Dana Aditiasari – detikfinance
Rabu, 02/03/2016 20:09 WIB

Jakarta -Upaya pemerintah menekan volume impor untuk mencapai swasembada pangan dinilai dapat memicu kenaikan harga bahan pangan. Bukan hanya itu, Swasembada yang dipaksakan pun dikhawatirkan dapat mengakibatkan jumlah masyarakat miskin bertambah.
“Buruh itu sekitar 1/3 pengeluarannya untuk makan. Kalau impor dibatasi karena alasan swasembada, maka harga pangan jadi naik. Kalau harga pangan naik, orang jadi nggak bisa beli makanan,” tutur Ekonom Faisal Basri ditemui di Tea Addict, Jakarta, Rabu (2/3/2016).
Bila harga pangan makin tinggi, maka pengeluaran untuk kebutuhan pangan juga ikut meningkat. Akibatnya, porsi pengeluaran untuk kebutuhan lain pun menjadi menurun. Daya beli masyarakat untuk keperluan lain juga akan menurun.
Kondisi seperti ini yang dapat mengakibatkan jumlah masyarakat miskin bertambah.
“Makin tinggi harga makanan, makin banyak orang miskin karena dia nggak sanggup beli makan. Begitulah kenapa angka kemiskinan bisa naik,” tandasnya.
Faisal menambahkan, perlu ada perubahan cara pandang terkait penyediaan pangan bagi masyarakat. Menurutnya, ketahanan pangan lebih penting dari swasembada pangan.
“Food security itu lebih penting dari swasembada,” tutur dia.
Menurutnya, yang dimaksud ketahanan pangan adalah negara menjamin warga negaranya mudah memperoleh akses pangan. Bukan hanya mudah, tetapi juga murah.
Faisal menuturkan, dalam hal penyediaan pangan Indonesia bisa belajar dari negara tetangga, Singapura.
“Singapura tidak memproduksi pangan, tapi food security indeksnya nomor 5 di dunia. Indonesia malah peringkat 74,” tuturnya.
Menurutnya, bila pemerintah masih memaksakan swasembada pangan namun tidak menyelesaikan permasalahan produksi pangan di dalam negeri, maka masyarakat juga yang akan dirugikan. Pasalnya, karena harga pangan jadi mahal dan sulit dijangkau oleh masyarakat terutama mereka yang berpenghasilan rendah.
“Peringkat kedaulatan pangan itu bukan bergantung pada swasembada, tapi pada seberapa mudah masyarakat memperoleh akses pangan. Kelaparan bukan karena beras nggak ada, tapi karena masyarakat nggak bisa beli beras,” tegas dia.
(dna/hns)
Sumber: http://de.tk/6dQ6G9
Jika ketahanan pangan tidak sama dengan swasembada pangan, maka impor adalah salah satu solusinya. Namun, pada saat yang sama, impor berpotensi mempertinggi ketergantungan pangan pada negara lain. Juga, muncul para broker/pencari rente. Bukankah pada akhirnya hal ini juga akan mempengaruhi ketahanan pangan?. Dilematis, solusinya menurut Pak Faisal Basri bagaimana?
Urun rembug, Memang musti ada rencana strategi jangka panjang bangsa indonesia yg tak berubah2 menurut kemauan subyektif masing2 rezim(eksekutif maupun legislatif). Demi negara & bangsa hanya sebatas dokumen dan kampanye serta perdebatan saja, melegitimasi diri sendiri.
Yg berlangsung sejak 1945 adalah kebijakan atau PP yg berubah2 dikarenakan produk dari mental feodal, korupsi, hasrat populis, ABS, juga pejabat yg terlalu idealis maupun yg terlalu pragmatis.
Bentuk Satu Dewan Pangan melibatkan pakar pangan, pertanian, perikanan, sosiology, ecology dan ekonom duduk bersama, membuka & mengkoordinir diskusi nasional (utk melibatkan masyarakat yg belum masuk dalam dewan ) menyusun – blue print – strategi jangka panjang bagaimana mencapai target dgn program kerja yg cocok dgn geografi, potensi & karakter bangsa indonesia.
UU yg memayungi blue print tsb agar “sulit” diubah2 menurut rezim yg berkuasa.
Sepakat sepenuhnya. Terima kasih banyak