Ketika dilantik, Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla hanya bermodalkan dukungan minoritas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yaitu 37 persen dari keseluruhan kursi. Empat partai pendukung sejak awal yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH) adalah PDI-P, Partai Nasdem, PKB, dan Hanura. PKP yang juga merupakan angora KIH tidak bisa masuk DPR karena tidak memenuhi parliamentary threshold. Nasib serupa dialami PBB yang merupakan anggota Koalisi Merah Putih (KMP) yang mendukung pasangan Prabtowo-Hatta. Angola KMP yang lolos ke DPR adalah Partai Gerindra, PAN, PKS, PPP, Partai Golkar. Posisi PD tidak jelas tetapi perilakunya di DPR cenderung di pihak oposisi.

Namun, sejak awal kita, termasuk saya, sudah menduga dalam waktu tidak terlalu lama peta politik bakål berubah. Menjadi oposisi berarti akses terhadap logistik tersumbat, membuat pimpinan partai terancam digoyang.
Benar adanya. Salah satu kubu PPP yang bertikai mendeklarasikan bergabung dengan KIH. Kubu pendukung pemerintah menang dalam muktamar dan hingga kini mendukung pemerintah walaupun tidak memperoleh tambahan posisi menteri pada perombakan kabinet pertama dan kedua. Keberadaan Menteri Agama yang merupakan kader PPP sudah ada sejak awal pembentukan kabinet.
PAN menyusul bergabung secara resmi setelah pergantian ketua umum. Golkar demikian pula, setelah memilih ketua umum baru pada Kongres di Bali beberapa bulan lalu. Bahkan tak tanggung-tanggung, pengurus baru Golkar telah mengusung Jokowi sebagai calon presiden pada pemilihan umum 2019 mendatang.
Kini Jokowi-JK menikmati dukungan mayoritas mutlak di DPR. Kekuatan dukungan di DPR berbalik dari 37 persen menjadi 69 persen. Semakin kuat lagi menging potensi kekuatan oposisi melemah. PKS tidak lagi segarang sebelumnya pasca pergantian pimpinan puncak partai. Wakil Ketua DPR dari PKS yang sangat vokal terhadap Pemerintah disingkirkan. Presiden PKS telah bertandang ke Istana. Partai Demokrat sejak awal mengesankan berada di “tengah” dengan Ketua Umumnya sesekali mengritik pemerintah lewat akun twitternya.
Andaikan PDI-P menarik dukungan karena kerap dikecewakan oleh Jokowi, posisi dukungan di DPR berkurang menjadi 49,5 persen. Rasanya relatif mudah menjaga dukungan mayoritas di DPR dengan mengajak PKS dan atau PD. Juga, terbuka kemungkinan Partai Gerindra untuk bergabung. Kalau demikian, bisa jadi PDI-P akan kesepian sebagai oposisi. Pilihan itu tentu saja teramat mahal buat PDI-P. Langkah apa pun yang dipilih oleh PDI-P sangat ditentukan oleh Ibu Megawati.

Fungsi checks and balances melemah. Apa pun yang diajukan pemerintah bakal lebih mulus di DPR. Rongrongan dari tentara relatif kecil, tidak seperti di Turki dan Mesir. Beberapa elemen civil society yang sejak Orde Baru sangat kritis sudah berada di pussarna kekuasaan. Semua itu berpotensi membuat pematangan demokrasi terhambat.
Konsesi harus lebih banyak diberikan kepada para pendukung. Jabatan dibagi-bagi. Praktek pemburuan rente kian kentara. Proses tender diintervensi. Pemilihan proyek tidak lagi berdasarkan pertimbangan terbaik (first best). Pragmatisme kian mengemuka.

Untuk menghasilkan tambahan satu unit output diperlukan lebih banyak tambahan modal. Incremental capital output ratio berpotensi naik. Sehingga, untuk menggenjot pembangunan infrastruktur lebih banyak dibutuhkan modal, yang tidak bisa didukung oleh tambahan penerimaan pajak dengan kecepatan yang sama. Kalau dipaksakan, utang harus lebih banyak. Akibatnya suku bunga naik, inventassi swasta terdesak (crowding out). Target pertumbuhan rata-rata 7 persen dalam RPJM 2015-2019 kian sulit tercapai.
Namun, saya masih berharap ada segelintir pembantu presiden yang terus memperjuangkan perubahan mendasar. Juga unsur-unsur di luar pemerintahan yang tak jemu-jemu bersuara untuk mendorong perubahan mendasar itu. Jika tidak, ancaman middle income trap banal kian di dopant mata.
Ketika merayakan Indonesia Emas (silakan tengok Escaping the Middle Income Trap in Indonesia) tahun 2045, kita mewariskan beban yang sangat berat kepada generasi mendatang untuk mewujudkan Indonesia yang sejahtera dan berkeadilan.
Menurut pengalaman saya pribadi, PDIP tidak sebesar yg diperkirakan orang. Pdip memenangkan pemilu banyak dipengaruhi pemilih yg memilh Jokowi. Saya pribadi ikut memilih Pdip pada pemilu lalu ya gara2 ikut memilih Jokowi. Aslinya saya tidak simpati dg perilaku elit Pdip.
Dengan begitu pun, PDI-P sebagai pemenang pemilu hanya memperoleh 19 persen suara sah.