to tighten our belts but the budget has got bigger. All expenditures in the budget have been increased. Only the budget for law and supervision has experienced a reduction. It’s strange that law is considered the least important in this country.

    In the revenue section, value added tax (PPN) has increased to 13%. This means ordinary people must pay the same tax as Liem Sioe Liong. It is not fair. Whereas, taxes on the rich, through income tax (PPh), have decreased. This doesn’t mean that PPh should be increased but the increase should be proportional and reflect fairness.

    The silly thing is that domestic capital expenditure has increased to 18%. It doesn’t reflect a retrenchment at all. I am suspicious that increase is being used to buy Timor cars.

    Moreover, the determination of the exchange rate at Rp. 4,000 is irrational. Nothing that the government offers will make it return to Rp. 4,000. It may be possible if government had offered something that would improve conditions. But Soeharto offered nothing.

    In your opinion, will the government undertake economic reform and restructure the economy as stated by Pak Harto in his speech?

    He has said that many times, but where is the implementation? We all want proof in black and white.

    Laksamana Sukardi stated that if Indonesia can achieve zero percent growth, this is good enough. Many predict that our growth will be negative. The government, meanwhile, has set growth at 4%. Do you think that can be achieved?

    The target of 4% growth is the government’s wish or hope. It is the minimum figure to avoid a social crisis. If the growth is zero %, it means new unemployment of 2.4 million people. That is apart from those new graduates and the already existing unemployment. So that means 10 million people unemployed. It was socio-political considerations that aimed growth at not more than 4%. Even with this target, there will be new unemployment of 1.2 million people.

    So, 4% is actually an impossible target?

    It can be achieved as long as the steps for reform are clear, transparent and consistent. But under conditions where nothing is offered by the government and Pak Harto, those targets are impossible to achieve. However, if some clear steps are taken next week and Pak Harto declines to be reelected, I think the target of 4% can be achieved.

    How about the fuel subsidies?

    We know IMF has stipulated a budget surplus of 1% ,or equal to Rp. 6 trillion. This is not reflected in the budget. I guess the surplus is hidden in the petrol subsidy of Rp. 10 trillion or other subsidies of Rp. 5 trillion. It is almost certain, after the plenary session, that petrol prices will increase. With such an increase, subsidies will less and there will be a surplus. But, if petrol prices increase, it is not fair on the people. Therefore, the present RAPBN is very tricky and political. It reflects unhealthy governance.

    If government increases petrol prices, won’t it cause inflation, whereas in the 98/99 budget the government has set the rate of inflation at 9%?

    Subsidies are not allowed by the IMF. It seems the government is asking them to wait until the plenary session. If Indonesia wants the IMF package, it has to have a surplus in its budget. But, once again I say it is not fair as the government still hides the figures.

    If electricity and fuel prices increase, won’t people’s burdens be even heavier?

    Indeed the price of petrol has to increase. Those who have enjoyed the electricity tariffs up to now are the rich. Just look at ordinary people, they perhaps only get 200-400 watts. The rest is for the rich. Of course increased petrol and electricity prices will have a psychological impact but there are ways to ensure that transportation fees don’t go up. Give subsidies by exemptions from income tax and value added tax.

    How about the target for the oil selling price of US$17 per barrel. Could this price change if the UN allows Iraq to sell oil which then will influence international oil prices?

    I think that US$ 17 per barrel is safe for there are no fundamental factors which will influence the rise or fall of oil prices. If there is a negotiation between Iraq and the UN, the oil price will be about US$ 16.5 – 17.5 per barrel. Therefore US$17 per barrel is a realistic figure.

    Can the 13% targeted increase from value added tax be achieved in midst of a crisis where many companies are going bankrupt?

    I think the income tax should go down 15% and value added tax should also be decreased. Can we achieve a 13% increase from value added tax? The answer is, yes we can. But with an iron hand. There are still many gaps where taxes could be imposed.

    What are they?

    For example, the 200 richest people could donate 50% of their income tax. That’s easy. Then, there are people like me who have no NPWP (the tax payer number). The tax collectors are afraid to chase us for if we pay taxes we will demand our rights of democratization. In an economic crisis like now, the target of increasing PPN is not appropriate. How can you increase tax collection in the middle of an economic crisis?

    How about the burden of Indonesian debts which amount to Rp. 30 trillion in the budget?

    The government should reschedule them, because it’s easier to reschedule government debts than private debts. All donor countries, the World Bank, IDB and others would understand. At least half of the government’s debts should be rescheduled. If this is done, the funds can be allocated to regional development which could then stimulate small-scale regional economies. However, this is not reflected in the 1998/1999 draft state budget. I think it is the worst draft state budget in the history of the New Order. Indonesia now is a bad boy instead of a good boy.

    You once said that the 1998/1999 draft state budget would go down to Rp. 90 trillion, but in fact it showed an increase of 32%, and the government is still optimistic. How do you see Pak Harto’s leadership capabilities with such a draft in mid-crisis?

    It is a reflection of the lack of clarity of the government’s vision and statements. It is also not consistent with the facts. The government said that we have to tighten our belts but the expenditure allocations have got bigger. And the post for the legal sector has declined. Perhaps this is deliberate, so that our legal institutions will be even more of a mess. Actually with a budget of Rp. 90 trillion, we could make savings from value added tax and income tax. In other countries which are facing crisis, taxes are cut. They did this in Japan, to start up economic growth again.

    How about the government’s consistency in carrying out retrenchment, when Mbak Tutut’s Tanjung Jati electricity project and Bambang Trihatmodjo’s APRI oil refinery can go ahead?

    It is a reflection of the government’s unclear vision of it wants to take this country. In this bring together all the existing potential and lead this country out of the crisis. Soeharto has failed. He made enemies of observers, didn’t pay attention to Petition 50, and anyone who disagreed was kept well away.

    Is Pak Harto’s leadership incapable of being improved?

    Yes

    Is there any guarantee that if Pak Harto is replaced it will lead to an improvement in the economy?

    At least, there would be a chance for Indonesia to rearrange the political power structure to produce a new spirit. It is impossible for this to happen in the Soeharto era. Soeharto is old and his capability is limited. Moreover his relatives’ interests are becoming ever bigger. It is obvious that the family has gotten privileges in the present attempts to improvement the economy.

    Will Pak Harto reform the economy according to what he stated before the House, such as eliminating monopolies or protection?

    No. It means he will not undertake any reform or deregulation that will get us out of this crisis. Marginal reformations are possible, though he will still maintain the status quo which is the political basis for the legitimacy of his power. According to Harold Crouch, legitimacy is achieved by money rather than by his charisma as a leader.

    Is it possible that to maintain his power, Pak Harto will ban monopolies?

    It will be marginal. He will ban some monopolies and politicize them as if there was elimination. If he is reelected again, his ministers will be even worse than now because now he is getting fragile and needs more support as well as compensation. The danger is that he will choose ministers based not on competency but on compensation.

    After the RAPBN announcement, the rupiah fell further. In your opinion, what do foreign fund managers and investors want?

    They want to see that the IMF requirements are implemented. They think Indonesia will not abide by the IMF’s conditions. However, if the 1% surplus is included in the RAPBN, it will be wrong too as the budget should be balanced. So, this RAPBN will do nothing to help the rupiah improve.

    Is there a possibility for the House to make any corrections of the draft?

    Of course. Even though it’s only a dream, we would like to see the House squeeze the budget and demand the government to announce explicitly when the price of petrol will increase. Then, if we want a surplus, how many percent will it be and where will it come from? It must be transparent. Then, the House should ask the government to reschedule its debts.

    ANY



  • Saya baru pertama kali berjumpa dan berdiskusi dengan Mas Gita Wirjawan ketika diundang untuk mengisi podcast yang ia asuh: Endgame.

    Banyak topik yang dibahas secara mendalam. Waktu merembet tak terasa hingga senja menjelang. Mas Gita piawai menggali dan menggali hingga tuntas hingga tak ada lagi yang menggantung. Pertanyaan-pertanyaannya sangat tajam dan tak terduga, membuat saya terdiam sejenak sebelum menjawabnya.

    Beberapa hari kemudian, Mas Gita mengundang saya ke kantornya di kawasan SCBD, berdiskusi lebih bebas dan santai dengan beberapa kawan lain.

    Berikut disksi lengkap Endgame Season 3 Episode 22.


  • Ratusan triliun mereka keruk isi perut Ibu Pertiwi. Penguasa diam membisu.

    Penguasa mengobral bijih nikel, menetapkan harga hanya sekitar seperempat  dari harga di negeri mereka sendiri. Tak pelak lagi, mereka berbondong-bondong ke sini. Kalau perlu pindahkan pabrik smelter nikel di negerinya. Bisa jadi mesin bekas yang dipindahkan itu diakui sebagai mesin baru, harganya digelembungkan agar seolah-olah nilai investasinya jumbo sehingga dapat fasilitas bebas pajak (tax holiday), memperoleh tax allowance, investment allowance, dan super deduction tax.

    Ibu Pertiwi dapat apa? Cuma upah “kuli” dan pembayaran sewa tanah ala kadarnya. 

    Kata penguasa mereka mau bangun pabrik baterai untuk mobil listrik, tetapi entah kapan. Yang pasti sampai sekarang mereka cuma mengolah jadi pellet, nickel pig iron, ferro nickel, dan besi baja setengah jadi. Hampir semua produk smelter nikel itu mereka ekspor ke negerinya sendiri. Penguasa tak mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) karena hampir seluruh produknya mereka ekspor. Tak juga membayar pajak ekspor. 

    Sudah ratusan ribu pekerja mereka datangkan. Kebanyakan pekerja itu pakai via kunjungan (visa turis), sehingga tak membayar pungutan US$100 per bulan per pekerja. Upahnya berkisar Rp15 juta sampai Rp50 juta. Tenaga ahlikah mereka? Kebanyakan bukan, kebanyakan lulusan SLTA atau lebih rendah. Ada sopir forklift, sopir alat berat, satpam, tenaga statistik, petugas asrama, dan banyak lagi.

    Sejauh ini, tak ada gelagat dari penguasa untuk melakukan audit atas fasilitas fiskal luar biasa yang mereka terima dan audit tenaga kerja yang ditengarai menyalahi aturan sehingga negara berpotensi mengalami kerugian ratusan triliun rupiah. Tak pernah terdengar suara dari Kementerian Keuangan dan Kementerian Tenaga Kerja.

    Berulang kali penguasa mengumbar bahwa ekspor naik ratusan persen, tetapi devisanya terbang semua. Jadi, apa yang Penguasa banggakan? Bangga jadi pendukung industrialisasi di China?

    Belum puas juga, mereka sekarang menguasai tambang nikel. Mereka mulai mengurangi pembelian bijih nikel dari penambang nasional. Selain berasal dari tambang sendiri, pengadaan bijih nikel meraka juga didukung oleh BUMN tambang yang telah menandatangani kontrak penjualan jutaan bijih nikel dengan mereka (pemilik smelter nikel).

    Penguasa tampaknya tutup mata atau “melindungi” praktik eksploitasi sumber daya alam oleh mereka yang merusak lingkungan (lihat antara lain laporan hasil investigasi The Guardian bertajuk ‘We are afraid’: Erin Brockovich pollutant linked to global electric car boom.

    Bentuk dukungan penuh dari penguasa terlihat antara lain dari peresmian smelter mereka oleh Presiden dan kunjungan pentolan-pentolan pemilik smelter nikel ke Istana.

    Akankah kita diam saya atas praktik pengurasan kekayaan alam yang tak terperikan ini?


  • Tulisan lama ini mungkin bermanfaat untuk mahasiswa ekonomi yang hendak menulis makalah bertajuk ekonomi politik kebijakan perdagangan dan industri. Metodologi dan hasil perhitungan tertera pada Lampiran.


  • Sudah dua tulisan tentang lonjakan harga minyak goreng di blog ini, masing-masing berjudul Ulah Pemerintahlah yang Membuat Harga Minyak Goreng Melonjak dan Di Balik Lonjakan Harga Minyak Goreng.

    Posting yang ketiga ini adalah wawancara dengan Narasi TV, berlangsung pada 5 Februari 2022. Semoga semakin memperjelas duduk parkara lonjakan harga dan kelangkaan mintak goreng.

    Hasil wawancara bisa disaksikan di akun YouTube Narasi TV.


  • Sore hari ini, Rabu, 16 Februari 2022, saya diundang oleh Partai Gelora dalam acara Gelora Talks Edisi #34 bertajuk “Minyak Goreng Langka, Ada Apa?”

    Bahan yang saya persiapkan untuk acara ini bisa diunduh di bawah ini:


  • Berni K. Moestafa, The Jakarta Post, Jakarta, September 24, 2002. 

    On Faisal Basri, modesty stands out like his trademark khaki trousers, his light-colored shirt and his leather sandals among other men in suits.

    “Help yourself please,” he said, pointing to a selection of tea and coffee, in the corner of his office while he prepared himself a bowl of instant noodles, “I don’t like how people here pamper someone just because he’s the dean.” 

    Faisal actually deserves some pampering. It’s well over half past three in the afternoon and the dean of the Perbanas Business School had not had his lunch yet. 

    Earlier in the day, he joined a brainstorming session for new reporters at television station TV 7, gave a lecture on the Indonesian economy at Perbanas, then agreed to a quick interview which, he was not to know, turned out to last for over an hour. 

    Faisal is an economist. Outstanding economists exist, few however launch political attacks, and of those very few find power unattractive. 

    Last year, for instance, he called for an act of civil disobedience by ignoring regulations of politicians whom he blamed for neglecting the public, with their power games. 

    In 1997 before a crowd of rallying students, Faisal demanded Soeharto’s resignation when even political activists refrained to singling out the former strongman as hampering economic recovery. 

    Believing the struggle must go on after the Soeharto era, he helped found the National Mandate Party (PAN) and became its first secretary-general — a position so unlike him, as are the shoes he said he kept in his car for formal occasions. 

    “I never wanted to become a politician, that has never been my dream,” he said. But when close friends asked him to join PAN, he did so. That was in 1998. 

    In January 2001, Faisal resigned over discontent with moves to change PAN’s open political platform into an Islamic one, not, he asserted, after someone challenged him at a public seminar to quit PAN. 

    “What I really like is teaching and doing research,” he said. 

    Faisal hails from the same school as brilliant economists like Sri Mulyani Indrawati, M. Ihksan and Chatib Basri. 

    A graduate of the University of Indonesia, he has never really left his alma mater since he first enrolled there in 1978. He still teaches economics at the university. 

    “After graduating I just stayed on as a lecturer and a researcher. I didn’t even think about working somewhere else,” Faisal said, adding he did once apply for a staff position with the United Nations but was turned down when he missed an interview. 

    He then held a research post at the University of Indonesia’s Institute for Economic and Social Research (LPEM) for 17 years. 

    From inside LPEM, he launched his criticism of the government’s economic policies that often hit the political establishment behind them as well. 

    He had no qualms about blasting the businesses of the Soeharto clan and his cronies, knowing well their empire was build on power rather than entrepreneurship. 

    Soeharto’s downfall in 1998 opened the way to uproot excessive state control over the market under the auspices of the International Monetary Fund (IMF). 

    Today Faisal airs his grief over unfair business competition, over the media and the country’s first antimonopoly watchdog, one of several IMF-backed products. 

    The Business Competition Supervisory Commission (KPPU) has become the referee in today’s ever tighter market, penalizing shady dealings of big corporations. 

    “The market is no saint, without regulations the big ones bury the small ones, the smart cheat the dumb, two big ones almost certainly means collusion,” said Faisal, now also a KPPU member. 

    But between the Soeharto-style market control and the risk of free trade, Faisal goes for the middle ground. “It’s like a pendulum, swinging from one extreme to another, it isn’t good.” 

    His down-to-earth insights are not merely pragmatism nurtured by years of toiling with economic figures at LPEM. 

    “What are the values I try to adhere to?” Faisal asked as he pondered a question on the meaning of life. “Quite simple, they are (the values from) the people nearest to me,” he said, citing his parents first. 

    His family, he said, was rather poor but not without dignity, which strikes one as especially hard, since his relatives belonged to the upper crust of society during the late sixties. 

    After all, his grandmother’s elder brother was Adam Malik, the venerable foreign minister and vice president during that time. 

    But while Adam might have set the mark of his family’s social status, he also taught them to be humble. 

    Faisal recalled how the former vice president gave attention to family members who were not as well-off as their well-to-do relatives. 

    “I look at Adam Malik’s modesty, how he taught our family the true meanings of family values, being non-discriminative,” he said. 

    Adam’s teachings, in the most obvious form, have resurfaced in Faisal’s unpretentious dressing style. It is from within him though that these values serve the country best.