
Pemerintah akan segera menaikkan tarif jalan tol secara nasional. Tarif tol lebih leluasa diubah setelah tidak lagi ditetapkan oleh presiden dengan Keppres, melainkan cukup dengan keputusan menteri. Investor jalan tol dijamin bisa menikmati kenaikan tarif tol setiap dua tahun sekali.
Para operator jalan tol selalu berhujah ongkos operasional selalu naik, jadi tarif harus selalu disesuaikan, setidaknya mengikuti laju inflasi. Alasan lain yang kerap digunakan adalah agar pelayanan lebih baik.
Ada yang ganjil dalam penentuan tarif tol. Mari kita lihat dengan menggunakan metode yang lazim dalam evaluasi proyek. Jalan tol yang sudah beroperasi tentu saja telah dipandang feasible berdasarkan perhitungan analisis maslahat-kos (cost-benefit analysis)
NPV = (B – C)i / (1 + r)n
NPV = net present value, B = benefit , C = cost, r = interest rate, i = tahun 1, 2, 3, … n.
B = P x Q,
yang mana P adalah price per unit dan Q adalah quantity.
Dalam kasus jalan tol, B adalah pendapatan operator jalan tol, yang merupakan hasil perkalian antara P (tarif jalan tol) dan Q (jumlah atau volume kendaraan yang masuk jalan tol. C adalah cost yang terdiri dari fixed cost dan variable cost.
Dalam penentuan tarif tol di Indonesia, yang menjadi acuan hanya cost (C). Hujah yang diajukan semata-mata kenaikan ongkos produksi.
Padahal untuk hampir semua kasus, asumsi volume kendaraan yang masuk jalan tol tak pernah diutik-utik. Dalam kenyataan, volume kendaraan yang masuk jalan tol hampir selalu di atas atau jauh di atas asumsi yang tertera di dalam feasibility study.
Seharusnya besarnya selisih antara realisasi kendaraan yang masuk jalan tol dengan asumsi di dalam feasibility study bisa menjadi faktor pengurang tingkat kenaikan tarif. Bahkan bisa saja tarif tol justru turun.
Faktor volume kendaraan ini dimasukkan dalam perhitungan penyesuaian tarif (bukan otomatis naik) di banyak negara.
Konsumen hanya bisa pasrah Pak
Harusnya negara yang melindungi konsumen atau rakyatnya. Inilah susahnya kalau pemerintah pakai jargn terus, misalnya public-private partnership.
Setahu saya, kata kuncinya dalam UU adalah kata “boleh”. Lalu kata itu diterjemahkan sebagai “harus”, dan lalu menjadi hak yang selalu ditagih oleh pengusaha. Ini pasti buah dari “kecerdikan” penyusun RUU, dikombinasikan dengan kurang jelinya anggota DPR. Di atas semua itu, ada kecenderungan kita untuk selalu mendewakan investor, karena mendatangkan lapangan kerja. Tanpa disadari dewa penolong itu sebenarnya adalah dewa maut yang menyamar.
Terima kasih banyak untuk komentarnya yang sangat menyentuh.