Menteri Perindustrian MS Hidayat mengatakan rakyat kecil harus diberikan kesempatan untuk bisa membeli mobil murah (lihat http://kom.ps/AF1nnn). Apa kriteria murah? Bukankah murah karena bebas Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)? Bukankah murah karena cc-nya kecil? Bagaimana dengan ramah lingkungan? Apa karena irit bensin? Bukankah irit karena cc-nya kecil?
Julukan low cost green car (LCGC) atau mobil murah ramah lingkungan saja sudah cenderung menyesatkan. LCGC beda dengan mobil hybrid yang diproduksi di Thailand yang sudah pasti jauh lebih ramah lingkungan. Bukan juga mobil listrik yang dipelopori oleh Meneg BUMN, Dahlan Iskan.
Kementerian Perindustrian merekomendasikan LCGC menggunakan BBM non subsidi. Namun, karena sifatnya imbauan, pihaknya tidak bisa memaksa pemilik kendaraan menggunakan Pertamax. “Kalau di jalan saya tidak paksa pemilik kendaraan beralih dari premium,” kata Budi. Lihat http://www.kemenperin.go.id/artikel/5289.
Beda lagi dengan Menteri Keuangan yang mengatakan mobil murah sudah dirancang sedemikian rupa tidak menggunakan BBM bersubsidi (lihat http://de.tk/vg2ml).
Mercedes Benz saja banyak yang pakai BBM bersubsidi. Maka sangat mudah mengakali LCGC pakai BBM bersubsidi. Kalau LCGC dilarang pakai BBM bersubsidi, mengapa tak ada sanksi bagi mobil yang lebih mewah jika pakai BBM bersubsidi? Bukankah menurut Menperin LCGC ditujukan untuk rakyat kecil dan menengah? Kenapa rakyat kecil tak boleh menikmati subsidi BBM?
Kita mendukung pengembangan industri, apalagi yang ramah lingkungan dan memberikan efek berganda (multiplier effect) yang besar bagi perekonomian. Misalnya mobil itu meningkatkan nilai tambah di dalam negeri yang sehingga menghemat devisa. Katakanlah, jika mobil itu senilai 100, maka 70 mengalir di dalam negeri, bukan sebaliknya lebih banyak yang mengalir ke luar negeri. Jadi, jangan semata-mata menggunakan kriteria kandungan lokal yang semua, misalnya sebagian besar komponen diproduksi di dalam negeri, tetapi komponen tersebut tidak signifikan dari nilainya dan hanya hasil perakitan semata.
Niscaya program pemerintah akan memperoleh dukungan luas kalau yang dihasilkan adalah transportasi yang dibutuhkan rakyat banyak. Mulailah dengan bajaj ramah lingkungan atau bus untuk transportasi umum atau transportasi yang menopang pembangunan pedesaan dan kota-kota di luar Jawa. Hasilnya bisa dibeli oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk mendukung transportasi umum. Tak diperlukan teknologi yang canggih untuk produksi bajaj ramah lingkungan. Pemerintah tinggal menyediakan stasiun pengisian bahan bakar gas. Dana bebas PPnBM yang pasti triliunan rupiah bakal cukup untuk menggerakkan industri otomotif secara proper dan pro-rakyat.
Kebijakan yang tidak cermat memang niscaya menimbulkan kontroversi luas.
saya sependapat dengan Bapak
saya bingung arah kebijakan LCGC, ada hal-hal yang kontradiktif dengan kebijakan yang lain (pengurangan subsidi, pengembangan transportasi massal, pengurangan emisi, dll)
saya membayangkan, suatu saat nanti LCGC justru akan membuat repot pemerintah. subsidi BBM meningkat, kemacetan… jika memang sebagai langkah menuju mobil nasional, mestinya transfer teknologi juga perlu diatur — kalau perlu soal nasionalisasi perusahaannya juga, hehehe
apakah pemerintah saat ini sedang disorientasi ya? (saya mengalami bukan soal ini saja kebijakan pemerintah yang tidak jelas arahnya….)
satu lagi, Permenperin menggunakan terminologi “kendaraan bermotor roda empat yang hemat energi dan harga terjangkau”. menurut saya, hemat energi belum tentu ramah lingkungan. kriterianya belum lengkap karena tidak memasukkan standar emisi gas buang (Indonesia baru menuju Euro 3 tahun 2014, sementara di Eropa sudah sampai Euro 6…). jadi, memang kayaknya kurang tepat dinamai LCGC.
Setuju pak Faisal, statement MenPerIn lebih mengarah kepada tujuan Departemen yang beliau pimipin untuk menciptakan peluang new Industry, sehingga menurut saya statement beliau adalah sebagai pembenaran atas keputusan tersebut, tetapi dari aspek lainnya hal ini adalah bentuk kapitalisasi dunia terhadap kita (warga indonesia) setelah serangan motor dengan murah (dp yg murah) dan berakibat banyak kredit macet sehingga pemerintah memberlakukan Dp lebih tinggi dari sebelumnya, atau meningkatnya pembangunan rumah tinggi (Industri Property) tetapi kepemilikan rumah tersebut hanya dikuasai oleh kalangan menengah ke atas.
Dari sana, saya melihat masyarakat kecil kita harusnya bukan diberikan kesempatan “memiliki mobil” tetapi hidup yang layak dengan tersedia sarana transportasi yang memadai dan baik sehingga problem transportasi karena belum memiliki kendaraan bisa di eliminir, ini PR penting bagi pemerintah, karena kalau dipaksa juga Industri mobil murah, yang akan menikmati kalangan tertentu.
Bagaimana kalau LCGC justru digunakan sebagai bentuk transportasi umum alternatif…
Jadi semacam rent-a-car yang harus dikembalikan ke pool-nya setelah masa sewa habis berlaku?
Menggunakan tracking system sehingga bisa dilacak kalau ada yang bandel tidak mengembalikan..
Sangat sependapat dengan tulisan di atas. Harusnya pemerintah mulai melakukan gebrakan untuk memajukan pertumbuhan otomotif nasional dengan membuat manufaktur kendaraan umum. Selain bisa dipakai di dalam negeri, kalau mau diekspor juga. Kalau kita kalah dibidang industri mobil dan motor dengan merk-merk asing, kenapa tidak mencoba memulai kembali dengan industri transportasi umum. Insinyur kita sudah bisa bikin, pemerintah yang berkewajiban membuka pasarnya. ๐
Indonesia bukan Jakarta dan Pulau Jawa saja,
kapan lagi masyarakat yang penghasilan tanpa tambahan KORUPSI bisa beli mobil, !!
Kapan lagi rakyat kebanyakan bisa menikmati transportasi publik yg aman, nyaman, dan terjangkau.
begitulah pemerintah kita, lebih mementingkan kebijakan sesaat dibandingkan transportasi publik yang berkualitas
semoga bakal muncul pemimpin yang lebih mengutamakan kepentingan rakyat banyak, transportasi publik yang aman, nyaman, dan terjangkau.