Utang ibarat obat. Dosisnya harus pas. Jika kurang dari takaran yang ditetapkan dokter, obat membuat penyakit atau rasa sakit bergeming. Kalau terlalu banyak atau melebihi dosis, obat berpotensi merusak organ tubuh atau menimbulkan komplikasi. Bisa juga menciptakan ketergantungan pada obat atau kecanduan sehingga merusak tubuh.
Nyaris tak ada negara yang tak berutang, entah negara kaya atau pun negara miskin. Utang merupakan perangkat yang menyatu dengan kebijakan fiskal umumnya dan kebijakan anggaran pemerintah khususnya, kalau di Indonesia APBN.
Salah satu fungsi kebijakan fiskal adalah memengaruhi perkembangan ekonomi. Jika perekonomian sedang lesu atau pertumbuhan ekonomi melemah karena konsumsi rumahtangga dan investasi swasta turun, pemerintah menambah daya dengan memperbesar belanja untuk menstimulasi perekonomian. Lazimnya dalam keadaan seperti ini pemerintah tak menggenjot pajak sebagai sumber pembiayaan, melainkan menambah utang dengan mengeluarkan surat utang negara atau obligasi.
Sebaliknya, jika perekonomian tumbuh terlalu cepat, di atas rata-rata pertumbuhan jangka panjang atau tingkat full employment atau telah melebihi output potensial, pemerintah mengeluarkan jurus untuk meredamnya agar perekonomian tidak kepanasan (overheating) sehingga tidak menimbulkan gejolak harga atau inflasi tinggi. Caranya adalah dengan mengurangi belanja pemerintah dan atau menaikkan pajak. Bank sentral ikut serta menjinakkan perekonomian dengan menaikkan suku bunga untuk meredam belanja masyarakat dan mengurangi laju peningkatan investasi. Juga dengan menjual surat berharga agar sebagian uang beredar tersedot.
Utang pemerintah berfungsi pula untuk memanfaatkan momentum pertumbuhan. Dalam tulisan bertajuk “Peluang Emas” yang bisa diunduh di wp.me/p1CsPE-hj ditunjukkan bahwa kita sedang menikmati bonus demografi. Momentum ini harus dimanfaatkan agar kita bisa lebih cepat memerangi kemiskinan, menciptakan lapangan kerja yang berkualitas, meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan menegakkan keadilan.
Kita masih menghadapi kendala keterbatasan infrastruktur. Listrik kurang, jalan jalan darimemadai, pelabuhan banyak yang tak terurus, bandara semakin berjejal, gedung sekolah banyak yang rusak, air bersih terbatas, hanya sekitar separuh saluran irigasi yang dalam keadaan baik, dan banyak kekurangan lainnya. Kita berpacu dengan waktu. Tak sampai 17 tahun lagi kita memasuki fase aging population.
Kalau menunggu sampai tingkat kesejateraan tinggi dan penerimaan pajak cukup untuk membiayai suluruh kebutuhan pembangunan, mungkin belum akan kunjung tercapai sampai masuk fase aging population sekalipun.
Bukankah ketika penduduk usia produktif sedang pada puncaknya merupakan masa paling tepat untuk berutang? Sama seperti perorangan. Orang muda dan produktif lebih diutamakan berutang ketimbang orang tua, apalagi pensiunan.
Yang penting utang pemerintah digunakan untuk kegiatan-kegiatan produktif yang menopang penduduk usia produktif mampu mengaktualisasikan segala potensi terbaiknya.
Di sinilah kira melihat ironi. Pemerintah justru tak henti-henti menurunkan nisbah utang terhadap produk domestik bruto (debt to GDP ratio) dan mengklaim pencapaian itu sebagai prestasi membanggakan. Dalam pidato mengantarkan RAPBN 2014 pada 16 Agustus lalu, Presiden menegaskan: “… kita upayakan penurunan rasio utang pemerintah terhadap PDB pada akhir tahun 2014 menjadi sekitar 22-23 persen.” Padahal sejak tahun 2000 nisbah utang pemerintah terhadap PDB telah meluncur turun sangat tajam.
Sedemikian tajamnya sehingga Indonesia merupakan negara yang tingkat utangnya tergolong paling rendah di dunia. Memang negara-negara maju seperti Jepang, Amerika Serikat, dan negara-negara Zona Eropa utangnya sudah sangat eksesif, padahal hampir seluruh negara itu sudah lama memasuki aging population. Singapura bisa maju pesat juga karena pemerintahnya berutang. Tak tanggung-tanggung, rasio utang Singapura sudah menembus 100 persen PDB.
Undang-Undang Keuangan Negara menetapkan batas maksimum utang pemerintah sebesar 60 persen PDB dan defisit APBN maksimum 3 persen PDB. Di tengah pertumbuhan ekonomi yang menurun, justru pemerintah mengurangi target defisit dari 2,4 persen di APBN-P 2013 menjadi 1,5 persen di RAPBN 2014. Pada waktu bersamaan pemerintah justru menaikkan nisbah pajak (tax ratio) dari 12,2 persen pada tahun 2013 menjadi 12,6 persen pada tahun 2014. Lihat tulisan “Inkonsistensi RAPBN 2014” yang bisa diunduh di wp.me/p1CsPE-fT.
Dengan arah kebijakan demikian, agaknya momentum percepatan pertumbuhan bisa meredup dan menjauh dari target pertumbuhan yang telah ditetapkan pemerintah sendiri di RPJM 2009-2014.
Penurunan nisbah utang bukanlah prestasi, melainkan menyia-nyiakan momentum menyongsong gerbang kejayaan 2045, kala Indonesia merayakan seabad merdeka.
yang namanya Riba pasti akan selalu mendatangkan bencana Ustadz Faisal, hikmah belajar ilmu ekonomi khan bisa melihat dari sudut pandang Makro. bahwa Riba (atau hutang atau investasi) dengan motif imbal jasa duniawi tidak pernah mampu diimbangi produktivitas sektor riil. Dari situ kesimpulan yang bisa dipetik adalah meninggalkan sistem ribawi berorientasi dunia. Coba motif orang memegang uang ketiga untuk spekulasi diganti menjadi saya meminjamkan uang karena mengharap ridho Tuhan Yang Maha Esa. mau balik mau tidak saya “niagakan” dengan Tuhan.
Toh dalam pengamatan saya, Sila Pertama Pancasila “Ketuhanan Yang Maha Esa”, menghendaki hal yang demikian. karena kita bukan negara Sekuler, dan tidak ada satu pun agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia yang membolehkan sistem Riba.
Pinjam meminjam (Hutang Piutang) ya hanya dengan motif saling tolong menolong dalam kebaikan bukan mengharapkan keuntungan dari harta titipan Tuhan. konsep harta punya saya adlaah konsep Kapitalis yang Sekuler, tapi memang implementasi ideologi Pancasila di Indonesia hanya sebatas kertas ujian Kewarganegaraan dan Pancasila. Kalau masih Sekuler berarti tidak Pancasilais. Jangan Ngarep Nyalon jadi RI -1 atau DKI-1.
terima kasih telah berkunjung ke sini dan mengomentari.