Infrastruktur, Utang, dan BUMN

Belum ada komentar

Bisnis.com

Pemerintahan Presiden Joko Widodo mengawali debutnya dengan memangkas subsidi bahan bakar minyak (BBM). Ratusan triliun rupiah dana subsidi BBM yang sebelumnya terbakar tak berbekas dialihkan untuk memacu pembangunan infrastruktur dan sumber daya manusia, terutama untuk pendidikan dan kesehatan. Peraga berikut diperkenalkan pemerintah untuk membuktikannya. Subsidi energi yang sebagian besar berupa subsidi BBM turun drastis dari Rp 342 triliun pada 2014 menjadi Rp 119 triliun pada 2015. Dengan reformasi struktural itu, pemerintah memiliki ruang fiskal yang cukup leluasa untuk menambah belanja infrastruktur sekitar Rp 100 triliun. Sebagian sisanya dialokasikan untuk menambah anggaran pendidikan dan sedikit untuk kesehatan.

Cakupan infrastruktur di atas cukup luas, tidak sebatas infrastruktur fisik, melainkan juga meliputi infrastruktur sosial dan “dukungan infrastruktur” walaupun tidak sampai 5 persen.

Pembangunan infrastruktur ekonomi yang dilakukan melalui belanja K/L dan belanja non-K/L ternyata justru cenderung turun. Yang membuat belanja infrastruktur melonjak adalah yang melalui transfer ke daerah dan dana desa, jadi bukan pos belanja pemerintah pusat. Alokasi dana transfer ke daerah dan dana desa untuk infrastruktur bersifat perkiraan sejalan dengan semangat otonomi daerah.

Tentu saja sosok infrastruktur yang mencolok seperti jalan tol, bandara, waduk, kereta api bandara, kereta cepat Jakarta-Bandung, MRT, dan LRT tidak termasuk yang dibiayai dari transfer ke daerah dan dana desa. Jadi dari mana pembiayaan proyek-proyek besar itu? Dari mana lagi sebagian besar pembiayaannya kalau bukan dari BUMN yang ditugaskan.

Mengingat penugasan yang massif di satu pihak dan keterbatasan kemampuan BUMN, maka BUMN terpaksa berutang. Selama kurun waktu 2014-2018, utang BUMN sektor nonkeuangan naik 60 persen, dari Rp 504 triliun menjadi Rp 805 triliun.

Sebetulnya peningkatan tajam utang BUMN nonfinansial di era Presiden Joko Widodo tak setinggi periode sebelumnya. Pada periode 2010-2014, utang BUMN nonfinansial melonjak jauh lebih tinggi, yaitu 188 persen, dari hanya Rp 175 triliun pada 2010 menjadi Rp 504 triliun pada 2014. Bagaimanapun peningkatan utang BUMN nonfinansial 4,6 kali lipat dalam waktu sewindu perlu diwaspadai.

Apalagi utang BUMN nonfinansial kebanyakan dalam mata uang asing. Kiranya pemerintah perlu meningkatkan kewaspadaan mengingat jika muncul masalah dengan utang BUMN, pemerintah wajib turun tangan. Sejumlah BUMN sudah mengalami kesulitan keuangan, terutama BUMN “karya”. Secara tidak langsung, dalam jangka pendek dan menengah pembayaran bunga juga turut membebani neraca pembayaran. Apalagi mengingat BUMN kebanyakan tidak menghasilkan pendapatan valuta asing.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.