
Reporter: Moh. Khory Alfarizi
Editor: Rr. Ariyani Yaktı Widyastuti
Tempo.co, Senin, 24 Oktober 2022
TEMPO.CO, Jakarta – Ekonom senior Universitas Indonesia Faisal Basri menjelaskan perbedaan kondisi Indonesia saat menghadapi krisis pada tahun 2008 dan ancaman resesi global tahun depan.
Faisal menceritakan bahwa krisis yang terjadi pada periode tahun 2008-2009 dipicu oleh krisis finansial global di Amerika Serikat. Saat itu, investasi berbagai sektor hancur yang bermula dari kejatuhan sektor finansial.
“Pengaruhnya ke aset, misalnya. Aset dana pensiun anjlok. Jadi ke demand side, supply agak banyak terganggu,” ujar Faisal kepada Tempo, Kamis, 20 Oktober 2022.
Meski begitu, menurut Faisal Basri, pengaruh krisis terhadap Indonesia pada tahun 2008 itu sangat kecil. Efek penuh krisis baru dirasakan pada tahun 2009, saat pertumbuhan ekonomi global berada di minus 0,1 persen, tapi Indonesia masih bisa mencetak pertumbuhan 4,6 persen. Hal itu terjadi karena sektor keuangan Indonesia belum terlalu dalam dan tidak terintegrasi dengan sektor keuangan global.
Kondisi Indonesia ini, menurut Faisal, berbeda halnya dengan Singapura yang perekonomiannya ambles. Negara singa itu merupakan salah negara yang terintegrasi degan sistem keuangan global. Sementara, Indonesia praktis tidak banyak terpengaruh, tidak terjadi kebangkrutan massal, dan tak terjadi kehancuran sektor keuangan.
Sementara di Amerika Serikat, kata Faisal, usai Lehman Brothers pailit, lalu pemerintah mengkonsolidasikan sejumlah bank besarnya. “Jadi yang kena adalah negara yang sistem keuangannya terintegrasi dengan sistem keuangan global. Pengaruhnya terbatas.”
Adapun dampak krisis saat itu ke warga negara Amerika Serikat, Faisal menambahkan, tak sedikit yang langsung jatuh miskin. Mulai dari yang tidak bisa bayar cicilan kredit saat harga perumahan anjlok, dan banyak orang yang seketika tidak punya rumah di sana.
Sedangkan hal tersebut tak terjadi di Indonesia. Ekonom lulusan Vanderbilt University, Amerika Serikat itu, menuturkan, krisis saat itu hanya berdampak ke ekspor nasional. “Ekspor Indonesia juga tidak terlalu besar terhadap PDB, hanya 20 persen, berbeda dengan Singapura, mencapai 170 persen,” ucapnya.
Ia juga menyoroti sektor keuangan Indonesia pada tahun 2009 masih banyak bergantung kepada investor asing daripada sekarang. “Kalau saya enggak salah, kira-kira saham yang dimiliki oleh investor asing itu 50 persen, sekarang tinggal 32 persen,” tuturnya.
Jadi, dengan kemungkinan terburuk, bila terjadi resesi pada tahun depan, menurut Faisal, kalaupun sektor keuangannya terganggu, dampaknya tetap tak terlalu signifikan terhadap Indonesia. Bila kepemilikan saham asing itu dijual, pasar saham tidak akan terlalu jatuh seperti 2009.
Selain itu, pada tahun 2009, hampir 40 persen utang pemerintah berdenominasi rupiah dipegang oleh investor asing. Saat ini, proporsi tersebut sudah turun drastis menjadi hanya 16 persen.
Hal ini pula yang membuat Faisal tetap optimistis bahwa pengaruh resesi global 2023 akan relatif kecil. Dalam hitungannya, perumbuhan ekonomi global pada tahun depan melambat ke level mendekati 0, tapi belum sampai 0.
Lalu bagaimana dengan dampaknya ke Indonesia?
Menurut Faisal, meskipun perekonomian Indonesia tak lepas dari perekonomian global, tetap butuh waktu untuk dampaknya menjalar ke Tanah Air. Bila ekonomi dunia pulih, pemulihan di Indonesia akan terjadi lebih lambat setahun atau dua tahun.
Meski perlambatan ekonomi global tersebut tak langsung berimbas ke dalam negeri, Faisal tetap mengigatkan untuk tetap waspada. Resesi adalah perpaduan antara demand shock dan supply shock, diiringi inflasi yang sangat tinggi, ditambah pengaruh pandemi Covid-19 yang masih terjadi.
Reseso global tak lantas membuat Indonesia langsung mengalami resesi. “Kecuali ada akselerasi persoalan lain, seperti sosial dan stabilitas bersatu momennya sama. Nah bisa krisis,” tutur Faisal.
Sumber: https://wordpress.com/post/faisalbasri.com/24417
***