Baru saja awal tahun ini Kementerian Pertanian mengklaim harga beras di Indonesia lebih murah ketimbang di India, Thailand, dan Vietnam. Kalau benar begitu, harga rerata beras di Indonesia tergolong sangat murah kalau tidak hendak dikatakan termurah di dunia.
Menjelang akhir pekan ini, heboh harga beras mahal bertaburan di media massa. Menurut ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), mahalnya harga beras di Indonesia disebabkan hanya segelintir pelaku usaha yang menguasai pusat-pusat distribusi atau rantai pasok (Kompas, 22 Juli 2017, hal. 1 dan 15).
Kesimpulan ketua KPPU disampaikan seusai penggerebekan oleh Satgas Pangan yang beranggotakan Polri, KPPU, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Perdagangan di gudang PT Indo Beras Unggul (IBU), anak perusahaan PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk, yang memproduksi beras dengan merek Maknyuss dan Cap Ayam Jago.
Sangat berbahaya jika satu kasus perusahaan yang digeledah digeneralisasikan. Hampir bisa dipastikan pangsa pasar kedua merek beras yang dijual PT IBU tidak sampai satu persen dari pasar beras nasional. Volume beras dalam kemasan dan bermerek pun relatif sangat kecil.
Masih menurut pemberitaan Kompas, “Polisi memastikan perusahaan itu melakukan dua pelanggaran pidana terkait produksi beras medium, yaitu memanipulasi harga dan membohongi konsumen mengenai kandungan beras.”
Tuduhan memanipulasi harga karena perusahaan menjual beras premium dengan harga di atas harga acuan yang ditetapkan pemerintah. Harga acuan di tingkat konsumen adalah Rp 9.500 per kg, sedangkan harga jual dua jenis beras PT IBU masing-masing Rp 13.700 dan Rp 20.400 per kg.
Kalau harga jual di atas harga acuan, apakah penjual otomatis dituduh memanipulasi harga? Bukankah harga jual hampir semua komoditas yang diatur pemerintah lebih tinggi dari harga acuan?
Permendag tentang harga acuan beberapa komoditas pangan yang terakhir dikeluarkan pada Mei 2017 tidak mencantumkan sanksi bagi pihak-pihak yang melanggar. Secara implisit Permendag No.27/2017 merupakan pedoman umum dalam melakukan stabilisasi harga bagi kalangan internal pemerintah sendiri.
Untuk kasus beras, jika harga di tingkat konsumen lebih tinggi dari harga acuan, Menteri Perdagangan dapat menugaskan BULOG untuk melakukan operasi pasar dengan menjual beras sesuai dengan harga acuan.
Sudah barang tentu urusan harga acuan tidak berlaku untuk produk premium bermerek seperti minyak goreng Bimoli dan Filma, gula kristal putih merek Gulaku, atau beras kemasan berbagai merek yang banyak dijajakan di pasar modern.
Dari pemberitaan, yang tampaknya sudah terang benderang adalah ketidaksesuaian antara informasi yang tercantum di kemasan dengan yang sebenarnya berdasarkan hasil pengujian. Dengan memanipulasi seolah-olah beras yang dijual PT IBU berkualitas tinggi, maka harga yang dibanderol pun ditinggikan.
Bagaimana menjelaskan paradoks bahwa di satu sisi klaim Kementan tentang harga beras di Indonesia lebih murah dari negara tetangga, di sisi lain pemerintah (termasuk Kementan) gencar melakukan berbagai upaya untuk menekan harga beras yang dinilai oleh ketua KPPU mahal karena praktek oligopoli yang dilakukan segelintir pelaku di pusat-usat distribusi?
Bagaimana peran BULOG yang secara eksplisit dalam Permendag No.27/2017 ditugaskan melakukan operasi pasar jika harga di tingkat konsumen di atas harga acuan?
Apakah tren kenaikan harga disebabkan oleh kekurangan pasokan?
Apakah data produksi dan konsumsi yang dijadikan acuan dalam perumusan kebijakan perberasan cukup akurat? Uji coba BPS di dua lokasi menghasilkan luas lahan yang jauh lebih kecil dari yang digunakan Kementan.
Saatnya para pemangku kepentingan perberasan duduk bersama untuk menuntaskan masalah perberasan agar petani sejahtera dan konsumen ceria.
Jangan sampai berbagai masalah di atas belum tertangani, justru pemerintah mencari jalan pintas menerjunkan polisi dan tentara. Hasilnya boleh jadi harga terus merangkak naik karena pasokan tersendat akibat pengusaha ketakutan dituduh menimbun dan memanipulasi harga.
JIka ada mafia beras yang nyata-nyata melakukan tindakan kriminal, segera bongkar tuntas. Seret ke pengadilan. Hukum seberat-beratnya.
BERAS DISUBSIDI DAN HARGA ATAS
Jakarta. Menanggapi berbagai simpang-siur pemberitaan mengenai Penggerebekan Gudang Beras PT IBU di Bekasi. Dr Ana Astrid Kepala Subbidang Data Sosial-Ekonomi pada Pusat Data dan Sistem Informasi Kementerian Pertanian menegaskan “tidak ada kebohongan publik”. “Yang dimaksud beras memperoleh subsidi adalah dalam memproduksi beras tersebut, ada subsidi input berupa subsidi benih Rp 1,3 triliun dan subsidi pupuk Rp 31,2 triliun, bahkan ditambah lagi ada bantuan sarana dan prasarana dari Pemerintah kepada petani yang besarnya triliunan rupiah juga”.
Sekedar informasi di luar subsidi input, ada juga subsidi beras sejahtera (Rastra) untuk rumahtangga sasaran (pra sejahtera) yang besarannya sekitar Rp 19,8 triliun yang pendistribusiannya satu pintu melalui BULOG, dan tidak diperjual-belikan di pasar, jelas Ana di Jakarta, Sabtu 22/7/2017.
Selanjutnya Ana menyampaikan beras yang ditemukan di Bekasi itu jenisnya adalah Varietas IR64. “varietas IR64 merupakan salah satu benih padi dari Varietas Unggul Baru (VUB), diantara varietas Ciherang, Mekongga, Situ Bagendit, Cigeulis, Impari, Ciliwung, Cibogo dan lainnya. Total VUB yang digunakan petani sekitar 90 persen dari luas panen padi 15,2 juta hektar setahun.
“Memang benih padi varietas IR64 cukup lama populer sejak tahun 80-an, sehingga sering menjadi sebutan tipe beras, dengan ciri bentuk beras ramping dan tekstur pulen, masyarakat sering menyebut beras IR, meskipun sebenarnya varietas VUB nya beda-beda, bisa Ciherang, Impari dan lainnya” ungkap Ana. “Kesukaan petani terhadap IR64 ini sangat tinggi, sehingga setiap akan mengganti varietas baru selalu diistilahkan dengan “IR 64″ baru. Akibatnya seringkali diistilahkan varietas unggu baru itu adalah sejenis IR. Apapun varietasnya, petani cenderung menyebutnya benih jenis IR”, ungkap Ana.
“Seluruh beras medium dan premium itu kan berasal dari gabah varietas Varietas Unggul Baru (VUB) yaitu IR64, Ciherang, Mekongga, Situ Bagendit, Cigeulis, Impari, Ciliwung, Cibogo dan lainnya yang diproduksi dan dijual dari petani kisaran Rp 3.500-4.700/kg gabah”, terang Ana.
“Jadi perusahaan ini membeli gabah/beras jenis varietas VUB dan harga beli dari petani relatif sama atau sedikit lebih mahal, selanjutnya dengan prosessing/ diolah menjadi beras premium dan dijual ke konsumen dengan harga tinggi. Ini yang menyebabkan disparitas harga tinggi, marjin yang mereka peroleh tinggi bisa 100 persen, mereka memperoleh marjin di atas normal profit, sementara petani menderita dan konsumen menanggung harga tinggi”. “Sementara perusahaan lain membeli gabah ke petani dengan harga yang sama dan diproses menjadi beras medium dan dijual harga normal medium” tegasnya.
Lebih lanjut Ana menegaskan “akibat perilaku seperti ini negara sangat dirugikan”. Kerugian pertama, uang negara dibelanjakan untuk membantu produksi petani, namun petani tidak menikmati. Produk dari petani diolah oleh perusahaan sedemikian rupa menjadi premium dan dijual dengan harga tinggi kepada konsumen. Kedua tidak ada distribusi keuntungan wajar antar pelaku”, ujar Ana.
Hitungan kerugian seperti ini, yaitu harga beras di petani sekitar Rp 7.000/kg dan harga premium di konsumen sampai Rp 20.000/kg, taruhlah selisih harga ini minimal Rp 10.000/kg dan bila dikalikan beras premium yang beredar 1,0 juta ton atau 2,2% dari beras 45 juta ton setahun, maka kerugian keekonomian ditaksir sebesar Rp 10 triliun, paparnya
Terkait kebijakan HET yang dikatakan mendadak. Ana mengatakan “harga acuan di konsumen atau biasa disebut Harga Atas tidak mendadak, sejak tahun lalu sudah diterbitkan HET. Pada tahun 2016 sudah diterbitkan Permendag Nomor 63/M-DAG/PER/09/2016 dengan harga acuan beras di petani Rp 7.300/kg dan di konsumen Rp 9.500/kg. Selanjutnya pada Juli 2017 diterbitkan Permendag Nomor 47/M-DAG/PER/7/2017 dengan harga acuan beras di petani Rp 7.300/kg dan di konsumen Rp 9.000/kg.
Harga beras rerata sekarang Rp 10.500/kg itu kan tinggi, karena terbentuk dari adanya beras yang dijual tinggi selama ini, pintanya
Untuk diketahui harga acuan sudah mempertimbangkan kelayakan usahatani, biaya distribusi dan keuntungan wajar bagi setiap pelaku. Proses perhitungan harga acuan sudah dibahas bersama para pihak, petani, pedagang, asosiasi dan lainnya.
Selanjutnya menanggapi masalah kandungan gizi, Ana menuturkan “Saya kira tidak beda paham mengenai kandungan gizi dan angka kecukupan gizi. Kandungan gizi beras adalah banyaknya gizi yang ada di dalam beras, sedangkan angka kecukupan gizi adalah jumlah harian besarnya zat gizi rata rata yang diperlukan orang dewasa untuk dapat beraktivitas secara normal. Jadi kalau ingin masyarakat beraktivitas normal, maka kandungan gizi yang dikonsumsi harus sama dengan kecukupan gizi” jelasnya
Berkaitan pemberitaan mengenai besarnya beras disimpan gudang perusahaan, “Ya untuk diketahui bahwa jumlah dan kapasitas gudang di Indonesia kan sudah didata oleh Pemerintah. KPPU dan Satgas Pangan juga sudah mempunyai data tersebut dan memonitor perederan beras dari sentra produksi ke konsumen secara harian, ujar Ana.
“Jadi masyarakat jangan terkecoh dengan isu lain, karena intinya adalah ada pembagian keuntungan yang tidak adil antar petani, middleman dan konsumen seperti dikeluhkan sejak lama. Saat ini Satgas Pangan sedang bekerja, jadi ya wajar bila ada yang terganggu bisnisnya”, pungkas Ana.
Berdasarkan SNi Nomor 6128.2015, dinyatakn bahwa standar mutu beras premium dan medium dipengaruhi oleh beberapa parameter, diantaranya derajat sosoh, kadar air, % beras kepala (utuh), % butir patah, % menir, gabah dan parameter lain. Tidak tercantum tentang kandungan gula,indeks glikemik, atau proximat analisis. Selain % kepala, beberapa jenis beras seperti beras pandanwangi, beras hitam, dan organik juga masuk kategori beras premium, melalui SNI yag berbeda.
Kasus IBU bagi kami yang pernah belajar teknologi pangan dan pertanian terlebih rekan yang berkecimpung di perberasan cukup membingungkan. Walau kemendag mengeluarkan Permendag Nomor 27/M-DAG/Per/5/2017 tentang penetapan harga acuan di petani dan harga acuan penjuakan di konsumen, kenyatannya sudah sejak 2 tahun, harga beras medium sekelas Jembar, setra ramos, Dara Solo, menembus angka Rp 11.000/kg, bahkan harga saat ini Rp 12.000/kg. Harga Maknyuss saat ini di pasaran Rp 65.000/5 kg, atau Rp 13.000/kg. Tidak jauh berbeda dengan beras medium merk lain tanpa kemasan plastik (karungan).
Bisakah pemerintah menurunkan harga beras medium yang menjadi pilihan masyarkat kelas menengah kota? Karena sebagian masyarakat sudah nyaman dengan nasi panas, putih, bersih dan pulen walau dengan lauk lalab, sambal, tahu, tempe, dan telur dadar. Daripada memilih beras biasa yang banyak patahan, menir, terkadang bercampur gabah.
Mohon maaf atas kelancangnnya.