
Kompas Cetak | 3 Maret 2016 | Hal. 18
JAKARTA, KOMPAS — Target swasembada garam dinilai tidak efektif untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Ini karena target swasembada dan penutupan impor garam tidak diimbangi dengan efisiensi produksi dan peningkatan daya saing.
Demikian dikemukakan pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Faisal Basri, Rabu (2/3), di Jakarta. Swasembada garam konsumsi yang telah dicapai sejak 2012 terbukti tidak mampu meningkatkan taraf kesejahteraan petani. Harga garam di tingkat petani terus anjlok di bawah harga pembelian pemerintah (HPP) garam. Untuk garam industri, pemerintah menargetkan, swasembada bisa tercapai pada 2017.
Faisal menilai, upaya swasembada garam konsumsi dan industri yang berlangsung saat produksi garam rakyat belum efisien dan berdaya saing hanya akan berujung memiskinkan petani. Produktivitas petani garam masih rendah, produksinya juga tidak efisien. Akibatnya, harga garam dari petani tidak mampu bersaing dengan garam impor.
Di sisi hilir, tata niaga garam hancur karena HPP garam gagal terlaksana. Hingga kini, tidak ada kebijakan mekanisme dana talangan untuk menyerap garam rakyat. “Industri hulu garam harus segera dibenahi dengan membuat skala produksi yang ekonomis,” ujar Faisal.
Sementara itu, belum terlihat upaya pemerintah menyediakan fasilitas pengolahan garam rakyat untuk menghasilkan produk keperluan konsumsi dan industri, seperti produksi makanan dan minuman, pengeboran minyak, farmasi, serta garmen.
Terobosan
Menurut Faisal, terobosan di sisi hulu dapat dilakukan dengan mendorong produktivitas dan perluasan lahan garam. Fungsi PT Garam perlu direvitalisasi agar berhenti menjadi produsen garam dan fokus pada pengolahan garam rakyat. Dengan demikian, BUMN garam tersebut bisa menyerap garam rakyat dan mengolahnya menjadi produk bernilai tambah.
Selama ini, peran PT Garam sebagai produsen sekaligus badan penyangga garam terbukti tidak efektif memperbaiki harga garam rakyat. Sebaliknya, BUMN garam ini justru bersaing dengan petani garam dalam produksi dan pemasaran.
Secara terpisah, Direktur Utama PT Garam Achmad Budiono mengemukakan, pembangunan fasilitas pengolahan untuk menghasilkan kualitas garam industri sulit dilakukan. Hal itu karena biaya produksi garam belum efisien dan harganya lebih tinggi ketimbang garam impor. Selisih harga garam nasional kualitas industri dengan garam industri yang diimpor dari Australia ditaksir Rp 245 per kilogram.
“Penyediaan fasilitas pengolahan garam untuk menghasilkan garam kualitas industri membutuhkan campur tangan pendanaan pemerintah,” ujar Achmad.
Hingga saat ini, kebutuhan garam untuk industri manufaktur mencapai 1,7 juta ton per tahun dan sepenuhnya diimpor. (LKT)
Sumber: http://print.kompas.com/baca/2016/03/03/Revitalisasi-Garam-Nasional-Mendesak