“……. Untuk itu dibutuhkan perubahan pola pikir (mindset) yang didasari oleh semangat “Not Business As Usual”.” (MP3EI, hal. 20)
“Perubahan pola pikir paling mendasar adalah pemahaman bahwa pembangunan ekonomi membutuhkan kolaborasi bersama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN, BUMD dan Swasta (dalam semangat Indonesia Incorporated). Perlu dipahami juga kemampuan pemerintah melalui ABPN dan APBD dalam pembiayaan pembangunan sangat terbatas. Di sisi lain, semakin maju perekonomian suatu negara, maka semakin kecil pula proporsi anggaran pemerintah dalam pembangunan ekonomi. Dinamika ekonomi suatu negara pada akhirnya akan tergantung pada dunia usaha yang mencakup BUMN, BUMD, dan swasta domestik dan asing.” (MP3EI, hal. 20)
Kita tentu sepakat bahwa pembangunan sejatinya merupakan upaya kolektif seluruh komponen bangsa. Negara sebagai leading sector atau aktor utama dalam pembangunan adalah model yang sudah usang dan tidak realistik. Model pembangunan yang lebih realistik adalah bahu membahu seluruh pemangku kepentingan yang meliputi pemerintah (pemerintah pusat dan pemerintah daerah), dunia usaha (BUMN, BUMD, koperasi, swasta), perguruan tinggi, dan masyarakat.
Betapa sangat disayangkan MP3EI mempersempit pelaku pembangunan sebatas pemerintah dan dunia usaha semata. Lingkup dunia usaha pun tanpa menyertakan koperasi. Perguruan tinggi dan lembaga riset, organisasi non-pemerintah dan masyarakat dikesampingkan. Tak berlebihan untuk mengatakan bahwa dalam konsep MP3EI, masyarakat dipandang sebagai obyek pembangunan, bukan subyek pembangunan.
Kelanjutan dari cara pandang MP3EI tentang peran negara dapat dijumpai pada halaman 21: “Semangat Not Business As Usual juga harus terefleksi dalam elemen penting pembangunan, terutama penyediaan infrastruktur. Pola pikir masa lalu mengatakan bahwa infrastruktur harus dibangun menggunakan anggaran Pemerintah. Akibat anggaran Pemerintah yang terbatas, pola pikir tersebut berujung pada kesulitan memenuhi kebutuhan infrastruktur yang memadai bagi perekonomian yang berkembang pesat. Saat ini telah didorong pola pikir yang lebih maju dalam penyediaan infrastruktur melalui model kerjasama pemerintah dan swasta atau Public-Private Partnership (PPP).”
Bentuk kerja sama antara pemerintah dan dunia usaha harus dilandasi oleh pembagian tugas dan peran yang lugas. Negara berkewajiban menyediakan pelayanan publik yang memadai. Besarnya tercermin dari persentase konsumsi pemerintah (Cg) terhadap produk domestik bruto (PDB). Jika Cg terlalu kecil, maka pelayanan publik tidak akan memadai dan tidak proper. Peraga di bawah menunjukkan perbandingan dengan berbagai negara. Tampak betapa Cg di Indonesia relatif sangat kecil, di bawah 10 persen, dan hanya lebih tinggi dari Vietnam, Bangladesh, dan Kamboja. Dalam kehidupan sehari-hari kita kerap merasakan dan mengalami sendiri tentang tak hadirnya peran negara. Akibatnya preman merajalela dan hukum tak tertegakkan,


Selain pelayanan publik, negara juga mengemban kewajiban menyediakan barang dan jasa publik dan kuasi-publik, seperti jalan, jembatan, air bersih, pelabuhan, sarana pendidikan dan kesehatan. Dalam banyak hal kewajiban negara ini tak ditunaikan secara patut. Kemacetan yang terjadi di kota-kota besar, kondisi pelabuhan yang buruk, transportasi publik yang karut marut, keterbatasan air bersih, merupakan cerminan dari peran negara yang melempem.
Jangan bicara dulu kolaborasi pemerintah dengan swasta untuk pembangunan infrastruktur kalau pengeluaran pemerintah masih relatif sangat kecil dibandingkan negara-negara tetangga sebagaimana terlihat pada peraga di bawah ini.

Jika negara tak mengeluarkan uang satu sen pun untuk modernisasi dan peningkatan kapasitas pelabuhan, lantas atas nama PPP memberikan konsesi 75 tahun kepada swasta asing untuk mengoperasikannya, apakah ini yang disebut “not business as usual” dan Indonesia incorporated?
Benarkah jika pemerintah tidak melaksanakan kewajibannya memelihara jalan negara sehingga kondisinya banyak yang rusak parah, lantas atas nama “not business as usual” dan “perubahan pola pikir” lewat skema PPP, pemerintah menawarkan kepada dunia usaha untuk membuat jalan tol?
Skema PPP bukan untuk mengalihkan peran negara ke swasta yang disebabkan karena pemerintah abai menjalankan peran dan fungsinya. Ketidakmampuan pemerintah disebabkan oleh “ulah” pemerintah sendiri. Buktinya, sudah puluhan tahun subsidi energi di APBN selalu lebih besar dari belanja modal.

Ongkos mahal yang harus dibayar untuk subsidi energi (BBM dan listrik) yang tidak tepat sasaran itu menyebabkan kapasitas fiskal tergerus dan membuat peran pemerintah semakin loyo. Alih-alih menyelesaikan akar masalahnya, pemerintah kian gencar mengundang swasta untuk menutup bolong yang digali sendiri oleh pemerintah.
Mengapa India yang lebih miskin dari kita bisa menggelontorkan investasi publik sampai sekitar 8 persen PDB, jauh lebih besar dari Indonesia yang hanya sekitar 3 persen PDB saja. Malaysia dan Thailand juga lebih tinggi dari Indonesia, masing-masing sekitar 9 persen PDB dan 6 persen PDB.
Tidak masanya lagi menggunakan jargon-jargon gagah-gagahan namun keropos makna dan tak jelas duduk perkaranya. Jangan sampai MP3EI dijadikan sebagai sarana bancakan atau pemburuan rente model kuno sebagaimana tumbuh subur di masa orde baru.
Jangan gantungkan nasib sepenuhnya pada dunia usaha seperti tercerminkan dari penggalan kutipan dari MP3EI yang tercantum di awal tulisan ini: “Dinamika ekonomi suatu negara pada akhirnya akan tergantung pada dunia usaha yang mencakup BUMN, BUMD, dan swasta domestik dan asing.”
Akankah kita biarkan MP3EI membawa negeri ini pada kesesatan? ***
Hai Uda ical, apa kabar? Ga sengaja lagi browsing liat ini. Trims tulisannya jadi salah satu references buat paper tentang economic development di sector agriculture. Thank youu!