Dalam konsep holding BUMN yang hingga kini menjadi kontroversi, induk holding harus BUMN yang sahamnya 100 persen dimiliki negara atau BUMN murni. Oleh karena itu, Pertamina mengambil alih PGN yang merupakan perusahaan publik. Holding BUMN perumahan terdiri dari BUMN karya dengan induknya Perumnas, karena Perumnas 100 persen milik negara. Pemikiran serupa melatarbelakangi pemilihan Danareksa sebagai induk holding yang beranggotakan semua bank BUMN. Jadi, indikator satu-satunya dalam pemilihan BUMN induk adalah 100 persen milik negara. Bakal seperti apa pada akhirnya, kita tunggu saja, mengingat perubahan kerap terjadi dalam waktu yang relatif singkat terkait dengan pengelolaan BUMN.
Holding menjadi satu-satunya pilihan, sehingga tertutup opsi terbaik untuk memajukan BUMN sesuai dengan karakteristik usaha, profil risiko, sejarah, dan misi yang diembannya. Untuk perbankan, misalnya, opsi terbaik adalah konsolidasi dengan merger antara Bank Mandiri dengan Bank BNI mengingat keduanya memiliki karakteristik yang mirip. Jika kedua bank BUMN itu digabung, maka bank gabungan itu serta merta menjadi bank terbesar ketujuh di ASEAN. Sekarang Bank Mandiri di posisi ke-11. Dengan penggabungan, efisiensi bakal meningkat, kapasitas menyalurkan kredit pun akan naik dan bisa menekan cost of fund sehingga menekan suku bunga kredit. Praktek seperti ini paling lazim di dunia, bukan dengan holdingisasi.
Apakah induk holding yang sahamnya 100 persen milik negara terkait dengan risiko terkikisnya kedauluatan negara dan sesuai dengan UUD 1945? Silakan ahli hukum yang menelaahnya.
Yang pasti, di China, yang merupakan negara komunis, empat BUMN migas mereka semuanya sudah go public, bahkan ada yang listed di New York Stock Exchange. Dalam waktu dekat, perusahaan migas milik kerajaan Saudi Arabia akan melepas sahamnya ke bursa. Jika terwujud, nilai saham yang dijual ke publik bakal memecahkan rekor dunia.

Jadi apa yang melatarbelakangi pemerintah bersikukuh menempuh model holding dengan induknya berstatus BUMN murni? Setahu saya tidak ada presedennya di dunia, dalam praktek maupun di buku teks.
Negara bisa tetap menjadi pemilik mayoritas. Saham yang dijual bisa hanya 10 persen. Kedaulatan negara tidak hanya soal kepemilikan. Pemerintah adalah satu-satunya entitas yang bisa mengatur dan mengendalikan bagaimana sumber daya dikelola bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pemerintah bisa mengatur harga seperti dalam kasus BBM dan gas.
Yang lebih menyedihkan, pemerintah tidak memiliki roadmap bakal seperti apa BUMN kita, bagaimana perannya dalam memajukan perekonomian, apa targetnya, dan masih banyak lagi.
Quo vadis kebijakan BUMN.
Sedih sekali Pak apabila BUMN dari dulu sampai sekarang masih seperti ini, andaikan ada Tim Reformasi BUMN yang “benar”seperti halnya Tata Kelola Migas kemarin niscaya akan menghasilkan banyak hal baik dan lugas (pembubaran Petral dll), maka BUMN hadir untuk negeri bukan hanya slogan dan jargon dalam bentuk bantuan dan memberikan diskon, namun bisa menopang kemandirian keuangan negara melalui PSO didukung laba yang sehat dan berkualitas.
sekarang BUMN hanya mementingkan profit semata tanpa memperhatikan apa hakekatnya BUMN, walaupun kenyataannya Profit BUMN tak sebesar profit toko kelontong. seharusnya BUMN sebagai perusahaan negara memikirkan bagaimana perusahaan dapat membantu kepentingan masyarakat, sehingga dengan hadirnya BUMN masyarakat bisa dipermudah. jangan hanya mengeluarkan kebijakan yang sok WOW, hanya demi ke eksistensian para pemangku kepentingan. Inget MAKE EFECT, MAKE PROFIT. bukan MAKE PROFIT, MAKE EFECT