Pada triwulan I-2020, subsektor tanaman pangan mengalami kontraksi paling parah (10,3 persen) setelah subsektor transportasi udara (13,3 persen). Ditinjau dari peranannya terhadap produk domestik bruto (PDB), subsektor tanaman pangan lebih besar ketimbang subsektor transportasi udara, masing-masing 2,82 persen dan 1,63 persen pada tahun 2019.
Namun, perlakuan pemerintah terhadap transportasi udara sangat besar sejak awal pandemik COVID-19, antara lain dengan memberikan rabat jumbo untuk tarif pesawat hingga kucuran dana Rp8,5 triliun untuk PT Garuda Indonesia (Tbk) berupa Dana Talangan Investasi.
Tapi, apa yang diperoleh petani tanaman pangan yang sangat terpuruk? Tidak ada sama sekali.
Karena rakyat harus tetap makan padahal produksi merosot, maka impor pangan menunjukkan trend peningkatan, sehingga defisit perdagangan pangan terus naik. Lihat Lampu Kuning Impor Pangan.
Bukan hanya pangan yang defisit. Untuk produk manufaktur pun Indonesia mengalami defisit, lebih besar impor ketimbang ekspor. Migas juga demikian. Untuk jasa, kita selalu defisit, terbesar adalah jasa transportasi laut.
Jadi, dari mana kita membiayai triple deficits itu? Ya dari mana lagi kalau bukan dengan menguras kekayaan alam atau komoditas primer. Petik, jual; tebang, jual; keruk, jual.
Sungguh, kebijakan pemerintah dalam menangani pandemik COVID-19 sangat bias kota.
Menyukai ini:
Suka Memuat...
Diterbitkan oleh faisal basri
Faisal Basri is currently senior lecturer at the Faculty of Economics, University of Indonesia and Chief of Advisory Board of Indonesia Research & Strategic Analysis (IRSA). His area of expertise and discipline covers Economics, Political Economy, and Economic Development.
His prior engagement includes Economic Adviser to the President of Republic of Indonesia on economic affairs (2000); Head of the Department of Economics and Development Studies, Faculty of Economics at the University of Indonesia (1995-98); and Director of Institute for Economic and Social Research at the Faculty of Economics at the University of Indonesia (1993-1995), the Commissioner of the Supervisory Commission for Business Competition (2000-2006); Rector, Perbanas Business School (1999-2003).
He was the founder of the National Mandate Party where he was served in the Party as the first Secretary General and then the Deputy Chairman responsible for research and development. He quit the Party in January 2001. He has actively been involved in several NGOs, among others is The Indonesian Movement.
Faisal Basri was educated at the Faculty of Economics of the University of Indonesia where he received his BA in 1985 and graduated with an MA in economics from Vanderbilt University, USA, in 1988.
Lihat semua pos dari faisal basri
Memprihatinkan. Utk menggerakkan ekonomi, mestinya kita mengarah ke kemandirian yang mau tidak mau mesti dari produk pangan /pertanian. Mungkin pejabat2 NKRI sangat2 pintar sehingga produk pangan mandiri ini tidak perlu dilihat, lebih baik dan lebih gampang/murah *import* saja. Maka tidak heran kalau dari hari ke hari pemuda makin lari dari pertanian, karena selalu ditekan pemerintah dengan produk impor. Mana bisa hidup layak petani di negeri 62 ini. Du negeri lain, konon produk pangan sendiri ini sangat diutamakan dibanding sekedar impor saja
๐๐๐๐
Yth Bang Faisal,
Kebijakan yg bias seperti di atas disadari atau tidak oleh pengambil kebijakan ya?
Terima kasih
Jika ada kesempatan untuk memberi masukan ke pemerintah daerah penghasil pangan dan produk perikanan, kira2 saran seperti apa yang bisa disampaikan ya Prof?
Sebab, akhir2 ini banyak petani mengeluh harga panen jatuh, nelayan juga mengeluh penjualan hasil laut yg menurun drastis selama pandemi
Yang terpikirkan oleh saya adalah bantu petani menjual hasil panennya sejauh mungkin dan langsung ke sentra konsumen, karena di sana harga tidak turun.
Kedua, jika bisa, sebagian diolah. Misalnya cabai merah diolah menjadi serbuk cabai. Perusahaan mie instan, misalnya, mengimpor serbuk cabai dari China. Dengan menyerap sebagian produksi petani untuk diolah, insya Allah harga tidak akan turun tajam. Demikian juga dengan bawang merah. Warga kota sudah banyak membeli bawang goreng dalam botol yg harganya berlipat. Untuk itu, perkenalkan teknologi sederhana kepada petani dan penggunaan kemasan yang kedap udara.
Ijin Pak mau tanya, sebenarnya kenapa kok kita ini seakan-akan “tersandera” harus ketergantungan impor bahan-bahan pangan ya? Contohnya seperti impor bawang putih, jagung bahkan garam, Sementara dari sisi geografis negara kita ini berpotensi besar dan cukup ideal untuk mandiri memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar tersebut?
Terimakasih
Tampaknya ingin instan dan bermotif rente. Tentu saja industrialisasi yang melambat jadi penyebab. Insya Allah saya akan tampilkan datanya pada tulisan mendatang.