Kemajuan suatu negara sangat ditentukan oleh tingkat produktivitas perekonomian. Secara sederhana bisa dirumuskan sebagai berikut:
Q/L = Q/K x K/L
yang mana Q adalah output nasional atau lazimnya produk domestik bruto (PDB), L adalah labor atau jumlah tenaga kerja, K adalah jumlah modal atau kapital (capital).
Persamaan di atas menunjukkan dua unsur penentu produktivitas. Pertama, Q/K yang menunjukkan tingkat efisiensi modal. Kedua, K/L yang merupakan nisbah modal terhadap pekerja. Karena K di penyebut dan K di pembilang bisa dicoret, maka hasilnya adalah Q/L.
Q/L menunjukkan produktivitas pekerja, yaitu berapa banyak setiap pekerja menghasilkan output.
Negara yang produktivitasnya tinggi bakal unggul dalam persaingan internasional, nilai tukar mata uangnya cenderung menguat, dan kesejahteraan rakyatnya relatif tinggi.
Produktivitas perekonomian sangat ditentukan oleh kualitas pekerja. Ada pun kualitas pekerja sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya manusianya, yang ditopang oleh dua faktor utama yaitu pendidikan dan kesehatan.
Soal pendidikan bisa dilihat pada tulisan bertajuk “Sesat Pikir Pendidikan” (http://wp.me/p1CsPE-fx). Tulisan ini mengulas dengan ringkas kondisi kesehatan.
Pengeluaran untuk kesehatan dalam persentase terhadap PDB di Indonesia tergolong sangat rendah, bahkan lebih rendah ketimbang Laos sekalipun. Bagaimana mungkin rakyat produktif kalau pengeluaran untuk kesehatan sedemikian kecil.
Tentu saja rakyat kebanyakan tak sanggup mengalokasikan pendapatannya untuk biaya kesehatan, mengingat pendapatan nasional kotor per kapita kita masih relatif rendah, yaitu sebesar 3.420 dollar AS. Namun mengapa pengeluaran untuk kesehatan di Vietnam jauh lebih tinggi, yaitu 6,8 persen dari PDB?
Pemerintah di sejumlah negara berkembang tak menunggu sampai rakyatnya lebih sejahtera. Mereka sadar justru pengeluaran untuk kesehatan dalam tingkat yang patut bakal menyehatkan rakyatnya dan memacu produktivitas. Negara menjadi ujung tombak. Sebagian besar dana kesehatan dipompakan dari APBN.
Di Indonesia, dalam 10 tahun terakhir pengeluaran untuk public health rata-rata hanya sekitar 1 persen. Tahun 2010 naik menjadi 1,3 persen.
Kita tak perlu meniru Amerika Serikat yang sistem pembiayaan kesehatannya sangat mahal karena sektor swasta sebagai tulang punggung, bukan public health. Presiden Obama berupaya keras untuk merombaknya.
Yang paling besar komitmen negara dalam pembiayaan kesehatan adalah negara-negara Skandinavia, seperti Norwegia dan Swedia. Juga negara-negara Sosialis.
Maka, tak heran jika berbagai indikator kesehatan di Indonesia relatif sangat buruk. Bahkan untuk penyakit Malaria dan tuberculosis sekalipun kita tertinggal juah dibandingkan dengan negara-negara tetangga dekat.
Beberapa tahun yang lalu sekumpulan masyarakat sipil mengajukan gugatan ke pengadilan negeri Jakarta Pusat. Pengadilan telah memutuskan pemerintah abai dalam menghadirkan sistem jaminan sosial nasional. Undang-undang tentang sistem jaminan sosial nasional (SJSN) sudah ditandatangani oleh Presiden Megawati pada tahun 2004. Tak ada perasaan bersalah pada pemerintah karena abai. Sistem jaminan sosial nasional untuk kesehatan rencananya baru akan diterapkan tahun depan. Baru akan, itu pun hanya sebatas satu dari lima pilar sistem jaminan sosial yang komprehensif.
Bang, bisa ndak ceritain bagaimana kaitan produktifitas dengan upah layak ? ya masih ada kaitannya dengan pendidikan dan kesehatan….dan benchmarking dengan negara lain. Sekarang isunya tentang kenaikan UMP bagi pekerja…
Kalau pengeluaran untuk pendidikan dan kesehatan memadai, niscaya produktivitas naik. Upah adalah fungsi dari produktivitas. Di Indonesia produktivitas rendah, jadi upah pun rendah. Buruh tak boleh disalahkan. Negaralah yang abai.
Benchmarking baru semat untuk pendidikan dan kesehatan. Insya Allah lain waktu dilengkapi.