Di Era Gemuruh Reformasi
Mas Amien Rais dan saya berasal dari dunia yang berbeda. Latar belakang pendidikan Mas Amien adalah ilmu politik sedangkan saya ilmu ekonomi. Selain mengajar, Mas Amien adalah tokoh Muhammadiyah, sedangkan saya tak berafiliasi dengan organisasi kemasyarakatan mana pun walau kerap terlibat dalam beragam kegiatan lembaga swadaya masyarakat. Mungkin karena itu kami nyaris tak pernah bertemu di dalam suatu forum. Seingat saya, kami bertemu pertama kali di suatu forum diskusi yang membahas persoalan perburuhan di suatu hotel di Jakarta. Posisi duduk kami berjauhan sehingga menyapa pun tidak. Dan kami tak saling kenal secara pribadi.
Pertemuan kedua terjadi di kampus UI Depok ketika digelar demontrasi besar kedua di dalam kampus UI. Mas Amien dan saya berorasi di atas panggung. Seingat saya hanya kami berdua yang berorasi. Kala itu Mas Amien sangat dielu-elukan dan sudah menjadi tokoh sentral gerakan reformasi. Demontrasi pertama berlangsung beberapa minggu sebelumnya di lapangan parkir seberang FISIP-UI. Kala itu orasi dilakukan di atas atas mobil. Perlawanan terhadap Soeharto secara terbuka berawal dari sini, yang diorganisasikan oleh keluarga Besar (KB) UI. Setelah demonstrasi pertama itu, KB-UI mendirikan posko 24 jam. Majalah Ummat mencantumkan foto demontrsi pertama ini. Pada pertemuan kedua kami hanya sempat bersalaman. Sesuai acara Mas Amien dikerubungi para mahasiswa dan aktivis pergerakan dan langsung meninggalkan kampus.
Pertemuan ketiga terjadi di Bonn pada acara konferensi yang digelar oleh Infid (Indonesia NGO for Indonesia Development). Puluhan aktivis dari Indonesia dan berbagai negara yang peduli tentang Indonesia hadir dengan Mas Amien sebagai pembicara kunci. Walau banyak yang masih memandang Mas Amien sektarian, pada umumnya para peserta menerima Mas Amien sebagai tokoh dan calon pemimpin alternatif. Di mata mereka, Mas Amienlah yang paling berani dan berada di jajaran terdepan untuk menumbangkan Soeharto. Kami sempat berbincang walau tak lama, karena seusai bicara di depan sidang pleno, Mas Amien sudah ditunggu oleh mahasiswa yang belajar di Jerman untuk diajak diskusi di tempat lain. Dari Jerman Mas Amien masih akan mengunjungi beberapa negara, sedangkan saya langsung balik ke Jakarta.
Forum di Bonn sudah makin meyakini bahwa usia rezim Soeharto tinggal hitungan waktu. Kala berpidato, Mas Amien pun menyatakan hal yang sama. Namun, kebanyakan aktivis masih hati-hati bicara lantang. Bahkan ketika menginjakkan kaki kembali di Tanah Air, terasa suasana mencekam di kalangan beberapa aktivis. Maklum, intel masih berkeliaran dan Soeharto masih di tampuk kekuasaan.
Sepulang dari Jerman, suasana makin panas. Pertemuan aktivis dari berbagai latar belakang kian kerap digelar dan mulai terbuka, tanpa rasa takut. Bahkan pertemuan rutin yang dimonori alumni ITB dan UI selalu dihadiri oleh perwira TNI aktif seperti Kiki Syahnarki.
Sementara itu pertemuan-pertemuan kecil pun terjadi di mana-mana. Antara lain di Kedai Tempo Utan Kayu yang dimotori Mas Goenawan Mohamad. Setelah Soeharto diangkat kembali jadi Presiden, kami membentuk Tim kecil yang kami sebut Cabinet Watch. MAs Amien, kalau tak salah ingat, didaulat menjadi ketuanya sedangkan saya ditugaskan mengurusi bidang ekonomi, Syamsudin Haris bidang politik, dan ada beberapa lagi yang saya sudah tak ingat. Sandra Hamid dan Santoso termasuk di tim ini. Adalah Sandra Hamid yang menjadi penghubung kami dengan Mas Amien. Sejak itulah pertemuan dengan Mas Amien semakin intensif.
Selama di PAN
Saya tak lama aktif di PAN. Selama kurun waktu yang relatif singkat, saya mengenang beberapa kejadian yang membekas dalam ingatan.
Pertama, ketika kongres PAN pertama di Yogyakarta. Ada gelagat yang tak sehat di kalangan internal PAN yang cenderung mengultuskan Mas Amien, yang tidak baik buat iklim demokrasi di PAN. Tampak kasat mata upaya untuk menggiring opini agar Mas Amien menjadi calon tunggal dan dikukuhkan sebagai ketua umum secara aklamasi.

Praktik-praktik politik tak sehat tampaknya tercium oleh Buya Syafii Maarif. Ketika menyampaikan khutbah Jumat di hadapan peserta Kongres, Buya mengingatkan sedari awal agar PAN menjaga praktik demokrasi yang sehat dan selalu ingat amanat reformasi.
Tak ada kesan pada diri Mas Amien, apalagi bermanuver, untuk menjadi calon tunggal. Lagi pula, siapa yang bakal mampu bersaing dengan Mas Amien untuk meraih posisi pimpinan tertinggi di PAN. Semua tahu itu.
Tetapi, apakah kita rela menjadikan Mas Amien sosok yang dielu-elukan seperti perangai Orde Baru memperlakukan Soeharto. Bukankah PAN didirikan untuk menghadirkan budaya politik baru yang sehat?
Dengan semangat demikian, dan didorong oleh sejumlah sahabat, saya mengajukan diri menjadi calon ketua umum. Bukan untuk mengalahkan Mas Amien, melainkan untuk membuat arena kongres lebih sehat dan konstruktif.
Pada suatu malam, di penginapan tempat kongres diadakan, saya mendatangi kamar Mas Amien ditemani oleh beberapa sahabat, di antaranya Pak Abdillah Toha dan Mbak Mia (Miranti Abidin). Pada kesempatan itu saya mengutarakan motif di balik inisiatif untuk maju sebagai calon ketua umum PAN. Saya mengatakan kepada Mas Amien kira-kira begini: “Mas, saya maju bukan untuk gagah-gagahan dan mbalelo kepada Mas Amien. Dengan majunya saya, kita bisa mengukur aspirasi yang belum terjaring dalam kepemimpinan sekarang. Mas Amien perlu menangkap aspirasi itu yang wujudnya tercermin dari suara yang saya peroleh nanti. Aspirasi merekalah yang perlu Mas Amien perhatikan agar kepemimpinan Mas Amien bisa mengayomi kami semua.”
Pertemuan malam itu sangat cair, tanpa suasana tegang. Mas Amien menerima penjelasan saya. Tak ada sama sekali rivalitas di antara kami.
Seusai pertemuan di kamar Mas Amien, kami mendatangi kamar Pak A. M. Fatwa. Hari itu Pak Fatwa ulang tahun. Kami menyampaikan ucapan selamat ulang tahun dan sempat ngobrol sebentar. Tak lain, kunjungan ini untuk lebih mencairkan suasana kongres yang lumayan tegang karena issue ketua umum dan perubahan asas partai menjadi iman dan takwa.
Sejumlah teman dan saya berupaya keras untuk membuat PAN cair, mengurangi pengkotak-kotakan Muhammadiyah versus non-Muhammadiyah, religius versus sekuler/sosdem, dan berbasis massa versus LSM.
Kedua, ketika berlangsung sidang umum MPR. Sebagai ketua MPR, Mas Amien tentu saja sangat sibuk mengawal sidang umum MPR. Apalagi mengingat suhu politik memanas di tengah menajamnya kubu nasionalis versus kubu Islam yang dikenal dengan Poros Tengah. Saya praktis tak terlibat dalam perumusan sikap partai karena saya berbeda pandangan dengan sikap “resmi” PAN. Sedari awal, sikap saya tegas: Habibie merupakan bagian tak terpisahkan dari rezim Orde Baru dan oleh karena itu tak sepatutnya dicalonkan lagi sebagai presiden. Juga mengingat laporan pertanggungjawabannya di hadapan sidang MPR diwarnai oleh “manipulasi”. Anggito Abimayu, Sri Mulyani dan saya membedah laporan pertanggungjawaban ini di acara salah satu stasiun televise swasta di hotel dekat gedung DPR/MPR. Sedangkan sebagian elit PAN, termasuk Mas Amien, memandang Habibie tidak usah dipermalukan lagi. Selain itu saya pun tak sejalan dengan gagasan poros tengah. Saya berpandangan bahwa PAN harus mengikuti platform yang menyatakan bahwa kalau PAN kalah dalam pemilu, maka PAN akan mengambil posisi sebagai oposisi.
Kenyataannya, PAN terlibat aktif menggalang poros tengah yang akhirnya mengusung Gus Dur sebagai calon presiden. Alasannya sederhana saja. Gus Dur memiliki kendala fisik. Dalam pandangan saya, berilah kesempatan kepada partai yang menang pemilu untuk mengusung calon presiden untuk melawan sisa-sisa rezim Orde Baru. Kita, partai-partai reformis harus bersatu padu melawan Orde Baru yang direpresentasikan oleh Golkar. Saya sangat menyadari sikap Mas Amien karena faktor Ibu Megawati yang merasa dialah yang secara otomatis bakal jadi presiden karena partainya menang. Saya mendengar beberapa kali pertemuan antara Mas Amien dengan Ibu Megawati tidak mulus. Sikap Ibu Megawati sangat kaku, menutup ruang untuk negosiasi politik.
Mengapa kita tidak mengusung calon alternatif, yaitu Cak Nur. Secara pribadi saya mendorong Cak Nur untuk maju jadi capres. Untuk menjelaskan sikap itu saya berupaya bertemu dengan Mas Amien. Namun, teramat sulit bertemu karena tampaknya akses saya untuk bertemu dengannya sangat dibatasi. Akhirnya, atas kebaikan salah seorang lingkaran dalam Mas Amien, saya berhasil bertemu. Saya datang ke hotel tempat Mas Amien menginap selama Sdiang Umum MPR. Untuk memuluskan pertemuan, Mas Amien memutuskan pertemuan tidak berlangsung di kamarnya, melainkan Mas Amien turun menjumpai saya di coffee shop lantai dasar. Mas Amien menjelaskan konstelasi politik terkini, sementara saya menjelaskan sikap politik yang saya ambil. Kami saling menghargai sikap masing-masing. Sekali lagi, di sini Mas Amien menunjukkan sikap seorang demokrat yang santun.
Ketiga, di awal-awal masa kampanye pemilu 1998, saya merasakan kami saling mengisi. Pada berbagai kesempatan satu panggung, Mas Amien memaparkan visi-misi politik sedangkan saya visi-misi ekonomi. Salah satu forum yang saya ingat adalah ketika kami kampanye di Batam. Kami pun sempat kampanye bersama di Mandailing Natal, Pekanbaru, Bukittinggi, Pariaman, dan Padang. Sungguh masa yang sangat melelahkan. Dari Mandailing Natal kami naik helikopter yang dipinjamkan oleh TNI AU. Kami mendarat di pangkalan TNI AU, bukan di bandara komersial. Hari sudah menjelang gelap kala kampanye di lapangan terbuka di Pekanbaru. Setelah itu kami istirahat sejenak. Lalu tengah malam melanjutkan perjalanan darat ke Bukittinggi. Setiba di Bukittinggi Mas Amien sudah kelelahan, padahal harus mengisi ceramah setelah shalat subuh di masjid Muhammadiyah Bukittinggi. Mas Amien meminta saya menggantikannya. Walaupun tentu saja jamaah kecewa, namun saya diterima sebagai pengganti Mas Amien tanpa kegaduhan.
Keempat, perjalanan umroh bersama. Menjelang pemilu 1999, kami menunaikan ibadah umroh dengan puluhan pengurus PAN. Mas Amien selalu memimpin doa bersama. Pada kesempatan itu kami diundang oleh masyarakat Indonesia di Makkah. Juga sempat bertemu dengan Presiden Islamic Development Bank (IDB) di Jeddah.
Pada malam sebelum hari pertemuan di IDB, Mas Amien meminta saya membuat coret-coretan tentang topik-topik yang hendak disampaikan pada pertemuan itu. Malam itu saya buat tulisan tangan dua halaman dan saya serahkan kepada Mas Amien. Decak kagum saya karena Mas Amien mengembangkan butir-butir bahasan dengan runtun dan lebih mendalam. Memang, Mas Amien makin terbukti sebagai sosok yang cepat memahami persoalan.
Kelima, pada suatu kesempatan saya terbang ke Solo, menjenguk Ibunda Mas Amien yang sedang dirawat di rumah sakit. Setiba di rumah sakit, saya menjumpai Mas Amien di samping Ibunda. Kehangatan seorang anak dengan Ibundanya sangat nyata terlihat. Kadang satu-satu gurauan Mas Amien terlontar. Takzim kepada Ibunda adalah salah satu karakter pemimpin besar. Jika pemimpin cinta dan takzim kepada Ibundanya, niscaya pemimpin itu sangat menghormati dan memperjuangkan kepentingan rakyat.
Setelah Tak Aktif Lagi di PAN
Walaupun saya sudah menyatakan diri keluar dari PAN, saya masih kerap diundang pada acara-acara besar PAN. Misalnya, acara rakernas di Batam. Pada kesempatan itu saya diminta menjadi salah seorang panelis di acara diskusi evaluasi PAN. Pada kongres PAN di Semarang saya juga diundang dan hadir pada acara pembukaan.
Saya ingin mengenang yang baik-baik saja selama keterlibatan langsung saya di PAN. Tak ada penyesalan, tak ada dendam pribadi. Bagi saya, PAN adalah partai yang masih memiliki roh reformasi.
Mas Amien telah meletakkan fondasi PAN. Generasi muda PAN sepatutnya menjaga roh PAN sebagai partai reformis yang kaya gagasan. Partai yang tak berjarak dengan rakyat, dan selalu di jajaran terdepan dalam memperjuangkan gagasan-gagasan baru dan segar bagi kemajuan bangsa.
Peran Mas Amien akan selalu mewarnai PAN sampai kapan pun. Mas Amien bakal lebih leluasa berperan untuk menjadi bapak bangsa, mendidik kader-kader muda agar menjadi politisi yang teguh dengan prinsipnya, bermoral dan beretika. Semoga, dengan ketulusannya yang tak diragukan lagi, Mas Amien segera bisa menyaksikan tunas-tunas baru yang bakal menjadi ujung tombak membawa Indonesia menjadi bangsa yang disegani, menghadirkan kesejahteraan yang berkeadilan, dan mengantarkan anak-cucu kita menjadi bangsa yang besar. ***
Bravo, a very well written recollection Sal. Saya betul2 menikmati tulisan ini sambil menunggu pesawat lanjutan di KLIA.
Makasih banyak, Kiki. Mengisi akhir pekan di bulan puasa. Selamat jalan. Semoga lancar sampai tujuan, bergabung dengan keluarga.
seandainya semua tokoh bangsa dapat mengedepankan demokrasi yang santun, tegas dan tak bertele-tele dengan mengedepankan kepentingan rakyat. mungkin kembali mungkin Negara ini tak menjadi seperti ini..
Insya Allah akan tiba masanya seperti yg kita dambakan. Seraya kita membangun institusi yang kuat, agar setiap warga negara memiliki kepastian akan masa depan.
kisahnya mengingatkan persahabatan Soekarno – Hatta, memiliki warna yang sangat berbeda tapi mampu menjaga perbedaan itu dalam tatanan hidup demokrasi, tanpa ada kebencian dan dendam. Sesuatu yang sangat jarang dan langka untuk saat ini.
Semoga Bang Faisal dan Pak Amien tetap dalam lindungan NYA,
Aaamiin yra.