Gembar gembor swasembada pangan dan peningkatan produksi sejumlah produk pertanian patut dipertanyakan. Logikanya, kalau produksi meningkat cukup signifikan, harga setidaknya tidak naik, apalagi kalau sudah swasembada.
Kenyataan menunjukkan dalam empat bulan terakhir, andil kelompok bahan makanan terhadap inflasi sangat dominan, rata-rata sekitar 50 persen. Pada bulan Mei andil bahan makanan terhadap inflasi sebesar 56 persen. Bulan berikutnya naik menjadi 61,1 persen. Bulan Juli turun mnjadi 43 persen, namun pada bulan Agustus naik lagi menjadi 48,7 persen.
Pada bulan Agustus, komoditas bahan pangan yang paling dominan memberikan andil terhadap inflasi adalah daging ayam ras, beras, cabai rawit, telur ayam ras, dan daging sapi.
Penyumbang dominan pada bulan Juli juga hampir sama: daging ayam ras, beras, daging sapi, dan cabai rawit. Sedangkan pada bulan Mei yang dominan adalah daging ayam ras dan telur ayam ras.
Seandainya harga bahan makanan stabil, inflasi hanya sekitar separuh dari tingkat sekarang, yang pada bulan Agustus mencapai 7,18 persen (year-on-year).
Adalah bahan makanan pula, oleh karena itu, yang turut menyumbang terhadap pelemahan rupiah, karena pada dasarnya nilai tukar suatu mata uang merupakan cerminan dari daya beli relatif. Jika inflasi kita lebih tinggi ketimbang negara-negara tetangga, maka kemerosotan nilai tukar kita bakal lebih tajam ketimbang negara tetangga.
Dibandingkan dengan negara tetangga ASEAN, inflasi kita paling tinggi, terhadap Vietnam sekalipun.
Article nya menarik, kenapa bisa begitu naik bahan makanan pokok di negri kita ini ?
Pemerintah tampaknya salah diagnosis. Pemerintah yakin produksi melebihi kebutuhan, sehingga melarang atau membatasi impor dengan mengnakan kuota.
apakah produksi lokal bisa mencukupi?? seperti daging sapi misalnya…
Tentu saja produksi local tidak mencukupi, mengingat buah-buahan tidak panen sepanjang tahun. Setidanya kita bias surplus: ekspor lebih besar dari impor.