Sektor pertanian yang tangguh merupakan salah satu pilar pembanguan terpenting. Salah satu ukuran keberhasilan pembangunan pertanian adalah petani yang semakin sejahtera. Jika petani sejahtera, industrialisasi memiliki pijakan kuat karena hasil industri bisa dibeli oleh mayoritas penduduk yang hidup dari sektor pertanian. Pertanian yang maju membuat rakyat berkecukupan pangan dengan harga yang patut sehingga tidak banyak bergantung pada impor. Kemajuan sektor pertanian akan mengurangi arus urbanisasi sehingga mengurangi beban kota. Yang lebih penting lagi, sektor pertanian yang mumpuni niscaya akan mengurangi tingkat ketimpangan dan mempercepat penurunan kemiskinan.
Indikasi awal menunjukkan kesejahteraan petani terseok-seok. Pertama, indeks nilai tukar petani menunjukkan kecenderungan menurun.
Tentu saja indikator itu tidak serta merta menunjukkan kesejahteraan petani sebagaimana disampaikan oleh Kementerian Pertanian dalam Surat Kementan kepada saya. Indikator ini bukan satu-satunya yang saya gunakan. Masih banyak yang lain.
Kedua, upah riil buruh tani mengalami penurunan atau pertumbuhan negatif.

Penurunan koefisien gini di pedesaan bukan ukuran yang akurat untuk menunjukkan peningkatan kesejahteraan petani sebagaimana diklaim oleh Kementan dalam suratnya. Kementan harusnya mengetahui bahwa koefisien gini tidak mengukur ketimpangan pendapatan, melainkan ketimpangan pengeluaran.
Menteri Pertanian dan Kementerian Pertanian kerap mengutarakan peningkatan produksi pertanian sebagai keberhasilan. Ya, tentu saja kita gembira jika produksi pertanian, khususnya pangan, meningkat terus menerus. Namun, data produksi banyak yang meragukan dan menimbulkan banyak kontroversi. Sampai-sampai BPS “belum berani” mengeluarkan data produksi pangan untuk tahun 2016. Lihat misalnya Overestimasi Data Produksi Pangan.
Peningkatan produksi pangan baru bisa dikatakan berhasil jika dana yang dikeluarkan untuk sektor pertanian efektif untuk meningkatkan produksi pertanian. Kenyataannya, peningkatan dana yang dikucurkan lewat APBN lebih cepat dari peningkatan produksi pertanian. Tengok sinyalemen Bank Dunia (2017):
In agriculture, large increases in government spending have not been associated with similar increases in agricultural production or even rice production, such that the ratio of spending to output in agriculture is increasing (Figure). This is partly because a large proportion of the increase in central government spending has gone to subsidize inputs (fertilizer subsidies, other agricultural subsidies, and MoA social aid). This proportion reached 47% in 2015, while only 3% was spent on R&D and extension services.
Dukungan pemerintah ke sektor pertanian meningkat berlipat ganda, sementara negara lain sebaliknya. Jika hasilnya amat dirasakan oleh petani, tentu saja kita senang.

Dukungan pemerintah untuk sektor pertanian di banyak negara antara lain untuk menopang ekspor. Yang terjadi di Indonesia, ekspor sektor pertanian terus merosot.

Tak kurang dari Menko Perekonomian gundah dengan kenyaataan itu. Lihat Darmin Risau, Rp 50 T Setahun Habis untuk Pertanian Tapi Hasil Tak Sepadan.
Di sisi lain, konsumen tak henti dihadapkan pada kenaikan harga pangan. Berbagai kebijakan pemerintah semakin menggerus kocek konsumen.

Harga beras di Indonesia menunjukkan kecenderungan kenaikan yang persisten dan jauh lebih mahal ketimbang di Thailand, Vietnam, dan India. Selain itu, tren perkembangan harga beras di Indonesia berlawanan dengan harga beras di pasar internasional.

Tren yang berlawanan tenjadi pula untuk beberapa jenis pangan lain seperti daging sapi dan gula. Berikut harga daging sapi.

DI bawah ini perkembangan harga gula.

jadi, persoalan pangan dan kebijakan pertanian tampaknya tidak banyak menolong petani dan juga mencekik konsumen. Peraga di bawah menunjukkan kenaikan harga beras lebih cepat dari kenaikan harga gabah kering di tingkat petani. Sebaliknya, jika harga harga turun, penurunan paling tajam dialami petani. Pada Desember 2016 misalnya, harga eceran beras hanya turun 0,12 persen, tetapi harga gabah kering petani melorot 9,67 persen.
Jadi siapa yang diuntungkan atau lebih diuntungkan atau lebih dirugikan? Yang hampir pasti, yang paling berkeringat paling sedikit menikmati.

Kenaikan harga pangan cukup besar menyumbang pada angka kemiskinan.

Kementan membangga-banggkan peningkatan produksi jagung. Karena klaim produksi meningkat pesat (dengan data yang masih dipertanyakan), Kementan menghambat impor jagung. Akibatnya memang fantastik. Impor jagung pakan turun sangat tajam dari 3,3 juta ton tahun 2015 menjadi 1,2 juta ton (angka perkiraan, angka realisasi Januari-Oktober = 0,9 juta ton). Pengusaha pakan ternak dan peternak kalang kabut. Mencari jagung di pasar domestik kesulitan dengan harga bersaing. Untuk bisa bertahan, sebagai penggantinya mereka akhirnya mengimpor gandum pakan. Akibatnya, impor gandum pakan naik dari hanya 0,02 juta ton tahun 2015 menjadi 2,5 juta (perkiraan, angka realisasi Januari-Oktober = 1,8 juta ton). Akibatnya, “penghematan” devisa dari penurunan impor jagung senilai 448,3 juta dollar AS pada tahun 2015 lebih kecil dari tambahan devisa yang terkuras untuk peningkatan impor gandum pakan senilai 479,5 juta dollar AS. Ujung-ujungnya konsumen membayar lebih mahal untuk daging ayam dan telur ayam.
Quo vadis kebijakan pertanian Indonesia.
Nah, gini pak kritik yang membangun dengan data. Saya respek jika hasil2 kajian seperti ini kongkrit dan bisa dipertanggung jawabkan, jika kritik hanya berasumsi: “Pemerintahan Bobrok, Bodoh..dsb” sama saja dengan guk guk..
Pertanyaan saya: Apakah yang seperti ini sudah bapak sampaikan ke Mentan? dan ktika bapak dulu brada di lingkaran pemerintahan, apakah data2 seprti ini sudah muncul? Lalu bgaimana jika apa yg bpk sampaikan ini bisa dipandang luas masyarakat dan di terima oleh kementrian tanpa harus menghujat?
Salam
Rasanya bukan dari saya saja yang telah sampai ke Kementan. Banyak pula inisiatif dari komunitas pertanian yang terbukti memberikan hasil yang sangat baik.
Saya tak pernah menduduki jabatan di pemerintahan, cuma sekedar beberapa kali diminta masih tim ad hoc seperti di tim reformasi tata kelola migas. Sesekali diminta masukan oleh beberapa kementerian. Ada yang didengar ada pula yang tidak. Tugas kita terus mengingatkan dan memberikan solusi alternatif.
Mentan akan berdalih: “siapapun menterinya Indonesia msh akan tetap begini2 saja … membangun pertanian itu sulit … tolong jangan ganggu saya”
Banyak sekali gagasan cemerlang dari para ahli pertanian kita. Mungkin mereka perlu lebih sering didengar.
pak faisal.sektor pertanian mendapat perhatian sangat besar di era rejim ini sementara tidak demikian di masa rejim sebelumnya.cost belum seimbang dengan harapan pak darmin bisa jadi karena sebagian dibelanjakan dalam bentuk mesinery sebagai barang bukan habis pakai, jadi inves agak panjang.eforia itu belum menyentuh kehidupan komprehensif kehidupan petani sehingga mereka masih terpuruk.sektor non pertanian terasa tidak berkeringat seberat sektor pertanian (jual ore tambang tanpa menanam, jual minyak dll yang semuanya non renewable) sementra sektor pertanian bukan matematis, karena ada proses pencetakan lahan dan rekaveri kesuburan tanah. komplekslah
Di masa Orde Baru pembangunan pertanian lebih terarah dan terencana lewat Repelita. Di masa SBY agak tercecer. Di masa SBY-lah kita mengalami defisit pertanian (ekspor lebih rendah dari impor). Di masa pemerintahan sekarang tekadnya kuat, tapi kerap menggunakan jalan pintas. Banyak kajian yang menunjukkan ketidakefektifan kebijakan, bahkan ada yang melemahkan usaha rakyat.
Bagaimana peran koperasi, apakah masih efektif bila di optimalkan lagi?
terima kasih
Sangat efektif sebagai gerakan menghimpun kekuatan rakyat yang berserakan untuk menghadapi kaum kapitalis kota.
Pak Faisal, terima kasih atas tulisan-tulisannya yang mencerahkan. Sebagai pembelajaran di tingkat pemerintahan terkecil (Kabupaten), mohon saran Pak Faisal apa saja indikator pembangunan pertanian yang relevan untuk tingkat kabupaten? Terima kasih