Menghadapi wabah COVID-19 bisa dianalogikan dengan perang. Dalam peperangan, niscaya ada panglima perang yang mendedikasikan segenap jiwa dan raganya melawan musuh tanpa dibebani pekerjaan lain. Dalam perang butuh mobilisasi prajurit dan logistik a la perang, bukan dengan cara-cara biasa dalam keadaan normal.
Untuk kebutuhan perang, segala sumber daya yang ada didedikasikan untuk perang. Kapasitas pabrik bisa didayagunakan untuk menghasilkan barang-barang untuk kebutuhan perang. Kapal-kapal niaga bisa dimodifikasi untuk mengangkut prajurit, persenjataan, dan kebutuhan penunjang lainnya.
Jalur komando harus jelas, siapa bertanggung jawab untuk apa. Informasi harus jelas dan akurat sampai ke komandan pertempuran dan segenap prajuritnya.
Untuk itu semua, aturan yang ada tidak cukup. Harus ada payung hukum yang jelas dalam menghadapi darurat perang. Namanya juga darurat. Pengadaan barang dan jasa tak bisa menunggu lelang. Alokasi anggaran tak bisa mengikuti alur pembahasan baku yang memerlukan berbagai tahapan. Jadi butuh undang-undang darurat perang. Karena mendesak, buat segera Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang)
***
Perkembangan COVID-19 di Indonesia
COVID-19 sudah menjamah semua provinsi dan 494 (96,1 persen) kabupaten/kota. Jadi, COVID-19 telah merambak sampai ke pelosok, tak hanya di kawasan perkotaan, melainkan telah merasuk ke kawasan pedesaan.
Kasus terkonfirmasi COVID-19 harian sudah menembus 4.000. Pertambahan kasus semakin cepat. Sejak pengumuman kasus pertama 2 Maret 2020 hingga mencapai 50.000 kasus butuh waktu 115 hari. Tambahan 50.000 berikutnya hanya 32 hari, lalu turun lagi menjadi 26 hari untuk mencapai 150.000 kasus, 17 hari untuk mencapai 200.000 kasus, dan 14 hari untuk menembus 250.000 kasus.

Pasien meninggal dunia per hari selalu di atas 100 dalam delapan hari terakhir dan kematian kumulatif hampir mencapai 10.000. Jumlah kematian itu hanya yang meninggal dunia setelah dites PCR dengan hasil positif. Yang meninggal dunia belum dites usap (PCR) tetapi memiliki gejala yang sama dengan pengidap COVID-19 dan dimakamkan dengan protokol COVID-19 tidak dicatat sebagai kematian karena COVID-19. Lebih ironis lagi, untuk menurunkan angka kematian, ada rencana dari Kemenkes untuk mempersempit definisi kematian menjadi yang semata-mata (murni) karena COVID-19 dan mencoret akibat penyakit penyerta.
Dengan definisi kematian yang tidak menggunakan standar WHO saja, angka kematian (case fatality rate/CFR) Indonesia tertinggi di ASEAN dan tertinggi kedua di Asia, juga lebih tinggi dari rerata dunia.

Karena sosok COVID-19 tak kasat mata, maka untuk mengenalinya hanya ada satu cara, yaitu dengan testing. Bagaimana hendak menjinakkan wabaah kalau kita tak tahu sosok musuh kita.
Sudah hampir tujuh bulan coronavirus leluasa menyebar karena jumlah testing di Indonesia sangat rendah, baru sekitar 10.000 per satu juta penduduk.

Nyaris tak ada alasan mengapa sedemikian buruk kinerja testing Indonesia. Anggaran untuk penanganan COVID-19 cukup besar. Kesulitan mendapatkan peralatan dan reagen pun tak bisa diterima akal sehat. Negara-negara yang lebih miskin dari Indonesia seperti Bangladesh, Pakistan, dan Filipina bisa melakukan tes lebih banyak. Di antara negara-negara dengan kasus di atas 10.000, jumlah tes di Indonesia hanya lebih tinggi ketimbang 10 negara berpendapatan rendah dan berpendapatan menengah-bawah di Afrika dan satu negara berpendapatan rendah di Asia (Afganistan). Status Indonesia yang baru naik kelas menjadi negara berpendapatan menengah-atas tak tercermin dari jumlah tes.
Sudah jumlah tes sedikit, tidak efektif pula. Jumlah tes yang sudah lumayan naik walaupun secara nasional lebih rendah ketimbang standar WHO, tidak disertai dengan strategi penelusuran/pelacakan kontak. Nisbah pelacakan kontak secara nasional sangat rendah, sekitar 3. Bahkan di DKI Jakarta—yang merupakan episentrum wabah COVID-19—berdasarkan data dari kawalcovid19.id, rasio lacak isolasi (RLI) justru turun dari sekitar 4 pada bulan Juni menjadi kurang dari 2 pada bulan September. Ini ibarat tawanan perang yang bebas berkeliaran sesuka hati, bahkan sampai ke jantung pertahanan kita sendiri. WHO menganjurkan pelacakan antara 10-30 per satu kasus terkonfirmasi (kawalcovid19.id).
Bagaimana mau menang perang kalau tanpa melalui berbagai medan pertempuran.

Perlu Organisasi Perang yang Mumpuni dan Panglima Perang
Perang menghadapi wabah COVID-19 lebih pelik. Musuhnya tak kelihatan kasat mata. Tak tahu jumlahnya berapa dan lokasinya dimana. Untuk menggempur musuh tak bisa pakai senjata pemusnah yang paling canggih sekalipun. Tak bisa pula menggunakan intelejen tentara untuk memata-matai posisi dan pergerakan musuh. Strategi menyerangnya pun berbeda. Tak bisa sekali menyerang meskipun dengan bom atom lantas musuh serta-merta takluk, dan perang usai.
Mengapa sejauh ini kita belum berhasil menjinakkan COVID-19 dan bahkan mengalami kemunduran? Salah satu faktor terpenting adalah tidak ada rencana darurat “perang”, organisasi yang dibentuk tidak efektif, dan tidak ada panglima perang.
Yang sudah ada adalah rencana darurat menghadapi dampak dari perang, bukannya perang itu sendiri. Lihat saja judul Perppu No.1/2020 yang telah ditetapkan menjadi Undang-undang No.2/2020:

Karena hukum daruratnya seperti itu, maka tak heran kalau struktur organisasinya pun tidak mencerminkan kedaruratan kesehatan. Posisi/jabatan berwarna merah tidak tertera di dalam Perpres No.82./2020, hanya diumumkan oleh Ketua Pelaksana.

Kita menghadapi perang semesta, namun tanpa perencanaan komprehensif dan menggigit. Presiden sebagai panglima tertinggi belum kunjung mengangkat panglima perang. Yang ada adalah sejumlah panglima pertempuran atau panglima ad hoc: ada Menko Perekonomian, Menteri BUMN, Menteri Kesehatan, Menko Maritim dan Investasi. Mereka semua tidak purnawaktu mengurus wabah. Pekerjaan mereka sudah sangat banyak. Masalah yang mereka hadapi sangat banyak dan rumit.
Idealnya ada panglima perang purnawaktu yang diberikan otoritas penuh oleh panglima tertinggi untuk menundukkan musuh. Panglima perang dibantu oleh staf-staf profesional yang juga purnawaktu sesuai dengan keahlian masing-masing, bukan jabatan ex-officio. Pejabat-pejabat itu bertugas sebagai pendukung operasi dengan memobilisasi sumber daya yang mereka miliki. Misalnya, panglima tertinggi butuh ratusan ribu tenaga untuk pelacakan kontak kepada polisi dan petugas sensus yang diurus oleh BPS. Kalau masih kurang, dibuka pesempatan untuk relawan dari mahasiswa dan oraganisasi kemasyarakatan. Dananya diminta ke Menteri Keuangan. Pengadaan logistik tak perlu tender. Mobilisasi pabrik untuk menghasilkan kebutuhan perang dimintakan ke Menteri Perindustrian. Harus ada undang-undang darurat yang menaunginya.
Panglima tertinggi memiliki pusat data sendiri dan menggunakan standar WHO. Tidak boleh lagi suka-suka Menteri Kesehatan menentukan definisi kematian. Seluruh data yang dikumpulkan Kemenkes wajib diserahkan ke pusat data di kantor komandan perang. Kantor komandolah yang mengolah data.
Pendek kata perencanaan dan operasi harus terpusat. Bukan seperti sekarang yang terlalu banyak satgas: satgas percepatan vaksin, satgas percepatan penurunan kasus di delapan daerah dengan kasus tertinggi, dan sejenis satgas lainnya. Orangnya itu-itu saja. Hanya ada satu juru bicara perang.
Sosok panglima perang harus yang memiliki pengalaman panjang dan berprestasi luar biasa di berbagai medan pertempuran.
Ada dua sosok ideal sebagai panglima perang: Pak JK dan Pak Kuntoro.
sederhana-nya, “meng-ingin-kan” keadaan tetap normal (tanpa ada hal2x yang menganggu), padahal realita-nya ada unsur (virus corona), yang “memaksa” kita harus ada sikap (karena unsur – virus corona “menganggu” keadaan normal)
Begitulah yg tampaknya terjadi