Berita Tempo berjudul Impor Sayur Capai Rp 11,55 T, Faisal Basri: Saya Kaget mendapat tanggapan dari Kementerian Pertanian.
Berita Tempo yang menjadi obyek tanggapan bersumber dari presentasi saya pada acara webinar yang diselenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Institut Pertanian Bogor (BEM IPB) yang digelar pada 22 Mei 2020.

Impor sayuran hanyalah salah satu yang saya ungkapkan. Sebagaimana isi berita Tempo, pembahasan saya mencakup pangan secara keseluruhan. Bahkan, saya mengatakan bahwa bukan pangan saja yang mengalami defisit, melainkan juga manufaktur dan migas. Jadi, secara keseluruhan, kinerja perdagangan luar negeri Indonesia menunjukkan perkembangan yang memburuk.
Sebagaimana terlihat pada peraga di bawah, nilai impor sayuran mengalami kenaikan signifikan dibandingkan tahun 2010. Memang nilainya tidak seberapa dibandingkan berbagai jenis pangan lainnya, termasuk buha-buahan.

Nilai impor buah-buahan jauh lebih besar. Laju pertumbuhannya jauh lebih tinggi. Nilai impor buah-buahan mencapai rekor tertinggi tahun lalu, mencapai 1,5 miliar dollar AS dan meningkat lebih dua kali lipat dibandingkan tahun 2015.
Laju impor buah-buahan tidak diiringi oleh peningkatan ekspornya. Pada tahun 2019, ekspor buah-buahan hanya 324 juta dollar AS atau sekitar seperlima dari impornya. Nilai ekspor buah-buahan tahun 2019 lebih rendah dari tahun 2017.
Impor sayuran maupun buah-buahan sangat didominasi dari China.

Yang paling parah adalah gula. Sejak masa kolonial hingga tahun 1967, Indonesia adalah negara pengekspor gula, bahkan sempat menjadi negara pengekspor terpandang di dunia. Pergulaan di Indonesia kian memburuk dan mencapai puncaknya pada 2016 ketika Indonesia menjelma sebagai negara pengimpor gula terbesar di dunia, sampai sekarang.

Pangan terpenting kedua setelah beras adalah terigu. Sayangnya diversifikasi pangan kita sangat bias ke terigu yang seluruh gandumnya diimpor. Volume impor gandum dan meslin meningkat pesat. Tak tanggung-tanggung, dalam waktu hanya sembilan tahun, impor gandum dan meslin melonjak lebih dari lima kali lipat. Tak kurang sebanyak 2,8 miliar dollar AS devisa yang terkuras hanya untuk produk ini.

Trend peningkatan volume impor juga terjadi untuk kedelai. Sekitar satu miliar dollar kita belanjakan untuk impor bahan baku utama tempe dan tahu ini.

Berulang kali pencanangan swasembada daging selalu kandas. Bukannya turun, impor daging malahan melonjak 10 kali lipat sejak 2001. Pada tahun 2019, impor daging sejenis lembu terbesar adalah dari Australia (44 persen) dan India (37 persen). Kapal tol laut pengangkut khusus sapi dari Nusa Tenggara tidak pernah terdengar lagi.

Demikian juga dengan impor binatang hidup. Kita menghabiskan 1,3 miliar dollar untuk impor daging dan binatang (ternak) hidup.

Bersyukur impor beras tahun lalu bisa ditekan setelah pada tahun sebelumnya mengalami lonjakan.

Impor garam kembali melonjak dalam dua tahun terakhir. Kebanyakan garam impor digunakan oleh industri. Kalau sekedar untuk konsumsi rumah tangga, sebetulnya produksi dalam negeri sudah mencukupi. Namun, dalam kenyataan sebagian garam impor merembes ke pasar bebas.

Secara keseluruhan, Indonesia mengalami defisit pangan sejak 2007. Sebagai negara dengan wilayah yang cukup luas, curah hujan relatif tinggi, sinar mentari sepanjang tahun, tanah yang relatif subur, rasanya untuk urusan pangan Indonesia tak sepatutnya mengalami defisit perdagangan. Ditambah lagi dengan potensi kekayaan laut kita.

Teringat ucapan ini:

1 comments on “Lampu Kuning Impor Pangan”