Sesat Pikir Kebijakan Makroekonomi (II)

Belum ada komentar

Pemburukan nilai tukar rupiah lebih banyak bersumber dari faktor “internal” ketimbang faktor eksternal semisal tapering semakin kuat kalau menengok data perdagangan luar negeri Bank Indonesia.  Surplus perdagangan barang di neraca pembayaran (lihat tabel pada tulisan sebelumnya: “Sesat Pikir Kebijakan Makroekonomi I”) melorot tajam dari 34,8 miliar dollar AS tahun 2011 menjadi hanya 8,6 miliar dollar AS tahun 2012. Kemerosotan terus berlangsung sampai akhirnya berbalik menjadi defisit sejak triwulan II-2013. [Neraca pembayaran mencatat data ekspor maupun impor berdasarkan nilai fob.]

Menurut versi BPS–yang mencatat data ekspor berdasarkan nilai fob dan data impor berdasarkan nilai cif–defisit transaksi perdagangan sudah terjadi sejak tahun 2012 sebesar 1,6 miliar dollar AS. Selama Januari-Oktober 2013 defisit perdagangan total naik tajam menjadi 6,3 miliar dollar AS.

Kian mengkhawatirkan jika mencermati data bulanan BI yang tercantum dalam publikasi “Tinjauan Kebijakan Moneter” (TKM).  Dalam publikasi itu, transaksi perdagangan nonmigas sekalipun telah mengalami defisit. Selama Januari-Oktober 2013, defisit perdagangan nonmigas sudah mencapai 8,8 miliar dollar AS. Bahkan selama empat bulan terakhir (Juli-September) defisitnya lebih besar lagi, yaitu 11,283 miliar dollar AS atau 2,8 miliar dollar As rata-rata setahun. [Data TKM untuk ekspor berdasarkan nilai fob dan untuk impor berdasarkan nilai c&f.]

Dengan demikian, pemburukan transaksi perdagangan tidak lagi semata-mata karena defisit minyak yang kian menggelembung, melainkan juga sudah merembet ke transaksi perdagangan nonmigas.

nog

Sekedar penguat bahwa arus modal asing tetap deras masuk ke Indonesia, pada tahun 2013 untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia menjadi negara paling menjanjikan di mata perusahaan manufaktur Jepang yang beroperasi di luar negeri. Selama ini China selalu berada di puncak.

jbic