Itulah salah satu pokok persoalan yang mengemuka dalam diskusi ”Mencari Arah Pendidikan Indonesia” yang diselenggarakan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) bersama Kompas, Senin (21/4). Diskusi menghadirkan pembicara Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Komaruddin Hidayat, Ketua Umum PGRI Sulistiyo, Direktur Pendidikan Karakter Education Consulting Doni Koesoema, dan dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Faisal Basri.
Acara ini dihadiri pula oleh mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Wardiman Djojonegoro, pemikir kebangsaan Yudi Latif, Koordinator Pemantauan Indonesia Corruption Watch Febri Henri, dan Direktur Majalah Sains Kuark Sanny Djohan.
Potensi sebagai negara agraris dan kelautan, misalnya, tidak tecermin dalam konsep pendidikan. Salah satu bukti kesalahan konsep ialah penutupan sekolah menengah pertanian yang dulu berkembang. Padahal, seharusnya pendidikan membantu masyarakat mengenali potensi diri, lingkungan, dan bangsanya.
”Pendidikan itu proyek sejarah bangsa. Setiap individu tak hanya memikul agenda diri, tetapi juga agenda bangsa,” kata Komaruddin.
Doni menilai, konsep pendidikan seharusnya disesuaikan dengan konstitusi. Dalam Pembukaan Undang-Undang 1945, tujuan negara ialah menjaga perdamaian dunia. Itu diwujudkan melalui peran Indonesia menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika tahun 1955 di Bandung. ”Menjaga perdamaian dunia hanya bisa dijalin jika pendidikan mengembangkan kerja sama, bukan persaingan individu seperti sekarang ini,” kata Doni.
Tak ada standar
Indonesia juga tidak memiliki standar untuk mengukur keberhasilan pendidikan. Keberhasilan diukur dari kelulusan nilai ujian nasional sebagai puncaknya. Akibatnya, kata Faisal Basri, kualitas pendidikan tidak membaik. Hasil Programme for International Student Assessment (PISA) 2012, misalnya, Indonesia berada di peringkat ke-64 dari 65 negara, sedikit lebih baik daripada Peru (peringkat terbawah). Rata-rata skor matematika anak Indonesia 375, rata-rata skor membaca 396, dan skor sains 382. Padahal, rata- rata skor negara anggota Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) adalah 494, 496, dan 501.
Faisal menilai, pemerintah tak berani menetapkan target. ”Semestinya, pemerintah memasang target, misalnya peringkat ke-40 dalam waktu lima tahun,” katanya. Indonesia pelit terhadap hal yang bersifat transformatif, seperti penelitian dan pengembangan pendidikan.
”Anggaran habis untuk birokrasi pendidikan, bukan untuk murid dan guru,” ujarnya. Tanpa penelitian dan pengembangan pendidikan yang jelas, tak tercipta bangsa inovatif dan generasi yang sanggup menyelesaikan masalah. (LUK/ELN/THY)
Sumber: http://print.kompas.com/2014/04/22/Cenderung-Pemenuhan-Kepentingan-Pribadi