Kesenjangan di Persimpangan Jalan

4 komentar

resize

Menurut data resmi yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat ketimpangan yang diukur dengan indeks Gini menurun dalam dua tahun terakhir. Angka terburuk terjadi selama 2011-2014 sebesar 0,41. Pada tahun 2015 turun menjadi 0,40 dan setahun kemudian turun menjadi 0,396. Angka indeks Gini di bawah 0,4 masuk dalam kategori ketimpangan rendah, 0,4-0,5 kategori ketimpangan sedang, dan di atas 0,5 kategori ketimpangan tinggi.

Perlu dicatat, perhitungan BPS berdasarkan data pengeluaran, bukan pendapatan atau kekayaan. Jadi indeks Gini versi BPS sebatas mengukur ketimpangan pengeluaran, bukan ketimpangan pendapatan (income inequality) atau ketimpangan kekayaan (wealth inequality). Tentu saja perhitungan berdasarkan pengeluaran menghasilkan angka ketimpangan jauh lebih rendah ketimbang berdasarkan pendapatan dan kekayaan.

Data distribusi pengeluaran menunjukkan penurunan porsi kelompok 20 persen berpengeluaran tertinggi (top-20) selama tiga tahun terakhir. Sebaliknya, pada kurun yang sama, porsi kelompok 40 persen berpengeluaran menengah (mid-40) naik. Sedangkan kelompok 40 persen berpengeluaran terendah (bottom-40) cenderung stagnan di kisaran 17 persen, bahkan turun pada tahun 2016. Artinya, indeks Gini menurun bukan karena perbaikan nasib bottom-40, melainkan lebih disebabkan pergeseran berlawanan arah antara top-20 dan mid-40.

Cukup banyak indikator menunjukkan penurunan kesejahteraan bottom-40. Pertama, indeks nilai tukar petani merosot dalam dua tahun terakhir. Kemerosotan tajam harga gabah kering di tingkat petani hingga mencapai Rp 2.000 per kilogram belakangan ini lebih memperkuat pembuktian. Upah riil buruh tani juga merosot. Petani dan buruh tani adalah mayoritas di bottom-40. Kedua, upah riil buruh mengalami penurunan secara persisten. Ketiga, jam kerja buruh turun dari sekitar 40 jam per minggu menjadi di bawah 25 jam per minggu. Keempat, mendapatkan pekerjaan lebih lama, dari yang sebelumnya tidak sampai enam bulan menjadi rata-rata lebih dari satu tahun.

Tekanan yang kian berat memaksa anggota keluarga yang tadinya tidak bekerja ikut menyemut di pasar kerja, sehingga tingkat partisipasi angkatan kerja naik cukup tajam dari di bawah 60 persen menjadi di atas 66 persen dalam dua tahun terkahir. Selain itu, mereka harus bekerja lebih keras dan lebih lama. Menurut data Organisasi Buruh Internasional (ILO), 26,3 persen buruh Indonesia bekerja lebih dari 49 jam seminggu– terbanyak ketiga setelah Korea Selatan dan Hong Kong.

Menurunnya porsi top-20 boleh jadi karena kemerosotan harga komoditas seperti batu bara dan hasil tambang lainnya, serta minyak sawit yang didominasi segelintir pebisnis besar. Sejalan dengan membaiknya harga sejumlah komoditas sejak pertengahan 2016, porsi top-20 diperkirakan kembali meningkat. Adapun kenaikan porsi mid-40 bisa dijelaskan oleh pertumbuhan tinggi sektor jasa modern, seperti informasi dan komunikasi, perbankan dan asuransi, kesehatan, pendidikan, serta jasa usaha (konsultan, akuntan, pengacara) yang banyak digeluti oleh kalangan profesional berpendidikan tinggi (lulusan diploma ke atas) yang jumlahnya hanya 14,5 persen dari keseluruhan penduduk bekerja.

Berdasarkan gambaran di atas, agaknya amat sulit menyimpulkan bahwa perbaikan indeks Gini disebabkan oleh kebijakan pemerintah. Apalagi gambaran kondisi ketimpangan jauh lebih parah jika menggunakan data pendapatan dan kekayaan.

Merujuk pada data global yang rutin dipublikasikan oleh Credit Suisse—banyak menjadi acuan lembaga internasional—ketimpangan kekayaan di Indonesia tertinggi keempat di dunia setelah Rusia, India, dan Thailand. Publikasi terbaru tahun 2016 dari lembaga keuangan Swiss ini menunjukkan 1 persen penduduk terkaya Indonesia menguasai 49,3 persen kekayaan nasional, sedangkan 10 persen terkaya menguasai 75,7 persen kekayaan nasional.

Menurut majalah Economist, dua pertiga kekayaan dari penduduk terkaya (billionaires) Indonesia didapat dari sektor kroni yang sarat dengan praktek bisnis pemburuan rente. Berdasarkan indeks kapitalisme-kroni (crony-capitalism index) versi Economist, Indonesia berada di urutan ke-7 terburuk dari 22 negara yang disurvei pada 2016. Peringkat Indonesia pada 2016 memburuk dibandingkan tahun 2007 (ke-18) dan 2014 (ke-8).

Hasil kajian Thomas Piketty yang dituangkan dalam bukunya yang tersohor, Capital in the Twenty-First Century, menggambarkan ketimpangan pendapatan di Indonesia memburuk dan lebih buruk ketimbang India dan China.

Ketimpangan sudah menjadi persoalan dunia, di negara berkembang ataupun negara maju. Indonesia menghadapi masalah yang relatif lebih parah karena penduduk miskinnya masih ralatif banyak. Dari 27,76 juta orang miskin pada September 2016, hampir dua pertiganya berada di perdesaan. Mayoritas mereka adalah petani dan buruh tani.

Ada yang tidak beres dalam proses transformasi struktural di Indonesia. Penurunan peran sektor pertanian dalam produk domestik bruto relatif jauh lebih cepat ketimbang perpindahan tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor non-pertanian, sehingga produktivitas sektor pertanian paling rendah. Sejak 1997, transaksi perdagangan luar negeri produk pertanian mengalami defisit, artinya impor lebih besar daripada ekspor. Penyumbang defisit terbesar adalah komoditas pangan. Nilai ekspor produk pertanian terjun bebas dari US$5,8 miliar pada 2014 menjadi US$ 3,4 miliar pada 2016.

Dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang mengucur deras ke sektor pertanian tidak sebanding dengan peningkatan produksi pertanian. Harga-harga pangan hampir selalu menjadi penyumbang inflasi terbesar. Alih-alih berkontribusi mengangkat bottom-40, sebaliknya sektor pertanian justru kontraproduktif dalam memerangi ketimpangan dan kemiskinan.

Seraya membenahi total sektor pertanian, perlu pula menggalakkan industrialisasi di perdesaan dengan teknologi tepat guna agar pendapatan keluarga tani meningkat lebih cepat. Rantai pasokan ditata dengan menghimpun kekuatan petani menghadapi kaum kapitalis kota yang selama ini menguasai mata rantai perdagangan hasil pertanian. Petani didorong untuk membangun syarikat dagang rakyat sebagai salah satu dari tiga pilar pemberdayaan petani. Dua pilar lain ialah peningkatan produksi dan produktivitas serta lembaga keuangan petani sejenis lembaga keuangan mikro agribisnis, yang telah berkembang pesat di Sumatera Barat.

Senjata ampuh yang tak kalah penting untuk memerangi ketimpangan adalah mengakselerasikan industrialisasi sekaligus mengoreksi transformasi struktural yang kebablasan. Bagaimana mungkin negara yang pendapatan per kapitanya masih rendah—pendapatan nasional bruto per kapita Indonesia tahun 2015 baru mencapai US$ 3.440—telah menjelma sebagai perekonomian jasa. Sejak 2010, peranan sektor jasa mulai melebihi separuh produk domestik bruto dan terus naik hingga mencapai 59 persen pada 2016. Bandingkan dengan China, yang peranan sektor jasanya masih 50 persen pada 2015. Peran industrialisasi sangat besar untuk mewujudkan pembangunan yang inklusif dan pembentuk lapisan kelas menengah yang tangguh.

***

[Dimuat di majalah Tempo, edisi 4604/20-26 Maret 2017, halaman 104-105.]

4 comments on “Kesenjangan di Persimpangan Jalan”

  1. bagus nih bisa buat kritik ke pemerintah, buat masukan mana program yang efektif dan mana yang kurang produktif. saya sebagai orang kecil cuma bisa dukung saja pak sembari melakukan pekerjaan dengan sebaik-baiknya.

  2. KPPU vs Mafia Kartel, Faisal Basri Malah Membela Mafia

    Oleh: Syarif Hadi*

    Semenjak terpilihnya Presiden Jokowi-JK dalam Pilpres 2014, atmosfir semangat dari kalimat “Kerja, Kerja, Kerja” yang didengungkan Presiden Jokowi bisa dikatakan mampu memacu seluruh gerak sektor pemerintahan. Barangkali, baru kali ini dalam sejarah pemerintahan di republik ini, sinergi kerja dan semangat melakukan yang terbaik untuk bangsa terlihat menonjol.

    Satu hal yang cukup kuat tergambar dalam pemerintahan Jokowi-JK adalah munculnya semangat pemberantasan mafia-kartel yang selama ini sangat kuat dan mapan menancapkan belitannya dalam sektor ekonomi dan usaha.

    Diketahui umum bahwa selama ini, jaringan mafia-kartel memang telah demikian mencengkram segala lini usaha, terutama di sektor yang sangat dibutuhkan publik seperti energi, pangan, otomotif dan lain-lain. “Kekuasaan” mafia-kartel ini juga telah membangun jejaringnya disemua level, mulai dari eksekutif, legislative, yudikatif dan bahkan jauh masuk ke akademisi dan intelektual.

    Dengan kekuatan uang, para mafia-kartel ini bisa membeli apa saja dan siapa saja, bahkan para intelektual yang selama ini cukup populer dikalangan publik karena kritikannya.

    Pertanyaannya, mengapa mafia-kartel ini mau memakai ‘tangan’ para inteletual dalam upayanya untuk terus menguasai sendi usaha ekonomi negeri ini?

    Jawabannya sederhana, karena melalui intektual ini “pesan” yang ingin disampaikan mampu mempengaruhi publik dengan cepat. Para mafia-kartel ini sangat paham bagaimana psikologii publik yang hampir selama 32 tahun dicengkram kekuasaan Orde Baru yang demikian membatasi kebebasan berpendapat, sangat “memuja’ public-opinion yang vocal dan kritis.

    Dengan demikian, mafia-kartel ini dengan sadar sangat membutuhkan para intelektual yang mau “melacurkan dirinya” untuk dipakai dalam mempengaruhi opini publik.

    Dalam upaya untuk terus melawan sepak terjang penguasaan mafia-kartel ini, sebuah lembaga independen (dalam bentuk komisi) lahir dalam rahim Orde Reformasi; Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dengan sebuah tugas berat mengawasi pelaksanaan UU No.5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat

    Sejak dipimpin oleh Syarkawi Rauf, kiprah lembaga independen ini cukup menarik perhatian publik. Sepak terjangnya dalam membongkar praktek-praktek monopoli dan membuka jejaring mafia-kartel cukup eksplosif. Dalam catatan dari berbagai media, bisa dilacak bagaimana kiprah KPPU saat ini yang dianggap publik cukup bertaring dan bernyali besar.

    Namun yang terasa agak janggal adalah ketika upaya keras KPPU memberantas mafia-kartel ini, kritikan pedas justru datang dari seorang Faisal Basri yang ironisnya pernah menjabat komisioner KPPU. Realitas ini memang terasa ‘aneh’ bahhkan sedikit ajaib. Apalagi bila dibandingkan dengan lembaga independen lainnya semisal Komisi Pemberantasa Korupsi (KPK) di mana semua mantan pejabat pimpinannya terus mendukung upaya lembaga ini atau minimal tidak berkomentar terkait sebuah kebijakan yang tengah dilakukan lembaga tempat mereka pimpin dulu.

    Berikut ini adalah sedikit catatan tentang sepak terjang Faisal Barsi yang mengeritik tajam KPPU dalam berbagai berita media-massa.
    1. Faisal Basri mengeritik KPPU yang tengah memperjuangkan Amandemen UU KPPU

    Link: http://industri.bisnis.com/read/20160808/12/572904/faisal-basri-kritik-amedemen-uu-persaingan-usaha-ini-jawaban-kppu
    2. Upaya KPPU untuk memberantas mafia kartel ayam dengan menghentikan Apkir Dini dianggap Faisal Basri sebagai sebuah kesalahan besar, Katanya, Kebijakan kebijakan pemerintah tak bisa diperkarakan

    Link: http://www.solopos.com/2016/08/04/kartel-daging-ayam-bela-apkir-dini-faisal-basri-kebijakan-pemerintah-tak-bisa-diperkarakan-742362?fb_comment_id=1465866520105874_1466017750090751

    3. Dalam kasus dugaan kartel oleh Yamaha, Faisal juga berpendapat bila KPPU sangat ceroboh dalam memutus dugaan kartel Yamaha karena fenomena price paralelisme tidak berarti disebabkan oleh adanya praktek kartel

    Link: https://7leopold7.com/2017/02/21/ketidak-hatihatian-kppu-dalam-memutus-dugaan-kartel-yamaha-honda/

    Kegemaran Faisai mengeritik langkah KPPU yang saat ini dikomandani komisioner Syarkawi Rauf dalam upayanya menegakkan keadilan dalam persaingan usaha serta memberantas mafia dan kartel bisa membawa sedikitnya 2 arti dan makna.

    Pertama, dalam takaran analitik kausalitas, bisa diambil dugaan bila kritik Faisal Basri pada sepak terjang KPPU memuat unsur kepentingan tertentu. Dalam hal ini kesan pembelaan Faisal Basri tersebut itu adalah “suara para mafia” yang saat ini sedang “ketakutan” dengan kiprah tegas KPPU.

    Dugaan ini sangat beralasan mengingat pembelaannya terhadap mafia- kartel cukup kencang dan tajam serta terpola. Semacam ada rancangan khusus yang secara sistematis ingin mematikan langkah-langkah KPPU. Fenomena ini cukup terbaca karena Faisal Basri justru dikenal publik sebagai ekonom yang berfikiran progresif, tapi dalam kasus-kasus mafia kartel yang ditangani KPPU, dia cenderung sangat defensive dan bersikap konservatif, bahkan cenderung lebay dalam pembelaannya.

    Kedua, Kegetolan Faisal Basri dalam “mengejek” langkah KPPU justru sangat mengherankan mengingat sebelumnya, Faisal pernah menjabat sebagai komisioner KPPU dan sejatinya pasti juga memahami bahwa ‘gurita’ kekuasaan mafia-kartel di negeri ini sama-sebangun dengan ‘gurita’ korupsi yang memang memerlukan langkah tegas yang extra-ordinary.

    Dugaan ini memang menguat karena ketika menelisik jejak kiprah Faisal Basri selama menjabat komisioner KPPU, bisa dikatakan terlihat sangat melempem dan loyo.Tak sekalipun terdengar sebuah gebrakan signifikan dalam upayanya memberantas mafia-kartel ini. Padahal, masyarakat sudah sangat paham ‘gurita’ mafia-kartel dalam sektor usaha di negeri ini telah demikian mapan sejak zaman Orde Baru dulu.

    Dengan demikian, apa yang dilakukan oleh Faisal Basri dengan kecenderungannya ‘membela’ para mafia-kartel dan sedikit banyak menghambat kinerja KPPU memang pantas dipertanyakan.

    Dalam sepintas lalu, masyarakat mungkin banyak berdecak kagum dengan gaya ‘vokal‘ seorang Faisal Basri ketika dengan ‘tajam’ mengeritik sesuatu. Namun di sanalah letak bahayanya karena bisa saja image (citra) sosok Faisal Basri yang terlanjur dikenal sebagai seorang intelektual yang vocal dan kritis justru dipakai untuk melakukan sesuatu yang bersifat kepentingan pribadi atau kepentingan pesanan dari seseorang atau sebuah kelompok.

    Di sinilah publik perlu sedikit waspada dengan sepak terjang kritik yang dilontarkan oleh Faisal Basri. Karena bangsa kita saat ini justru lebih membutuhkan sosok eksekutor dan pekerja yang cerdas dan solutif, bukan seorang pengeritik seperti pada zaman Orde Baru di mana kebebasan berpendapat memang sangat dibatasi,

    Saat ini saatnya seluruh elemen bangsa dituntut bersinergi dalam kerja keras menghadapi tantangan global yang lebih sulit serta kompleksitas permasalahan bangsa, daripada seorang pengeritik yang handal tapi tak mampu menunjukkan prestasinya yang konkret pada publik dalam kerja membangun bangsa. (*)

    *Penulis: Pemerhati Persaingan Usaha

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.