Dewasa ada sebanyak 119 badan usaha milik negara (BUMN) yang beroperasi di hampir semua sektor perekonomian, mulai dari sektor pertanian, pertambangan, industri manufaktur hingga di berbagai sektor jasa (konstruksi, listrik, gas, air bersih, perdagangan, keuangan, asuransi, perhotelan, transportasi, informasi dan komunikasi, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya).
Latar belakang keberadaan BUMN beragam. Pertama, sejumlah BUMN lahir dari kebijakan nasionalisasi. Sebelum kemerdekaan, BUMN dimiliki oleh perusahaan Belanda.
Kedua, sebagai pioner. BUMN yang masuk kategori ini didirikan untuk mengemban misi negara memenuhi kebutuhan rakyat banyak seperti pangan, sandang, dan papan yang belum mampu dihadirkan oleh swasta. Untuk mendukung peningkatan produksi pertanian, termasuk mewujudkan swasembada beras, pemerintah mendirikan beberapa pabrik pupuk. Untuk mendukung kebutuhan sandang pemerintah mendirikan industri sandang, dan untuk mendukung pengadaan perumahan pemerintah mendirikan Perumnas. Banyak BUMN lain didirikan juga untuk memenuhi kebutuhan yang tidak bisa dipenuhi oleh swasta. Ketika swasta sudah kian mampu, pemerintah berangsur surut dari usaha itu, misalnya pemerintah melikuidasi industri sandang. Ada pula yang masih tetap diusahakan oleh pemerintah walaupun swasta sudah sangat mampu dan kian dominan, misalnya di usaha perhotelan.
Ketiga, pemerintah membentuk BUMN karena alasan strategis. Termasuk dalam kelompok ini PT. Dirgantara Indonesia, PT Pindad, PT Dahana, dan PT. PAL.
Keempat, karena alasan menopang penerimaan negara. Pada masa awal pembangunan, sumber penerimaan negara dari pajak masih sangat terbatas. Karunia sumber daya alam yang relatif melimpah diusahakan untuk menopang penerimaan negara. Keberadaan Pertamina yang memiliki sejarah cukup panjang sempat menjadi ujung tombak penerimaan negara.
Kelima, mempercepat ketersediaan infrastruktur dan sarana transportasi yang amat vital dalam menunjang mobilitas barang dan manusia. Untuk itu, didirikanlah BUMN di sektor konstruksi, PT KAI, Garuda Indonesia dan Merpati, Pelni, dan sebagainya. Juga dibangun pelabuhan dan bandar udara yang dikelola oleh BUMN.
Sudah barang tentu keberadaan BUMN ada pula yang dilatarbelangi perpaduan dari faktor-faktor di atas.
Dengan berjalannya waktu dan semakin majunya perekonomian yang ditandai pula oleh peranan swasta yang semakin kuat, keberadaan BUMN dalam peta perekonomian Indonesia berubah. Ada yang fungsinya bergeser, ada yang mengalami penciutan dan bahkan dilikuidasi, dan ada pula yang semakin besar.
Oleh karena itu, wajar saja jika pemerintah melakukan penataan ulang terhadap BUMN. Mengingat perbedaan latar belakang sejarah dan beragamnya jenis usaha dengan karakteristik yang berbeda-beda pula, maka penataan BUMN tidak bisa hanya menggunakan satu cara/metode/instrumen.
Acuan yang tetap relevan untuk mempertahankan keberadaan BUMN adalah maslahat sosialnya (eksternalitas) yang tinggi. Jika usaha itu dipegang oleh swasta, ongkos privat (private cost) lebih tinggi ketimbang maslahat privat (private benefit), sehingga swasta merugi. Kalaupun swasta dibolehkan mengelola usaha itu, harga produknya cenderung mahal sehingga tak terjangkau oleh rakyat kebanyakan.
Jika BUMN yang mengelola usaha yang maslahat sosialnya tinggi (eksternalitas tinggi) merugi karena tidak efisien, maka BUMN tersebut harus disehatkan dengan langkah restrukturasasi atau korporatisasi.


Seandainya BUMN yang menghasilkan eksternalitas tinggi sudah efisien, sebaiknya terus dijaga untuk semakin sehat, bukan sebaliknya diganggu dengan menggabungkannya dengan BUMN yang sakit.
Bagaimana dengan BUMN yang maslahat sosialnya sangat rendah dan tidak efisien? Tanpa perlu banyak pertimbangan, pemerintah sepatutnya segera menutup atau melikuidasi BUMN itu. Jika BUMN yang memiliki eksternalitas rendah tetapi efisiensinya tinggi, patut dipertimbangkan untuk diprivatisasi. Sebagian pemilikan saham pemerintah bisa dijual ke pasar saham lewat initial public offering (IPO) atau dialihkan ke koperasi dan karyawan. Perusahaan yang sudah go public atau beralih kepemilikan ke koperasi atau perorangan diharapkan semakin maju dan pada gilirannya pemerintah memetik manfaat dari peningkatan pajak yang dibayar oleh perusahaan kepada negara.
Pemerintah tampaknya tidak menempuh pola pikir di atas. Pemerintah langsung memilih instrumen tunggal untuk menata BUMN dengan konsep holding. Beberapa BUMN sejenis digabung di bawah payung holding dengan menunjuk salah satu BUMN sebagai induk holding.
Dengan konsep holding, saham pemerintah di BUMN yang masuk sebagai anggota holding dialihkan ke BUMN induk. Agar pengalihan saham pemerintah memiliki landasan hukum, maka keluarlah PP No. 72/2016. Jadi, PP No.72/2016 hendak dijadikan “jalan tol” oleh pemerintah untuk mewujudkan konsep holding BUMN. Ultimate goal yang hendak dicapai oleh pemerintah adalah membentuk super holding sejenis Temasek di Singapura dan Khazanah Nasional Berhad di Malaysia.
Pemerintah lupa bahwa latar belakang dan peranan BUMN di Indonesia berbeda dengan Malaysia dan Singapura. Di kedua negara tetangga itu tidak ada kementerian khusus yang mengurus BUMN. Pada galibnya, Kementerian BUMN sudah menjalankan sebagian peran super holding.
Pemerintah juga tidak mempertimbangkan langkah-langkah beragam yang dilakukan di Singapura dan Malaysia atas BUMN mereka. Di Singapura, misalnya, bank-bank nasional tidak digabung dalam bentuk holding, melainkan dilebur dari 13 bank menjadi tiga bank. Hasilnya, ketiga bank di Singapura menjadi bank terbesar di ASEAN.
Jika pemerintah membuat holding atas empat bank BUMN yang ada, keempat bank yang ada tetap dipertahankan dengan identitas masing-masing sehingga tidak meningkatkan asset maupun modal bank tersebut. Akibatnya bank-bank BUMN Indonesia tetap saja tidak optimal dalam menjalankan fungsi intermediary-nya.
Tidak berlebihan untuk menduga bahwa langkah pemerintah dengan menerapkan konsep holding adalah untuk meminimalisasikan peranan DPR dalam pengelolaan BUMN. Dengan konsep holding, seluruh BUMN yang menjadi anggota holding tidak lagi berstatus sebagai BUMN, sehingga setiap langkah korporasi tidak agi membutuhkan izin DPR.
Dalam iklim politik dan ketatanegaraan yang berlaku, terlalu riskan membiarkan pemerintah bertindak tanpa check and balances. Jika memang pemerintah yakin pilihannya adalah yang terbaik, mengapa harus takut dengan peran pengawasan DPR dalam rangka checks and balances.
Pemerintah dan DPR sama-sama berpotensi melakukan korupsi.