Seminggu ini halaman depan media massa dipenuhi berita kemerosotan rupiah dan kejatuhan harga saham. Ada yang mengganggu pada pemberitaan tentang besaran kemerosotan nilai tukar rupiah.
Ambil contoh cuplikan ini: “Sementara kurs tengah BI menunjukkan nilai rupiah turun 72 poin atau 0,67 persen ke level Rp 10.795 per dollar AS.” (Kompas, 23 Agustus 2013, hal. 1 dan 15.)
Angka 0,67 persen didapat dari kurs tanggal 22 Agustus 2013 (Rp 10.795 per dollar AS) dibandingkan dengan kurs sehari sebelumnya (Rp 10.723 per dollar AS) atau bisa dirumuskan
(Rp 10.795 – Rp10.723) / Rp 10.723 x 100 persen = +0,67145 persen.
Jika disederhanakan kita dapatkan angka +0,67 persen yang persis dengan isi berita.
Angka +0,67 persen itu sebetulnya bukan besaran kemerosotan rupiah, melainkan besaran penguatan dollar AS, karena yang menjadi acuan adalah dollar AS. Bukti penguatnya adalah tanda positif, yang berarti memang dollar AS-lah yang menguat, sebagaimana terlihat di bawah ini.
Tanggal 21 Agustus US$1 = Rp 10.723
Tanggal 22 Agustus US$1 = Rp 10.795
Seharusnya, kalau kita hendak menghitung perubahan nilai rupiah, acuannya harus rupiah, sebagai berikut.
Tanggal 21 Agustus Rp 1 = US$0.000093255748
Tanggal 22 Agustus Rp 1 = US$0.00009263547
Dengan menggunakan formula persentase perubahan yang sama, kita akan memperoleh angka penurunan nilai rupiah sebesar -0,66698. Jika disederhanakan menjadi dua angka di belakang koma, kita memperoleh angka yang persis sama dengan isi berita, yaitu -0,67 persen. Tanda minus berarti memang nilai rupiah merosot.
Jika faktor tanda (plus dan minus) diabaikan, perbedaan kedua perhitungan sangat kecil. Namun, jika kita menghitung perubahan untuk kurun waktu yang lebih panjang, perbedaannya semakin melebar.
Baris pertama membandingkan kurs 23 Agustus 2013 dengan kurs terkuat rupiah pada 2 Agustus 2011. Perhitungan yang benar menghasilkan kemerosotan rupiah sebesar 22,01 persen, sedangkan cara yang salah kaprah menghasilkan kemerosotan sebesar 28,23 persen dan baris ketiga perubahan rupiah year to date.
Baris kedua menghitung perubahan nilai tukar rupiah year on year dan baris ketiga untuk year to date. Ada pun baris keempat dan kelima masing-masing menghitung perubahan rupiah pada posisi 23 Agustus 2013 dibandingkan sebulan yang lalu dan seminggu yang lalu.
Memang, agak kurang menyenangkan menghitung dengan cara yang benar, karena menghasilkan angka di belakang koma yang banyak, nol koma nol nol nol nol ……. Semoga nanti, kalau rupiah sudah diredenominasi akan lebih nyaman.
Semoga pula tidak lagi terjadi salah kaprah yang lain seperti ucapan Wakil Presiden: “Wakil Presiden Boediono saat kuliah umum peserta program pendidikan Lemhannas menolak istilah pelemahan rupiah. Bagi mantan Gubernur BI itu, kondisi di pasar valuta ini lebih mengindikasikan terjadinya fenomena penguatan dollar AS. Maka, istilah pelemahan rupiah perlu diganti dengan istilah penguatan dollar AS. ”Implikasi kebijakan (dari kedua istilah tersebut) berbeda. Jangan sampai kita salah mendefiniskan masalah yang terjadi kini,” ujarnya.” (“ADB: Jangan Anggap Enteng,” Kompas, 23 Agustus 2013, hal. 1 dan 15.)
maaf ada kesalahan. Kalimat “sedangkan cara kedua mengukur pelemahan rupiah” seharusnya “sedangkan cara pertama….” Sudah dikoreksi. Terima kasih banyak.