Apakah Petani Tidak Pantas Dibantu?

7 komentar

Pada triwulan I-2020, subsektor tanaman pangan mengalami kontraksi paling parah (10,3 persen) setelah subsektor transportasi udara (13,3 persen). Ditinjau dari peranannya terhadap produk domestik bruto (PDB), subsektor tanaman pangan lebih besar ketimbang subsektor transportasi udara, masing-masing 2,82 persen dan 1,63 persen pada tahun 2019.

Namun, perlakuan pemerintah terhadap transportasi udara sangat besar sejak awal pandemik COVID-19, antara lain dengan memberikan rabat jumbo untuk tarif pesawat hingga kucuran dana Rp8,5 triliun untuk PT Garuda Indonesia (Tbk) berupa Dana Talangan Investasi.

Tapi, apa yang diperoleh petani tanaman pangan yang sangat terpuruk? Tidak ada sama sekali.

Karena rakyat harus tetap makan padahal produksi merosot, maka impor pangan menunjukkan trend peningkatan, sehingga defisit perdagangan pangan terus naik. Lihat Lampu Kuning Impor Pangan.

Bukan hanya pangan yang defisit. Untuk produk manufaktur pun Indonesia mengalami defisit, lebih besar impor ketimbang ekspor. Migas juga demikian. Untuk jasa, kita selalu defisit, terbesar adalah jasa transportasi laut.

Jadi, dari mana kita membiayai triple deficits itu? Ya dari mana lagi kalau bukan dengan menguras kekayaan alam atau komoditas primer. Petik, jual; tebang, jual; keruk, jual.

Sungguh, kebijakan pemerintah dalam menangani pandemik COVID-19 sangat bias kota.

7 comments on “Apakah Petani Tidak Pantas Dibantu?”

  1. Memprihatinkan. Utk menggerakkan ekonomi, mestinya kita mengarah ke kemandirian yang mau tidak mau mesti dari produk pangan /pertanian. Mungkin pejabat2 NKRI sangat2 pintar sehingga produk pangan mandiri ini tidak perlu dilihat, lebih baik dan lebih gampang/murah *import* saja. Maka tidak heran kalau dari hari ke hari pemuda makin lari dari pertanian, karena selalu ditekan pemerintah dengan produk impor. Mana bisa hidup layak petani di negeri 62 ini. Du negeri lain, konon produk pangan sendiri ini sangat diutamakan dibanding sekedar impor saja
    ๐Ÿ˜‚๐Ÿ˜‚๐Ÿ˜‚๐Ÿ˜‚

  2. Jika ada kesempatan untuk memberi masukan ke pemerintah daerah penghasil pangan dan produk perikanan, kira2 saran seperti apa yang bisa disampaikan ya Prof?

    Sebab, akhir2 ini banyak petani mengeluh harga panen jatuh, nelayan juga mengeluh penjualan hasil laut yg menurun drastis selama pandemi

    1. Yang terpikirkan oleh saya adalah bantu petani menjual hasil panennya sejauh mungkin dan langsung ke sentra konsumen, karena di sana harga tidak turun.
      Kedua, jika bisa, sebagian diolah. Misalnya cabai merah diolah menjadi serbuk cabai. Perusahaan mie instan, misalnya, mengimpor serbuk cabai dari China. Dengan menyerap sebagian produksi petani untuk diolah, insya Allah harga tidak akan turun tajam. Demikian juga dengan bawang merah. Warga kota sudah banyak membeli bawang goreng dalam botol yg harganya berlipat. Untuk itu, perkenalkan teknologi sederhana kepada petani dan penggunaan kemasan yang kedap udara.

  3. Ijin Pak mau tanya, sebenarnya kenapa kok kita ini seakan-akan “tersandera” harus ketergantungan impor bahan-bahan pangan ya? Contohnya seperti impor bawang putih, jagung bahkan garam, Sementara dari sisi geografis negara kita ini berpotensi besar dan cukup ideal untuk mandiri memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar tersebut?
    Terimakasih

    1. Tampaknya ingin instan dan bermotif rente. Tentu saja industrialisasi yang melambat jadi penyebab. Insya Allah saya akan tampilkan datanya pada tulisan mendatang.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.