
Dua minggu lalu, INSEAD, WIPO, dan Cornell SC Johnson College of Business meluncurkan The Global Innovation Index 2017 edisi ke-10. Laporan dari proyek bersama ini menghasilkan pemeringkatan kinerja inovasi dari 127 negara yang meliputi 97 persen dari produk domestik bruto (PDB) dunia.
Sama seperti Laporan tahun lalu, Switzerland berada pada posisi puncak. Di urutan lima besar selanjutnya adalah Swedia, Belanda, Amerika Serikat, dan Inggris.
Satu-satunya negara Asia yang menduduki posisi sepuluh besar adalah Singapura. China semakin menunjukkan taringnya di urutan ke-22. Dua negara ASEAN lainnya masuk dalam 50 besar, yaitu Malaysia di peringkat ke-37 dan Vietnam ke-47. Thailand berada di urutan ke-51 dan Filipina ke-73.
Indonesia berada di uturan ke-87 dengan skor 30,1, tidak sampai separuh dari skor tertinggi yang disandang oleh Switzerland sebesar 67,7. Di bawah Indonesia adalah Kamboja di peringkat ke-101.

Skor tertinggi Indonesia tercapai pada tahun 2008-09 sebesar 32,6. Namun waktu itu skor tertinggi adalah 10. Skor tertinggi 100 baru diterapkan pada tahun 2011. Penulis melakukan penyesuaian sehingga seluruhnya menggunakan skor 0-100.
Sejak menggunakan skor 0-100, pencapaian terbaik Indonesia adalah pada tahun 2013. Tiga tahun selanjutnya terus meningkat menjadi 31,81 pada tahun 2014, 29,79 pada 2015, dan 29,07 pada 2016. Tahun ini skor Indonesia naik menjadi 30,10.
Menarik untuk membandingkan perkembangan GII Indonesia dan Vietnam. Posisi Indonesia pada mulanya lebih tinggi dari Vietnam. Pada tahun 2007, skor Indonesia 2,71 di urutan ke-49, sedangkan Vietnam dengan skor 2,38 di urutan ke-65. Pada tahun 2009-10, skor Indonesia persis sama dengan Vietnam, yaitu 2,95, namun Vietnam satu peringkat lebih tinggi. Setelah itu, Vietnam melesat dan kian meninggalkan Indonesia. Pada edisi terakhir, Vietnam telah masuk 50 besar, sementara Indonesia di posisi ke-87. Skor Indonesia 30,10 sedangkan Vietnam 38,34.

Ketertinggilan Indonesia juga terlihat dalam aplikasi paten. Tak heran jika kemajukan industri di Vietnam sangat pesat. Sebaliknya industrialisasi di Indonesia cenderung melambat.
Kerangka dalam penghitungan Global Innovation Index 2017 adalah sebagai berikut:

Kelemahan dari model Global Innovation Index adalah karena “by default” hanya bisa mengukur Innovation Efficiency = Faktor Output dibagi Faktor Input. Bukan sesuatu yang salah, tapi tidak lengkap untuk disebut Innovation Index. What is missing adalah Faktor Proses & Eksekusi. Kalau kita tanyakan bagaimana Indonesia dapat memperbaiki index inovasinya? Kuncinya adalah dalam proses dan eksekusi (perubahan) yang dilakukan.
Kalaupun misalnya pendaftaran patent dianggap sebagai indikator (yang saya tidak setuju), pertanyaan lanjutannya adalah bagaimana mendorong lebih banyak patents? Inovasi tidak selalu berbasis paten, bahkan inovasi masa kini lebih banyak merupakan “integrasi” teknologi yang tidak baru, bukan berbasis patent (lihatlah smartphone Anda atau fenomena Go-Jek).
Agar Indonesia menjadi negara yang inovatif (GII membaik), kuncinya adalah manajemen inovasi dan kepemimpinan dalam berinovasi. Keduanya adalah faktor kunci untuk menjalankan proses dan eksekusi dari input menjadi output. Ini menjelaskan kehebatan negara-negara inovatif baru seperti Jepang (peran JUSE), Korea dengan KAIST, dan bahkan rejim pemimpin China (Central Committe Partai Komunis) adalah sebagian besar inovator bukan politikus.
Faktor input tidak cukup untuk menciptakan inovasi kalau tidak ada manajemen dan leadership. Sedangkan faktor output (results & impacts) adalah ukuran yang ada setelah fakta (post facts) yang artinya hanya bisa dipakai untuk memonitor input dan proses.
Setuju, Pak Kristanto. Masalah yang multidimensional ini memang sulit didekati dengan indikator tunggal. Inovasi bisa didekati dengan berbagai indikator.
Saya nikmati tulisan Bang FB. Terima kasih.
Seorang kawan pernah kirim pesan ke saya tentang Heteredox Economics. Dia bilang:
“Heterodox economists may get jobs in economics departments: some do, especially if their ‘deviance’ develops after secure employment has been achieved, but they are often not replaced by people of similar inclination when they retire or move on.”
“Heteredox economy” itu “non-mainstream economics”, yang lebih menekankan peran pemerintah. Studi inovasi lebih dekat ke sini.
Ini karena inovasi lebih bisa jelas dari keberadaan argumennya di kebijakan publik, yaitu: “karena swasta cenderung tidak mau berinvestasi ke litbang.”
Entah kenapa, mainstream economics cenderung maunya pasar bergerak sendiri. Padahal, eyangnya (Adam Smith) tidak bicara begitu.
https://www.worldeconomicsassociation.org/newsletterarticles/heterodox-economics-or-pe/
Jabat erat,
KK