Presiden Joko Widodo sudah lama geram mengapa harga gas di Indonesia relatif mahal. Pertemuan, rapat lintas sektoral, koordinasi lintas instansi tak kunjung membuahkan hasil.
Presiden Jokowi sempat mengultimatum agar harga gas segera bisa turun, khususnya untuk industri strategis. Untuk memenuhi harapan Presiden, digelarlah pertemuan intensif di KM Kelud. Memang pertemuan itu bukan cuma membahas soal gas, karena di kapal itu juga hadir ratusan bos BUMN.
Pertamina dan PGN akhirnya menandatangani kesepakatan untuk bersinergi “total” untuk meningkatkan pemanfaatan gas agar daya saing perekonomian kita semakin meningkat. Kesepakatan itu merupakan wujud nyata dari komitmen dua BUMN yang sama-sama merupakan anak kandung Republik. BUMN ada karena memliki kesamaan visi memajukan Negeri, bukan sekedar mencari keuntungan sebesar-besarnya.
Belum sempat ditindaklanjuti, muncul konsep holding migas. Sedemikian cepat perubahan dari waktu ke waktu. Mengapa tidak diberikan kesempatan kepada kedua BUMN itu untuk mewujudkan kesepakatan yang mereka telah tanda tangani? Bukankah menteri BUMN juga hadir dalam pertemuan di KM Kelud? Lihat Rini Soemarno dan Seratusan Bos BUMN Rapat di Kapal Pelni.
Faisal Basri is currently senior lecturer at the Faculty of Economics, University of Indonesia and Chief of Advisory Board of Indonesia Research & Strategic Analysis (IRSA). His area of expertise and discipline covers Economics, Political Economy, and Economic Development.
His prior engagement includes Economic Adviser to the President of Republic of Indonesia on economic affairs (2000); Head of the Department of Economics and Development Studies, Faculty of Economics at the University of Indonesia (1995-98); and Director of Institute for Economic and Social Research at the Faculty of Economics at the University of Indonesia (1993-1995), the Commissioner of the Supervisory Commission for Business Competition (2000-2006); Rector, Perbanas Business School (1999-2003).
He was the founder of the National Mandate Party where he was served in the Party as the first Secretary General and then the Deputy Chairman responsible for research and development. He quit the Party in January 2001. He has actively been involved in several NGOs, among others is The Indonesian Movement.
Faisal Basri was educated at the Faculty of Economics of the University of Indonesia where he received his BA in 1985 and graduated with an MA in economics from Vanderbilt University, USA, in 1988.
Lihat semua pos dari faisal basri
1 comments on “Mempertanyakan Konsep Holding Migas”
Suatu ironi bangsa penerus NKRI yg tdk bisa memahami bisnis migas ? Kenapa jaman orba lebih terarah dan tertata lebih baik dimana NKRI tetap mendapatkan majority keuntungan dan semua proyek migas berjalan sesuai rel nya pasal 33 UUD 1945 ? Karena punya GBHN dan Repelita yg di usulkan oleh Pemerintah kemudian disahkan oleh DPR/MPR dng baik dan konsekwen bersinergi. Sekarang banyak kepentingan yg tdk bisa dibendung dikarenakan dibiarkan demokrasi liberal bukan demokrasi terpimpin yg musyawarah dan mufakati melalui perwakilan di lembaga Legislative yg hanya terdiri 3 partai saja. Dari insan yg telah menikmati jaman perjuangan, orde lama, orde baru, reformasi yg kebablasan.
Suatu ironi bangsa penerus NKRI yg tdk bisa memahami bisnis migas ? Kenapa jaman orba lebih terarah dan tertata lebih baik dimana NKRI tetap mendapatkan majority keuntungan dan semua proyek migas berjalan sesuai rel nya pasal 33 UUD 1945 ? Karena punya GBHN dan Repelita yg di usulkan oleh Pemerintah kemudian disahkan oleh DPR/MPR dng baik dan konsekwen bersinergi. Sekarang banyak kepentingan yg tdk bisa dibendung dikarenakan dibiarkan demokrasi liberal bukan demokrasi terpimpin yg musyawarah dan mufakati melalui perwakilan di lembaga Legislative yg hanya terdiri 3 partai saja. Dari insan yg telah menikmati jaman perjuangan, orde lama, orde baru, reformasi yg kebablasan.