Tidak setitik darah pun menetes ke bumi Pertiwi akibat perseteruan kampanye pemilu pascareformasi. Itulah modal paling berharga dalam menapaki konsolidasi demokrasi. Ketegangan memang meninggi di media sosial, namun tidak sampai menjungkirbalikkan akal sehat, karena civll liberty pasca reformasi cukup ampuh menghasilkan informasi yang berimbang. Kebenaran tidak dimonopoli oleh satu kekuatan tertentu. Penguasa tidak bisa semena-mena mendiktekan kehendaknya lewat intimidasi. Tidak ada lagi ruang bagi kekuatan “bawah tanah” yang melakukan penetrasi dengan teror dan propaganda sesat, karena rakyat sendiri yang akan melawannya, dengan akal sehat. Oleh karena itu, kebebasan dalam bingkai social order mutlak harus dipelihara. Tidak ada kompromi bagi ancaman sekecil apa pun terhadap kebebasan sipil. Silakan saja siapa pun sesumbar dan mengancam akan melakukan ini atau itu sepanjang di dalam bingkai hukum dan tidak merenggut kebebasan orang lain. Tidak ada pihak mana pun yang bisa melakukan kecurangan masif karena serta merta akan terdeteksi sehingga segera terkoreksi. Berdasarkan keyakinan itu, hasil pemilu pada akhirnya akan legitimate sebagai kontrak politik baru. Tentu dalam perjalananya muncul riak-riak, ketidakpuasan, bahkan penolakan. Namun kita telah memiliki cukup perangkat untuk menyelesaikan segala persoalan. Meskipun kelembagaan kita belum sempurna, kecil kemungkinan berujung di jalan buntu (deadlock).
Momen pemilu merupakan pembaruan komitmen memulai era baru. Pertarungan gagasan telah berlangsung selama periode kampanye yang cukup lama. Tidak ada satu kubu pun yang hendak mengganti konstitusi. Penumpang gelap bisa saja punya agenda terselubung, tetapi niscaya ambisinya akan kandas.
Modal kita untuk maju mengakselerasi lebih dari cukup. Pertumbuhan ekonomi mulai merangkak naik. Kenaikan harga-harga sangat terkendali. Laju inflasi bulan lalu (year on year) hanya 2,5 persen, terendah dalam 10 tahun terakhir. Angka pengangguran terus turun, demikian juga jumlah penduduk miskin. Indikator ketimpangan membaik, indeks Gini turun di bawah 0,4, yang berarti berada dalam kategori baik.
Perbaikan yang telah berlangsung dalam lima tahun terakhir memang belum memuaskan. Kita harus berpacu dengan waktu agar terhindar dari “tua sebelum kaya” karena bonus demografi segera berakhir. Cita-cita proklamasi untuk mengenyahkan kemiskinan harus terwujud ketika kita merayakan seabad merdeka, Pengangguran usia muda yang tinggi harus diperangi lebih seksama. Ketimpangan antardaerah, khususnya Jawa versus luar Jawa, tidak bisa ditunda-tunda lagi. Harus ada langkah bernas untuk memajukan industrialisasi di luar Jawa untuk mengolah sumber daya alam agar tidak mentah-mentah diekspor. Untuk itu, integrasi perekonomian domestik menjadi prasyaratnya. Tidak ada pilihan kecuali memperkokoh jati diri kita sebagai negara maritim. Sudan saatnya memperkaya konsep tol laut menjadi “pendulum Nusantara” dengan transports laut sebagai urat nadi sistem logistik nasional. Budaya maritim menjadi roh pembangunan.
Pembaruan komitmen untuk melaju lebih kencang itulah yang merupakan salah satu esensi utama dari pemilihan umum legislatif dan presiden-wakil presiden, memperteguh tekad untuk lebih baik, menghimpun kekuatan yang masih berserakan, meluruskan yang bengkok, serta membakar lemak-lemak yang menyelubungi tubuh perekonomian. Bukan meruntuhkan bangunan yang ada karena beda selera semata. Bukan dengan menenggelamkan modal dasar yang sudah dalam genggaman untuk menggapai sesuatu yang tidak jelas sosoknya ibarat fatamorgana yang tak kunjung bisa kita gapai.
Niscaya kita bisa.
Salah satu tokoh yang saya banggakan, pemikiran dan tindakan Bang Faisal sangat dibutuhkan negeri ini. Jangan pernah lelah berbuat untuk negeri ini. Salam Waras