Pada 19 Januari 2020, World Economic Forum (WEF) menerbitkan indikator baru yang dinamakan Social Mobility Index (SMI). Indeks ini mengukur pergerakan dalam status pribadi dari seorang individu dibandingkan dengan status orang tua mereka. Secara absolut, SMI menggambarkan seberapa besar kemampuan seorang anak untuk mengalami kehidupan yang lebih baik daripada orang tua mereka. Di sisi lain, mobilitas sosial relatif adalah penilaian dampak latar belakang sosial ekonomi pada keberhasilan individu dalam kehidupan.
Keberhasilan itu dapat diukur dari berbagai indikator mulai dari kesehatan hingga pendidikan dan pendapatan. Akses yang lebih baik terhadap pendidikan dan kesehatan diyakini mempermudah mobilitas vertikal.
Globalisasi dan teknologi kerap disinyalir sebagai penyebab memburuknya mobilitas sosial. Namun, laporan WEF menyoroti faktor pembuatan kebijakan yang buruk sebagai alasan signifikan.
Lima terbaik diborong oleh negara-negara Nordic.
Dari 82 negara yang dicakup dalam indeks mobilitas sosial, Indonesia berada di peringkat ke-67 atau ke-16 dari bawah dengan skor 49,3. Di antara negara ASEAN, Indonesia hanya lebih baik dari Laos. Peringkat tertinggi di ASEAN ialah Singapura (20). Menyusul kemudian Malaysia (43), Vietnam (50), Thailand (55), dan Filipina (61). Kempat negara itu memiliki skor di atas 50.

Ada korelasi yang cukup kuat antara SMI dan ketimpangan. Indikator ketimpangan yang digunakan di sini ialah data penguasaan satu persen terkaya terhadap kekayaan nasional berdasarkan publikasi Credit Suisse “Global Wealth Databook.”
Semakin tinggi SMI kian rendah ketimpangan. Indonesia berada di atas garis trend, bertetangga dengan Turki dan Thailand. India memiliki SMI terendah kedua setelah Afrika Selatan, namun negara terakhir ini berada di bawah garis trend.

menarik pak, kalau melihat rangking dikuasai negara nordik (dan eropa), pastinya faktor pembeda dari akses dan kualitas pendidikan, kesempatan kerja dan berpengaruh dari pola culture juga.
tapi kalau dilihat2 negara2 yg atas itu sedari muda sudah dituntut untuk independen dari orang tua dan otomatis lebih fight dan sadar secara finansial (saving, investment) dibanding negara2 Asia yg kurang oke juga rangkingnya. Di Indo pemudanya banyak tinggal dan bergantung sama orang tua, bahkan di middle income family sekalipun yg pendidikannya memadai.
Kerja dapat uang malah jadi konsumtif dibanding menabung/investasi, dimana seharusnya dimanfaatkan anak untuk maju, ini malah membebani persiapan pensiun orang tua, dan ketika orang tua pensiun ngak ada income, mindsetnya bergantung sama anak.
Kalo dilihat dari grafiknya pada dasarnya apabila Indonesia “berada pada jalan yang benar” seharusnya titik-nya bisa berada bersinggungan dengan garis atau dibawah garis fitted regresi ya pak. Tapi pada kenyataannya ternyata Indonesia berada di atas garis tersebut. Walaupun deviasinya tergolong normal, tapi kira2 apa yg dapat menjelaskan deviasi tersebut pak? Berharap banget Pak Faisal Basri membahas lebih jauh hal tersebut.
Salam,
As’ad
Mantan Murid Bapak di kelas Ekonomi Politik
Ilmu Ekonomi – Universitas Indonesia
Mas As’ad yang baik. Secara teori, mobilitas sosial yang rendah memengaruhi ketimpangan. Posisi Indonesia yang berada di atas garis trend mengindikasikan ketimpangan di Indonesia tergolong ekstrem walaupun lebih banik ketimbang Rusia dan Thailand. Agak mudah dipahami karena cron capitalism index kita tergolong sangat tinggi. Kenyataan keseharian menunjukkan kekayaan orang terkaya di Indonesia 2/3-nya diperoleh dari bisnis kroni, khususnya eksploitasi sumber daya alam.
Saya tertarik dengan pendapat bapak tentang kronisme sebagai salah satu penyebab rendah nya mobilitas sosial Indonesia. Kronisme atau yang Milton Friedman sebutkan sebagai “grup interest” dalam essay nya yang ditulis pada tahun 1993 tentang “government problem”, menurut saya, akan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dan tulisan bapak adalah salah satu pendapat yang kuat bagi Indonesia. Mengedepankan kepentingan kelompok akan mengakibatkan kepentingan publik tidak menjadi prioritas. Saya pikir masalah fundamental nya ada disitu. Mungkin secara ekonomi, bapak akan memilih bahasa yang lain, tapi bagi saya, saat ini di Indonesia lawan kata kemiskinan bukan kekayaan, tapi “keadilan.” Mengutip secara luas ide Amrtya Sen dalam bukunya “Development as Freedom,” saya pikir, kesenjangan finansial yang semakin lama semakin melebar disebabkan oleh kurangnya “kebebasan” warga negara untuk dapat berkembang sebagai manusia secara “fair” dan lagi-lagi kronisme menjadi faktor pembeda signifikan yang buruk dalam “ketidakbebasan” di Indonesia. Menurut bapak, sebagai dosen Politik Ekonomi, perlu ada perubahan praktek demokrasi di Indonesia? perlu ada perubahan mekanisme politik praktis?(please, please lihat tweedism) atau hanya sekedar perubahan kebijakan ekonomi? ( tujuannya agar ekonomi negara ini membaik, mohon maaf, saya bahkan tidak tahu sistim ekonomi yang kita jadikan patokan saat ini apa, Ekonomi Demokrasi Pancasila? Ekonomi kerakyatan? Ekonomi Kronisme? )