Oleh: Faisal Basri
Catatan: Rektor Universitas Palembang meminta saya memaparkan kondisi perekonomian Indonesia terkini di hadapan pada wisudawan Universitas Palembang. Dari bincang-bincang dengan Rektor dan Wakil Rektor, rupanya perbincangan tentang kemerosotan daya beli cukup mengemuka pula di Sumatera Selatan, khususnya di Palembang. Kebetulan saya beberapa kali menulis tentang topik itu di blog ini. Modifikasi dari beberapa tulisan itu menjadi bagian pembuka orasi. Bagian kedua memaparkan kecenderungan perkembangan ekonomi Indonesia jangka panjang dan menengah serta menganalisis penyebab utamanya. Bagian ketiga merupakan penutup yang mengutarakan harapan menyongsong peringatan satu abad kemerdekaan. Masa depan Indonesia berada di tangan generasi muda dan para wisudawan merupakan bagian tak terpisahkan dari himpunan bergerak menggelora yang berpeluang mengantarkan Indonesia ke gerbang kejayaan. Insya Allah.
***
I
Belakangan ini muncul banyak nada pesimisme menggelayuti perekonomian Indonesia. Gemuruh yang menyatakan terjadi kemerosotan daya beli masyarakat ibarat awan pekat pertanda akan terjadi hujan disertai petir. Sejumlah pelaku usaha dan asosiasi bisnis mengeluhkan penurunan omzet penjualan. Penurunan penjualan terjadi di pusat-pusat perbelanjaan modern, antara lain menohok penjualan makanan, pakaian, dan elektronik. Demikian pula dengan penjualan semen. Pemakaian listrik juga dilaporkan turun.
Apakah dengan begitu memang telah terjadi penurunan daya beli masyarakat yang mencerminkan perekonomian melesu? Data pertumbuhan ekonomi terbaru yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) bulan Agustus ini menunjukkan perekonomian Indonesia pada triwulan II-2017 tumbuh 5,01 persen, persis sama dengan pertumbuhan triwulan I-2017. Berarti perekonomian tetap tumbuh—tidak merosot atau melesu—sekalipun tidak mengalami akselerasi atau percepatan pertumbuhan.

Konsumsi rumahtangga pada triwulan II-2017 justru mengalami kenaikan pertumbuhan dibandingkan triwulan sebelumnya walaupun sangat tipis, dari 4,94 persen menjadi 4,95 persen. Memang dalam lima tahun terakhir, pertumbuhan konsumsi masyarakat menunjukkan kecenderungan menurun. Kecenderungan itu sejalan dengan trend jangka panjang. Tatkala pendapatan masyarakat masih rendah dan perekonomian baru pada tahapan awal membangun, porsi konsumsi masyarakat sangat dominan. Pada tahun 1960-65, konsumsi masyarakat rata-rata setahun mencapai 89 persen. Bandingkan dengan sekarang yang hanya 56 persen. Trend penurunan sempat terhenti akibat krisis ekonomi tahun 1998.
Jadi perlu dibedakan antara konsumsi masyarakat yang peningkatannya melambat dengan konsumsi masyarakat yang menurun atau merosot. Yang pertama nyata-nyata pertumbuhannya positif, sedangkan yang kedua pertumbuhannya negatif.

Perekonomian tidak menunjukkan kelesuan. Dunia usaha dan pemerintah terus menambah investasi sehingga pembentukan modal terus berlangsung yang meningkatkan kapasitas produksi perekonomian. Pada triwulan II-2017, pertumbuhan investasi (pembentukan modal tetap domestik bruto) bahkan lebih tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya, masing-masing 5,35 persen dan 4,78 persen. Lambat laun peranan investasi dalam PDB meningkat (berkebalikan dengan peranan konsumsi rumahtangga), dari hanya 8,1 persen rata-rata setahun pada periode 1960-65 menjadi 31,5 persen pada semester I-2017.
Peranan konsumsi rumahtangga dalam perekonomian (produk domestik bruto) pada semester I-2017 sebesar 56,3 persen, sedangkan investasi 31,5 persen. Mengingat tiga komponen PDB lainnya tidak banyak berubah, maka komponen konsumsi rumahtangga dan investasi—menyumbang hampir 88 persen terhadap perekonomian—paling menentukan jatuh-bangunnya perekonomian.
Dari sisi produksi, pada triwulan II-2017, hanya dua sektor yang menderita kemerosotan atau pertumbuhan negatif, yaitu sektor listrik dan gas serta sektor pemerintahan atau sektor publik. Delapan sektor menikmati pertumbuhan di atas rata-rata atau di atas pertumbuhan PDB. Selebihnya tumbuh walaupun lebih rendah dari pertumbuhan PDB.

Perlu dicermati, semua sektor yang tumbuh relatif tinggi adalah sektor jasa (non-tradable). Sebaliknya, sektor barang atau sektor tradable (pertanian, pertambangan, dan industri manufaktur) tumbuh relatif rendah. Pola pertumbuhan antara sektor tradable dan sektor non-tradable yang kembali semakin timpang tentu saja menimbulkan berbagai konsekuensi terhadap perekonomian dan kehidupan masyarakat. Transformasi struktural yang terjadi, terutama setelah krisis 1998, membawa Indonesia lebih cepat menjelma sebagai perekonomian jasa tanpa melalui pematangan proses industrialisasi dan penuntasan transformasi di sektor pertanian.

Apakah terdapat keganjilan atau anomali antara data mikro dan data makro? Sebagai kaum terdidik, kita tidak boleh cepat mengambil kesimpulan berdasarkan data sepenggal, pengamatan terbatas, kurun waktu sangat pendek, dan kejadian yang hanya kita alami sendiri di lingkungan kita sendiri.
Manfaat ilmu pengetahuan yang kita peroleh dari perkualihan antara lain adalah mempertajam kemampuan analisis terhadap suatu peristiwa atau gejala yang terjadi sehingga kita mampu memahami duduk perkara suatu peristiwa, menjelaskan peristiwa itu dengan kerangka teori yang tepat, dan kalau perlu memberikan pemecahannya serta memperkirakan apa yang bakal terjadi ke depan. Intelektual tidak menganalisis suatu peristiwa dengan muatan politik praktis atau menyuarakan kelompok kepentingan tertentu.
Penurunan omzet di pusat-pusat perbelanjaan modern tertentu dan menimpa beberapa jenis barang seperti makanan, pakaian, semen, pemakaian listrik, dan beberapa produk lain tidak bisa dijadikan patokan untuk menyimpulkan terjadi penurunan daya beli mayarakat. Betapa amat banyak ragam barang dan jasa yang beredar di pasar. Masyarakat pun terdiri dari berbagai kelompok pendapatan, ada yang sangat kaya, kaya hingga yang amat miskin. Di antaranya ada kelompok berpendapatan menengah yang bisa dipecah menjadi menengah-bawah, menengah-tengah, dan menengah-atas. Penduduk berpendapatan rendah bisa dipecah menjadi kelompok sangat miskin, miskin, dan nyaris miskin (near poor).
Tidak hanya konsumsi rumahtangga yang menunjukkan peningkatan (pertumbuhan positif). Survei Bank Indonesia terbaru[2] pun menunjukkan penjualan eceran Juni 2017 meningkat sejalan dengan kenaikan permintaan masyarakat selama Ramadhan dan menjelang Idul Fitri sebagaimana tercermin dari peningkatan Indeks Penjualan Riil (IPR) Juni 2017 sebesar 6,3% dibandingkan Juni tahun lalu.
Telaahan lebih seksama menunjukkan bahwa yang terjadi bukan penurunan daya beli masyarakat, melainkan perubahan pola konsumsi masyarakat sejalan dengan transformasi struktural yang terjadi. Ari Kuncoro[3] juga menjelaskan tidak ada anomali data mikro dan makro. Yang terjadi adalah pergeseran pola konsumsi, antara lain karena perubahan gaya hidup kelas menengah-atas.
Fenomena yang tergolong baru ini mulai didalami oleh BPS. Temuan berdasarkan data tiga setengah tahun terakhir menunjukkan memang ada gejala pergeseran pola konsumsi. Pertumbuhan konsumsi leisure meningkat sedangkan konsumsi non-leisure menurun.[4]

Semakin banyak data pendukung yang menunjukkan perubahan pola konsumsi di atas.[5] Yang cukup kentara antara lain adalah peningkatan jumlah penumpang angkutan udara dan kereta api. Demikian pula dengan peningkatan nilai tambah sektor transportasi dan sektor hospitality.


Peningkatan pesat arus wisatawan mancanegara turut memberikan sumbangsih bagi pertumbuhan sektor transportasi dan hospitality. Pada tahun 2015 kedatangan turis asing telah menembus 10 juta dan setelah itu tumbuh semakin pesat. Pertumbuhan turis asing pada semester I-2017 sebesar 22,4 persen merupakan merupakan rekor tertinggi.

Ada yang berpandangan bahwa penurunan omzet pusat perbelanjaan modern bukan disebabkan oleh penurunan daya beli masyarakat melainkan karena kehadiran belanja online atau ecommerce. Memang betul peningkatan penjualan ecommerce sangat pesat, bahkan berlipat ganda. Namun, porsi penjualan ecommerce di Indonesia pada tahun 2016 hanya 1,2 persen dari keseluruhan penjualan eceran.[6] Singapura yang menduduki posisi teratas di ASEAN mencapai 4,1 persen. China memimpin dengan 13,8 persen.
II
Apakah pembuktian tidak terjadi penurunan daya beli masyarakat menandakan gerak perekonomian Indonesia berlangsung mulus? Tentu saja tidak. Penjelasan di atas sebatas upaya menjernihkan polemik di seputar “penurunan daya beli masyarakat.”
Gambaran umum tidak selalu sejalan kalau kita melakukan pemilahan. Ada bukti cukup kuat bahwa kelompok masyarakat 40 persen termiskin (Botom-40) mengalami penurunan daya beli. Kelompok ini didominasi oleh petani, buruh tani, buruh bangunan, pekerja informal lainnya, dan pekerja pabrik. Dalam dua setengah tahun terakhir, nilai tukar petani merosot.[7] Kemerosotan paling tajam dialami oleh petani tanaman pangan. Upah riil buruh tani turun 2,75 persen selama kurun waktu November 2014 hingga Juli 2017. Pada periode yang sama, upah riil buruh bangunan juga turun 2,52 persen.
Penurunan daya beli kelompok Bottom-40 tidak menyebabkan penurunan daya beli nasional karena porsi belanja kelompok ini hanya 17 persen, sedangkan belanja kelompok 40 persen menengah (Mid-40) dan Kelompok 20 persen terkaya (Top-20) meningkat.
Sepanjang penurunan daya beli tidak merembet ke kelompok Mid-40 dan Top-20, pertumbuhan riil konsumsi masyarakat masih bisa bertahan di sekitar 5 persen.
Ada tanda-tanda di lapisan terbawah pada kelompok Mid-40 mengalami tekanan daya beli. Penyebab pertama, penghapusan subsidi listrik untuk pelanggan 900 VA yang berjumlah 19 juta. Akibat penghapusan subsidi, pengeluaran kelompok pelanggan ini naik lebih dua kali lipat, dari rerata per bulan Rp 80.000 menjadi Rp 170.000. Kedua, gaji pegawai negeri/TNI/Polri dan uang pensiun sudah dua tahun tidak naik. Untuk tahun 2018 pemerintah telah mengumumkan moratorium gaji.[8]
**
Hampir semua indikator makroekonomi jangka pendek menunjukkan perkembangan yang cukup menggembirakan. Suhu perekonomian yang diukur dengan laju inflasi stabil pada kisaran 4 persen, bahkan bulan lalu hanya 3,9 persen. Tekanan darah sebagaimana diukur oleh suku bunga juga cenderung turun. Suku bunga acuan Bank Indonesia (Repo Rate 7-hari) turun dan sudah 10 bulan bertengger di bawah 5 persen, tepatnya 4,75 persen.
Nilai tukar rupiah stabil dengan tingkat volatilitas yang mengecil walaupun di aras yang masih jauh di bawah nilai tertingginya. Sementara itu cadangan devisa bertambah 16,3 miliar dollar AS selama 8 bulan terakhir. Ekspor mulai tumbuh positif setelah lima tahun berturut-turut sebelumnya terus menerus merosot.
Kestabilan yang terjaga, sayangnya, belum mampu membawa perekonomian tumbuh mengakselerasi. Pertumbuhan ekonomi masih terus mengalami trend melemah, baik dalam jangka panjang maupun jangka menengah. Setelah krisis ekonomi 1998, pertumbuhan ekonomi tidak kunjung menembus 7 persen. Pada periode 2007-2012, pertumbuhan ekonomi hampir selalu di atas 6 persen. Namun, sejak 2013 hingga sekarang cuma berkutat di kisaran 5 persen, bahkan pernah di bawah 5 persen pada 2015. Tekad pemerintahan di bawah Presiden Joko Widodo untuk meraih pertumbuhan rerata 7 persen selama masa baktinya hampir mustahil tercapai. Jangankan 7 persen, untuk mencapai 6 persen saja membutuhkan keajaiban. Realisasi pertumbuhan rerata setahun selama 2015-2019 diperkirakan hanya 5,2 persen.
**
Ada dua faktor fundamental yang menghadang akselerasi pertumbuhan. Pertama, ibarat tubuh manusia, volume “darah” dan fungsi “jantung” dalam perekonomin Indonesia belum optimal. Jika kita kekurangan darah atau menderita anemia, tubuh akan pucat pasi. Jika fungsi jantung terganggu, kemampuan menyedot darah menurun, demikian pula kemampuan memompakan kembali darah ke sekujur tubuh secara merata.
Darah dalam perekonomian adalah uang atau dana yang beredar dalam sistem keuangan. Perekonomian memiliki dua jantung. Jantung pertama dan utama adalah sektor keuangan, khususnya perbankan. Jantung kedua adalah pemerintah. Kedua jantung berfungsi menyedot dana dari masyarakat dalam bentuk dana pihak ketiga (giro, tabungan, dan deposito) untuk perbankan dan pajak untuk pemerintah. Dana yang disedot dipompakan kembali dalam bentuk kredit (untuk perbankan) serta belanja semasa (current spending) dan belanja modal (capital spending) untuk pemerintah.
Karena hanya 39,1 persen penduduk usia dewasa yang memiliki akses ke perbankan (financial literacy) dan nisbah pajak (tax ratio) relatif rendah dengan kecenderungan menurun, darah yang mampu disedot terbatas. Akibatnya, kemampuan memompakan kembali pun terbatas pula. Padahal, untuk memacu pertumbuhan berkelanjutan, investasi usaha dan pembangunan infrastruktur harus terus dipacu, baik berupa perluasan kapasitas produksi maupun untuk penggantian dan pembaruan sejalan dengan kemajuan teknologi.
Sedemikian rendah penetrasi kredit terlihat dari kredit yang disalurkan kepada sektor swasta, hanya 39,1 persen dari PDB.[9] Bandingkan dengan China, Thailand, Afrika Selatan, Singapura, Malaysia, dan Vietnam yang kredit ke sektor swastanya mengucur kencang hingga di atas 100 persen. Sekedar dengan kamboja, Filipina, dan Bangladesh pun kita tertinggal. Data kredit yang disalurkan oleh sektor keuangan pun menunjukkan kondisi serupa.

Mirip dengan fungsi jantung utama (sektor keuangan), fungsi jantung kedua pun bermasalah. Kenaikan pemerimaan pajak lebih lambat dari pertumbuhan ekonomi, sehingga menurunkan nisbah pajak (tax ratio). Niscaya ada penyempitan pembuluh darah ke jantung kedua (pemerintah) yang harus ditangani, karena penurunan nisbah pajak sudah berlangsung cukup lama.
Akibatnya, kemampuan pemerintah untuk turut menggenjot pertumbuhan ekonomi sangat terbatas. Kualitas pelayanan pemerintah sulit ditingkatkan, peningkatan kesejahteraan aparatur negara terkendala. Kalau pemerintah memaksakan diri menggenjot pembangunan infrastruktur, pemerintah terpakasa harus lebih banyak berutang. Karena utang pemerintah lebih banyak dalam bentuk Surat Utang Negara (SUN), terjadi efek mendesak (crodwing-out effect)[10]

Kedua, perekonomian Indonesia cenderung semakin tertutup. Dalam sepakbola bisa diibaratkan dengan klub yang menerapkan strategi bertahan.[11] Padahal, strategi menyerang lebih menjanjikan ketimbang bertahan. Tengok kompetisi sepakbola paling bergensi di dunia, Premier League di Inggris dan LaLiga Santander di Spanyol. Pemenang di kedua liga ialah Chelsea (Liga Inggris) dan Real Madrid (Liga Spanyol). Penyandang gerar juara atau setidaknya runner-up adalah klub yang paling banyak membobolkan gawang lawan, bukan yang paling sedikit kebobolan.
Percaya atau tidak, kenyataan menunjukkan Indonesia adalah satu-satunya negara di dunia yang perekonomiannya semakin tertutup.[12] Terlepas dari perbedaan ideologi, jumlah penduduk, negara kaya atau miskin, kondisi geografis dan faktor musim, semua negara semakin membuka diri. Indonesia justru sebaliknya.
Sebaliknya dengan Indonesia. Selama 16 tahun terakhir perekonomian Indonesia menunjukkan kecenderungan semakin tertutup. Indonesia telah menyia-nyiakan kesempatan emas untuk mempercepat peningkatan kesejahteraan rakyatnya. Padahal, sejarah panjang Nusantara membuktikan keterbukaanlah yang membuat Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Majapahit berjaya. Bahkan, jauh sebelumnya, pada abad kedua, warga Nusantau (sebelum berubah menjadi Nusantara) telah menjejakkan kaki di benua Afrika dengan menggunakan kapal dan sistem navigasi buatan sendiri.


Taktik bertahan Indonesia tercermin dari penerapan berbagai macam pembatasan perdagangan dan investasi yang jauh lebih banyak ketimpang di negara-negara tetangga dekat.

III
Tidak ada waktu untuk terus bergundah gulana. Saatnya generasi muda membaliknya peruntungan Bangsa ini, memacu diri agar bersejajaran dengan negara lain, menjadi Bangsa yang bermartabat.
Kita pantas optimistik karena kita telah menyadari kekuarangan dan kesalahan kita. Kita tahu apa yang harus kita perbuat. Kita segera buat peta jalan untuk meraih kejayaan Indonesia. Semoga tidak terlalu lama lagi, ketika kita merayakan seabad merdeka, 2045.
Jalesveva jayamahe
Di laut kita jaya

[1] Orasi di hadapan acara Wisuda Universitas Palembang, Palembang, 19 Agustus 2017.
[2] Lihat http://www.bi.go.id/id/publikasi/survei/penjualan-eceran/Documents/SPE-Juni-2017-rev.pdf
[3] Ari Kuncoro, “Anomali Data Makro dan Mikro,” Kompas.id, 9 Agustus 2017, diunduh dari https://kompas.id/baca/opini/2017/08/09/anomali-data-makro-dan-mikro/
[4] Komsumsi non-leisure meliputi makanan dan pakaian; konsumsi non-leisure meliputi hospitality (hotel dan restoran) serta rekreasi dan budaya.
[5] Lihat Faisal Basri, “Pergeseran Pola Konsumsi,” faisalbasri.com, 14 Agustus 2017, diunduh dari https://faisalbasri.com/2017/08/14/pergeseran-pola-konsumsi/
[6] Nomura Research, berdasarkan data dari Euromonitor, Internet live stats, Similanweb, Statista, PWC, Alista.
[7] Nilai tukar petani (NTP) adalah perbandingan indeks harga yang diterima petani terhadap indeks harga yang dibayar petani, yang mencerminkan tingkat kemampuan/daya beli petani di pedesaan. NTP juga mencerminkan daya tukar (terms of trade) produk pertanian terhadap barang dan jasa yang dikonsumsi maupun untuk biaya produksi petani.
[8] Pemerintah telah mengumumkan belum akan menaikkan gaji pegawai negeri dan aparatur negara lainnya pada tahun anggaran 2018. Sama dengan tahun ini, mereka hanya akan menerima Tunjangan Hari Raya dan gaji ke-13.
[9] Investasi sektor swasta sekitar 90 persen dari investasi total, sedangkan investasi pemerintah hanya 10 persen.
[10] Pemerintah bersaing dengan perbankan untuk memperebutkan dana masyarakat. Untuk berlomba dengan pemerintah, perbankan akan menaikkan suku bunga sehingga berpotensi menurunkan pertumbuhan kredit dan investasi. Akibatnya, peningkatan belanja modal pemerintah tidak berdampak maksimal terhadap pertumbuhan atau tidak terjadi full multiplier effect.
[11] Wujud ekstrem dari taktik bertahan itu mirip dengan memarkir bus berjejeran di depan gawang seperti beberapa kali diterapkan pelatih Jose Mourinho ketika melatih Chelsea.
[12] Tingkat keterbukaan ekonomi diukur dengan persentase ekspor dan impor barang dan jasa terhadap PDB. Di era globalisasi, seluruh negara terlibat semakin dalam di pasar dunia. Singapura merupakan pengecualian karena negara kecil ini mengekspor dua kali lipat lebih banyak dari yang diproduksi, akrena Singapura aalah negara transhipment (“numpang lewat”). Jika ekspor negara tetangga turun, ekspor Singapura turut turun. Begitu juga sebaliknya untuk impor.
Ulasan yang menarik dan compehensif Prof…analogi sistem perekonomian dengan anatomi tubuh manusia membuat artikelnya semakin mudah untuk dicerna…thanks a lot pencerahannya🙏😊
Most welcome. Di acara wisuda tadi agi yg mendengarkan kebanyakan bukan mahasiswa fakultas ekonomi. Semoga bermanfaat.
sudut pandang menarik, semoga ini bs menjadi indikator “bekal” awal utk memasuki revolusi industri ke-4