Saya mengenal Dasep sudah cukup lama. Ia sosok nasionalis sejati. Ingin melihat negerinya maju lewat akselerasi industrialisasi. Beragam komponen otomotif sudah dia hasilkan. Dengan darah dan keringat, nyaris tanpa bantuan pemerintah.
Malahan, pemerintah kerap “menggangu” derap langkahnya. Dengan keterbatasan industri penunjang, Dasep berjibaku bersaing dengan komponen otomotif impor yang bebas bea masuk. Padahal, komponen yang dihasilkan Dasep butuh bahan baku impor yang dikenakan bea masuk sekitar 5 persen sampai 15 persen. Ia pun harus membayar PPN impor dan PPh bayar di muka. Berarti, Dasep harus menyediakan modal kerja lebih banyak ketimbang importir. Modal kerja yang Dasep pinjam dari bank bunganya belasan persen.
Kalau Dasep hendak melindungi produknya agar tidak gampang dijiplak, ia harus mendaftarkan produknya agar dapat hak paten. Belum lagi kalau hendak mendapatkan SNI. Semua pakai ongkos yang tidak murah. Butuh waktu yang lama pula.
Kebijakan pemerintah sungguh sangat menyulitkan industriawan sejati seperti Dasep. Kebijakan pemerintah lebih mendorong perkembangan pedagang atau importir.
Dasep maju terus. Ia melangkah hendak menghasilkan mobil buatan dalam negeri, mobil listrik. Impiannya bersambut. Dahlan Iskan, yang waktu itu Menteri BUMN, mendukung gagasannya. Pembiayaan didukung oleh beberapa BUMN.
Hasilnya tentu jauh dari sempurna, masih jauh dari produksi komersial. Baru sebatas uji coba.
Ketika penyidik Kejaksaan Agung mencoba sejauh 30 km, mobil itu tidak kuat menanjak dan cepat panas (lihat “Tersangka Kasus Mobil Listrik Ditahan,” Kompas, 29 Juli 2015, hal. 4 dan tempo.co bit.ly/1IHdnhz). Ia kemarin ditahan oleh Kejaksaan Agung. Apa aparat kejaksaan Agung tidak pernah nonton laga F1 yang pembalap-pembalapnya sering mengalami berbagai macam masalah mesin sampai ban sehingga harus keluar dari sirkuit. Padahal mobil-mobil itu dibuat oleh pabrik mesin atau pabrik mobil terkemuka di dunia. Miliaran dollar dihabiskan untuk menghasilkan mesin-mesin atau mobil-mobil terunggul lewat riset bertahun-tahun tanpa henti. demikian juga mobil pada umumnya, apalagi mobil listrik yang mash tergolong langka.
Dasep hanya menghabiskan Rp 2 miliar per mobil. Sekali mencoba harus jadi sempurna. Dasep bukan malaikat. Nasionalisme yang menggebu membuat ia menerima tantangan menghasilkan mobil listrik. Ia tidak mencari untung dari proyek mobil listrik yang menjeratnya.
Dan, sekarang Dasep mendekam di penjara. Mejadi tersangka.
Dasep bukan public figure. Tapi bukan karena itu kita diam saja.
preseden buruk….miris sekali bang
Membuat miris sekali.
Terlepas dri pro kontra yang ada, menurut saya merubah mesin internal combustion mobil Alphard menjadi mobil listrik tentunya tidak bisa dibenarkan secara hukum.
Padahal kita, (saya rasa) sudah memulai start awal yg bagus utk mengembangkan mobil listrik yg (mungkin) di masa depan bisa kita banggakan. Kita sudah kalah dalam pengembangan mobil/motor bensin dan pesawat pun mentok hanya di era mantan Presiden ketiga, Pak Habibie. Apa iya kita harus legowo (lagi) dgn kegagalan dlm memunculkan mobil listrik dengan brand Indonesia secara masif? Padahal mimpi itu sudah mulai ditapaki oleh beberapa nasionalis seperti Bung Dasep maupun Ricky Elson sang “Putra Petir” sedikit demi sedikit
Aneh memang, saya kita bukan hanya seorang Dasep, banyak lagi Dasep-Dasep yang lain dan bahkan lebih buruk lagi masibnya. Apakah nanti akan ditangkap juga kalau ada Dasep lain yang …………..”Go International”.
Indonesia baru cuma jadi negara pasar yg memikat, belum (atau tidak mau?) jadi negara industri yg memproduksi, menguasai negeri sendiri (gak usah ngomong go internasional dulu). Indonesia cuma mau membeli bahkan dengan utang. Merkeringat, berdarah lalu menyerahkan uangnya untuk bangsa lain.. Miris..
Makanya indonesia ga maju2 sedikit2 tersangka …nilai niatnya dong….apa mau memperkaya diri atau nggak…kalau yg namanya menciptakan inovasi ya bisa sukses jg bisa gagal…trus kalau gagal haruskan dipenjara….?
Reblogged this on f * w o r L d and commented:
ada yang bisa menjelaskan ini??
“Terlepas dri pro kontra yang ada, menurut saya merubah mesin internal combustion mobil Alphard menjadi mobil listrik tentunya tidak bisa dibenarkan secara hukum.”
Bener . Kalo tetep mencantumkan merk tsb di kendaraan yg audah dirubah .
Kenapa di Negri China , para inopasi yang membuat suatu benda yang menguntungkan di LINDUNGI oleh PEMERINTAH nya , bukan dipenjara walaupun Dia meniru nya
Hukum kita dan “penegaknya” perlu pembenahan
Punya ide brilliant tidak ada gunanya di Indonesia. Kalau tidak menguntungkan secara pribadi kepada pejabat terkait, jangan harap sukses. Saya juga pernah merasakan, untuk proyek pembangkit listrik di dataran rendah, yang insyaAllah dapat mengatasi krisi energy nasional. Gubernur Sumut, pak Gatot cukup baik responnya. Tapi saat mengurus perizinan….wahhh..minta ampun..
Rudi Fandi
rafandi2007@yahoo.com
Expert jugdment diperlukan pada kasus INI. Ahli hukum saja tidak cukup. Kalau tidak, negara INI tidak akan maju. Siapa yang berani Jadi inventor.
Para insan pers,.. tolong minta komentar Tuan Joko Widodo yang pernah menggadang-gadang mobil esemka tentang kasus ini, mudah2an beliau jujur menjawabnya.
Saya pernah menulis tentang sesat piker esemka