Faisal Basri is currently senior lecturer at the Faculty of Economics, University of Indonesia and Chief of Advisory Board of Indonesia Research & Strategic Analysis (IRSA). His area of expertise and discipline covers Economics, Political Economy, and Economic Development.
His prior engagement includes Economic Adviser to the President of Republic of Indonesia on economic affairs (2000); Head of the Department of Economics and Development Studies, Faculty of Economics at the University of Indonesia (1995-98); and Director of Institute for Economic and Social Research at the Faculty of Economics at the University of Indonesia (1993-1995), the Commissioner of the Supervisory Commission for Business Competition (2000-2006); Rector, Perbanas Business School (1999-2003).
He was the founder of the National Mandate Party where he was served in the Party as the first Secretary General and then the Deputy Chairman responsible for research and development. He quit the Party in January 2001. He has actively been involved in several NGOs, among others is The Indonesian Movement.
Faisal Basri was educated at the Faculty of Economics of the University of Indonesia where he received his BA in 1985 and graduated with an MA in economics from Vanderbilt University, USA, in 1988.
Cokro TV – Ekonomi Politik Faisal Basri – Episode 16
Ada pencapaian baru di bidang ekonomi pada era pemerintahan Jokowi. Simak selengkapnya pemaparan Faisal Basri di Ekonomi Politik Faisal Basri. –Redaksi
Pada 1 Juli 2020 Bank Dunia memperbarui klasifikasi negara berdasarkan tingkat pendapatan. Kabar baik bagi Indonesia. Berdasarkan klasifikasi yang baru, Indonesia naik kelas dari negara berpendapatan menengah-bawah (lower-middle income) menjadi negara berpendapatan menengah-atas (upper-middle income). Indonesia butuh waktu hampir seperempat abad untuk bisa naik ke kelompok negara berpendapatan menengah-atas.
Untuk memaknai peristiwa ini, ada baiknya kita memahami konsep dasar pengukuran pendapatan nasional.
Mengukur Aktivitas Ekonomi
Anggap Indonesia adalah negara kecil yang hanya memiliki satu perusahaan bernama “Astra”. Astra menghasilkan sepeda motor “Honda” sebanyak 1 juta unit setahun dengan harga Rp10 juta per unit. Kalikan jumlah yang diproduksi dengan harga per unit, maka kita memperoleh nilai produksi sebesar Rp10 triliun, yang merupakan nilai pasar yang diproduksi oleh Astra selama 1 tahun. Nilai pasar itulah yang disebut produk domestik bruto (PDB). Jadi PDB Indonesia pada tahun itu adalah Rp10 triliun.
PDB mengukur nilai pasar dari barang dan jasa akhir yang dihasilkan di dalam wilayah Indonesia, yang menggambarkan aktivitas ekonomi agregat atau mencerminkan kemampuan produksi. Yang dihitung hanya produk akhir. Jika produksi ban, mesin, dan komponennya kita hitung satu persatu lalu kita gabungkan dengan produk akhirnya (sepeda motor), maka terjadilah multiple counting.
Semua komponen sepeda motor digabungkan dalam jalinan proses produksi Astra. PDB mengukur produksi, bukan penjualan kepada konsumen. Yang belum dijual juga masuk dalam perhitungan PDB dalam bentuk persediaan (inventory).
Sepeda motor “Honda” dibeli oleh warga Indonesia dan sebagian dibeli oleh warga negara lain (ekspor). Bagi pembeli, yang mereka bayar untuk memperoleh sepeda motor adalah pengeluaran (expenditure). Jadi,
produksi = pengeluaran.
Hasil produksi senilai Rp10 triliun mengalir ke pekerja berupa pendapatan pekerja atau upah dan ke pemilik Astra berupa pendapatan pemilik perusahaan atau laba. Jadi,
produksi = pengeluaran = pendapatan.
Ketiganya identik, disebut PDB. Dengan demikian, PDB bisa dihitung dengan tiga pendekatan. Pendekatan produksi didapat dengan menjumlahkan nilai tambah seluruh sektor dalam perekonomian. Pendekatan pengeluaran dilakukan dengan menjumlahkan pengeluaran semua pihak pengguna barang dan jasa. Sedangkan pendekatan pendapatan diperoleh dengan menjumlahkan pendapatan semua faktor produksi yang terlibat langsung dalam proses produksi.
Pekerja terdiri dari pekerja lokal dan pekerja asing. Pemilik Astra terdiri dari warga (investor) lokal dan warga (investor) asing. Jika unsur asing dikeluarkan, maka kita sebut pendapatan nasional bruto atau gross national income (GNI). Jadi, GNI mengukur pendapatan nasional yang hanya dinikmati oleh warganya, sedangkan di dalam PDB (GDP) masih ada unsur pendapatan warga asing.
Jika GNI dibagi denngan jumlah penduduk, maka akhirnya kita memperoleh GNI per kapita, yang menggambarkan tingkat pendapatan kotor rerata penduduk suatu negara.
Naik Kelas
GNI per kapita Indonesia tahun 2018 mencapai US$3.850. Jika nilai tukar rupiah tidak melemah dan pertumbuhan ekonomi sedikit lebih tinggi pada tahun itu, Indonesia sudah naik kelas. Pada tahun 2019 pertumbuhan ekonomi hampir sama dengan tahun sebelumnya tetapi nilai tukar rupiah sedikit menguat. Itulah yang memuluskan kenaikan kelas tahun lalu sehingga GNI per kapita naik menjadi US$4.050, US$4 lebih banyak dari batas bawah kelompok negara berpendapatan menengah-atas dan US$5 lebih tinggi dari batas atas kelompok negara berpendapatan menengah-bawah.
Pada tahun 2019, Indonesia adalah satu-satunya negara yang naik kelas dari LMI ke UMI. Ada enam negara lagi yang naik kelas: Benin, Nepal, dan Tanzania naik dari LI ke LMI; Mauritius, Nauru, dan Romania dari UMI ke HI. Sementara itu, tiga negara mengalami turun kelas. Aljazair dan Sri Lanka berkebalikan dengan Indonesia, turun dari UMI ke LMI, sedangkan Sudan turun dari LMI ke LI.
Apakah Indonesia bisa turun kelas? Faktor yang menyebabkan bisa turun kelas antara lain adalah karena perekonomian Indonesia mengalami kontraksi ekonomi tahun 2020 dan belum sepenuhnya pulih pada tahun 2021. Penekan lainnya adalah kemerosotan nilai tukar rupiah. Juga ancaman inflasi karena peningkatan jumlah uang beredar akibat “cetak uang”.
GNI per kapita Indonesia hampir selalu lebih tinggi dibandingkan dengan PDB per kapita karena pendapatan warga Indonesia di luar negeri yang dibawa pulang lebih kecil ketimbang pendapatan warga asing yang bekerja atau berusaha di Indonesia.
Jika kita sesuaikan dengan paritas daya beli (purchasing power parity/PPP), baik PDB maupun GNI Indonesia lebih tinggi ketimbang berdasarkan nilai dollar berlaku. Dengan dollar yang sama kita bisa membeli barang dan jasa lebih banyak ketimbang warga Amerika Serikat, Jerman, Inggris, dan Singapura.
Pada awal 1960an GNI per kapita Indonesia nyaris hampir sama dengan negara-negara tetangga dan BRICS. Memasuki paruh kedua 1980-an, GNI per kapita Korea meroket. Beberapa tahun kemudian giliran Brazil, Malaysia, dan Thailand menikmati pertumbuhan pesat. China menyusul Indonesia pada tahun 1998 ketika terjadi krisis Asia. Sejauh ini GNI Indonesia lebih tinggi dari Filipina, Vietnam, dan India.
Keterbatasan Pengukuran GNI
Banyak stasiun televisi menayangkan ramalan cuaca dan temperatur kota-kota di Indonesia. Stasiun televisi internasional seperti CNN dan BBC menayangkan prakiraan temperatur berbagai kota di dunia. Kebanyakan tidak menginformasikan tingkat polusi, kelembaban, kualitas udara, kecepatan angin, dan berbagai informasi lainnya.
Demikian juga dengan GDP, GNP, dan GNI per kapita yang sebatas mengukur temperatur perekonomian secara umum. Indikator GNI per kapita tidak mengukur ketimpangan pendapatan (kelompok, golongan, ras, antardaerah), tingkat kesejahteraan rakyat, kualitas hidup masyarakat dan tingkat kebahagiaan warga. GDP/GNP/GNI per kapita juga tidak mencakup penyusutan modal fisik (karena itu disebut gross/kotor), kegiatan ilegal/bawah tanah, kegiatan rumah tangga, dan eksternalitas negatif (negative externalities).
Besar versus Tinggi
Perekonomian yang besar tidak selalu bersejajaran dengan berpendapatan tinggi. Ekonomi India terbesar ketiga di dunia, tetapi pendapatan rerata penduduknya di urutan ratusan. Ekonomi Indonesia juga tergolong besar, namun GNI per kapitanya di urutan tiga digit alias ratusan juga.
Kapan Naik Kelas Tertinggi?
OECD memperkirakan Indonesia bergabung ke dalam kelompok negara berpendapatan tinggi pada tahun 2043, dua tahun sebelum kita merayakan Indonesia emas.
Batu sandungannya adalah middle-income trap. Untuk menghindarinya, tidak ada pilihan lain kecuali lewat penguatan sumber daya manusia, terutama pendidikan dan kesehatan, penguasaan teknologi, dan perangi ketimpangan. Berdasarkan pengalaman ratusan tahun perjalanan banyak negara, ketiga faktor itulah yang paling dominan dalam memuluskan pendakian mencapai puncak: negara maju.
Persembahan istimewa untuk generasi mendatang harus kita siapkan dari sekarang dengan kerja keras, segera menghimpun segala potensi yang berserakan, dan kembali ke jatidiri sebagai negara maritim.
Harapan kita bukan sekedar berpendapatan tinggi, melainkan juga menyejahterakan dan membahagiakan rakyat, berkeadilan, dan berkelanjutan.
Krisis ekonomi yang dipicu oleh krisis kesehatan akibat pandemik COVID-19 semakin menekan perekonomian Indonesia yang sebelumnya memang sedang melemah. Setidaknya ada sepuluh indikator yang menunjukkan pelemahan itu.
Pertama, pertumbuhan ekonomi mengalami perlambatan. Pertumbuhan tahunan melambat selama lima tahun berturut-turut dibandingkan periode pemerintahan sebelumnya.
Pertumbuhan triwulanan semakin menunjukkan trend penurunan ini. Praktis selama enam triwulan berturut-turut pertumbuhan melambat.
Kedua, pertumbuhan ekonomi kurang berkulitas. Sektor penghasil barang (tradable) semakin tercecer, hanya sekitar setengah dari pertumbuhan sektor jasa (non-tradable). Akibatnya kemampuan ekspor berkurang dan impor cenderung naik sebagaimana tercermin dari defisit perdagangan pangan, manufaktur, dan minyak yang cenderung meningkat. Sementara itu, sektor jasa yang tumbuh sekitar dua kali lipat dari sektor barang belum punya kemampuan meraup devisa karena pada umumnya hanya “jago kandang” sesuai dengan atributnya–non-tradable.
Ketiga, andalan utama sektor tradable, yaitu industri manufaktur, mengalami kemerosotan pertumbuhan yang persisten, bahkan sudah bertahun-tahun di bawah pertumbuhan PDB. Sementara kalangan menyebutnya gejala dini deindustrialisasi.
Pada tahun 2019, separuh subsektor manufaktur sudah mengalami kontrasi, suatu kejadian yang amat langka.
Yang paling kentara adalah penjualan otomotif yang anjlok (pertumbuhan negatif) 10,5 persen pada tahun 2019 dari tumbuh positif sebesar 6,9 persen pada tahun sebelumnya.
Penjualan sepeda motor juga turun walaupun masih positif, dari 8,4 persen (2018) menjadi hanya 1,6 persen (2019).
Keempat, nisbah pajak atau tax ratio (penerimaan perpajakan dibagi produk domestik bruto (PDB) harga berlaku) merosot hingga hanya satu digit dan mencapai aras terendah dalam setengah abad terakhir. Lazimnya, walaupun pertumbuhan melambat, tax ratio tidak turun, setidaknya tidak berubah, karena penerimaan perpajakan mengukuti geliat ekonomi. Paling banter, pertumbuhan penerimaan perpajakan menurun proporsional dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi.
Kelima, Peningkatan turis asing sudah dua tahun melorot tajam, dari aras tertinggi 21,9 persen tahun 2017 menjadi 12,6 persen tahun 2018 dan tergerus lebih dalam menjadi hanya 1,9 persen tahun 2019.
Keenam, mulai 2018 perdagangan barang mengalami defisit. Sejak merdeka, Indonesia baru delapan kali mengalami defisit perdagangan: tiga kali di era Orde Lama dan tiga kali di Era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Pada tahun 2019, ekspor nonmigas maupun migas kembali mengalami kontraksi. Hal yang sama sudah terjadi pada 2015 dan 2016.
Ketujuh, pertumbuhan kredit menunjukkan tren melemah. Sejak Juni 2019 hanya tumbuh satu digit. Sejak Desember 2019 pertumbuhan kredit selalu lebih lambat ketimbang pertumbuhan dana pihak ketiga.
Kedelapan, indeks harga saham gabungan (IHSG) berada di posisi 5.361 pada hari pengumuman kasus perdana COVID-19, turun tajam dibandingkan akhir tahun 2019 sebesar 6.300. Pada tahun 2019 IHSG hanya naik 1,7 persen, sangat rendah dibandingkan kinerja indeks negara-negara tetangga dan Emerging Markets.
Kesepuluh, utang terus naik, baik utang pemerintah maupun utang BUMN nonkeuangan.
Bertolak dari sedemikian banyak indikator yang mengalami pemelahan, agaknya masalah yang dihadapi oleh perekonomian tergolong bersifat struktural. Kesempatan emas menjadikan krisis 2020 sebagai momentum untuk berbenah. Modal dasar untuk itu lebih dari cukup.
Pemerintah memandang penyebab utama perlambatan pertumbuhan ekonomi selama lima tahun terakhir adalah investasi. Oleh karena itu, segala bentuk hambatan investasi harus dienyahkan.
Pemberantasan korupsi dipandang menghambat investasi dan aktivitas dunia usaha. Oleh karena itu, KPK harus dilemahkan.
Pemerintah daerah dituding mempersulit perizinan yang banyak dan berbelit-belit. Oleh karena itu, kewenangan daerah harus dilucuti dan ditarik ke pusat.
Pekerja sering dikeluhkan oleh pengusaha tertentu karena menuntut kenaikan upah melulu setiap tahun, terlalu banyak menikmati hak-hak normatif yang membebani usaha. Oleh karena itu, sebagian hak-hak pekerja harus dipangkas.
Pasar tenaga kerja sangat kaku dan ongkos pemutusan hubungan kerja (PHK) sangat mahal. Oleh karena itu, pasar tenaga kerja harus direformasi agar fleksibel.
Ketentuan tentang lingkungan dipandang mengekang dunia usaha dan menakutkan pengusaha karena ada sanksi pidana. Oleh karena itu, regulasi tentang lingkungan harus dilonggarkan, sanksi pidana harus dihapus, dan masyarakat sipil tidak dilibatkan dalam monitoring. Serahkan saja sepenuhnya kepada masyarakat sekitar yang terdampak, tak perlu pendampingan
Untuk memerangi itu semua, jika ditangani satu persatu bakal sangat repot dan memakan waktu. Oleh karena itu harus ada langkah radikal segera. Maka lahirlah rancangan undang-undang (RUU) “sapu jagat” bernama omnibus law (OL). Pembahasan RUU terus berlangsung walapun di tengah pandemik COVID-19 yang justru sedang menanjak. Sejauh ini ada tiga rancangan undang-undang yang sudah diserahkan kepada DPR, yaitu: OL Cipta Kerja, OL Perpajakan, dan OL Ibu Kota Negara.
Salah Diagnosis
Diagnosis yang salah bakal melahirkan kebjakan yang keliru. Hasilnya bakal sangat fatal.
Investasi nyata-nyata bukan biang keladi dari pertumbuhan ekonomi yang melambat. Pertumbuhan investasi (diukur dengan pembentukan modal tetap domestik bruto/PMTDB) Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan banyak negara tetangga dan negara Emerging Markets seperti Malaysia, Afrika Selatan, Brazil, dan bahkan China sekalipun.
Pertumbuhan yang cukup tinggi itulah yang membuat sumbangan investasi bagi perekonomian (produk domestik bruto/PDB) selama lima tahun terakhir di bawah pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla justru terus meningkat dan mencapai aras tertinggi dalam sejarah. Pencapaian itu di atas rerata kelompok negara berpendapatan menengah bawah (lower middle income)–yang mana Indonesia bertengger di kelompok ini–dan bahkan juga dibandingkan dengan kelompok negara berpendapatan menengah tinggi (upper middle income).
Indonesia menduduki peringkat teratas di ASEAN. Indonesia tidak sedang mengalami paceklik investasi, termasuk investasi asing.
Sesekali memang pertumbuhan investasi Indonesia turun, terutama pada tahun penyelenggaraan pemilihan umum.
Oleh karena itu, masalah investasi di Indonesia bukan soal besarannya. Yang terjadi adalah investasi cukup besar tetapi hasilnya sedikit. Sebut saja: EKONOMI BOROS atau roda ekonomi tidak berputar dengan efisien. Salah satu ukuran yang lazim dipakai adalah ICOR (incremental capital-ouput ratio). Selama lima tahun terakhir, rerata ICOR Indonesia adalah 6,5. Artinya, untuk menambah satu unit output, kita butuh tambahan rerata 6,5 unit modal. Padahal selama pemerintahan sebelumnya pasca Orde Lama, hanya butuh tambahan rerata 4,3 unit modal. Tentu ada persoalan mendasar yang muncul dalam lima tahun terakhir sehingga butuh satu setengah kali lipat tambahan modal untuk menghasilkan tambahan satu unit output dibandingkan era kepemimpinan sebelumnya. Jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, ICOR Indonesia juga relatif jauh lebih tinggi.
Dalam dokumen “Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal Tahun 2021” (hal.16) yang ditandatangani Menteri Keuangan pada Mei 2020, pemerintah mengakui bahwa ICOR Indonesia mengalami peningkatan secara konsisten dan lebih tinggi dibandingkan dengan negara peer-nya seperti Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam. Menurut pemerintah, idealnya angka ICOR di kisaran 3 (bukan 3 persen sebagaimana tercantum dalam Dokumen, karena ICOR bukan dalam persentase). Berarti ICOR Indonesia melampaui dua kali lipat dari angka ideal.
Amat disayangkan, argumen pemerintah agaknya kurang tepat. Dalam pandagan pemerintah, peningkatan ICOR Indonesia disebabkan oleh kesiapan teknologi dan kapasitas berinovasi dalam memanfaatkan investasi yang masuk. Padahal tidak ada perubahan signifikan dalam hal teknologi dan inovasi dibandingkan dengan era-era sebelumnya. Niscaya ada faktor spesifik yang hadir dalam lima tahun terakhir.
Buat apa menggenjot investasi kalau membiarkan pemborosan dan “kebocoran” kian menjadi-jadi, sehingga hasil yang dirasakan oleh rakyat tidak “nendang” karena lebih banyak dinikmati oleh segelintir orang atau kelompok. Oligarki semakin kokoh dan kian mencengkeram. Tak lagi jelas batas antara penguasa dan pengusaha. Mereka semakin bertaji karena menguasai media, terutama televisi. Undang-undang dibuat untuk melegalkan sepak terjang mereka. Akhirnya, demokrasi terancam.
Mereka akan berjaya jika kita tak bersuara dan hanya berdiam diri.
Boros Walau “Kere”
Walaupun sangat lelah bersimbuh keringat, para pemain sepakbola atau olah raga lainnya tidak mengumbar nafsu untuk memerangi dahaganya dengan minum sebanyak-banyaknya. Mereka hanya meneguk sedikit air minum, kumur-kumur lalu menyemprotkannya keluar mulut mereka, lalu membasuh kepala dan wajah. Itulah cara efektif untuk menjaga kebugaran.
Dalam ekonomi pun serupa. Tidak bisa investasi asal disumpalkan sebanyak mungkin. Lihat dulu kondisi perekonomian: daya serap dan daya dukungnya, sumber pembiayaannya, momennya, dan cara mewujudkannya,
Praktik ekonomi biaya tinggi (high cost economy) semakin runyam jika tidak ditopang oleh kemampuan sendiri: sudah kere, boros pula.
Betapa kere kita terlihat dari kondisi sektor finansial dan perpajakan. Sumber dana dalam negeri untuk membiayai investasi dan pembangunan terutama berasal dari kredit perbankan, pasar modal (keluarkan surat utang dan menjual saham di bursa atau go public), dan pajak.
Secara keseluruhan, sektor finansial kita masih kedodoran. Sejak krisis ekonomi terparah tahun 1998, indeks pembangunan finansial kita praktis jalan di tempat. Indonesia hanya lebih baik dari Vietnam.
Baik aspek istitusi finansial maupun pasar finansial sangat cetek dengan efisiensi pasar finansial yang rendah.
Kemampuan sektor keuangan dalam menyalurkan kredit tak sampai 50 persen dari PDB. Dengan Myanmar saja kita kalah. Jangan bandingkan dengan China dan rerata negara Asia Pasifik yang lima kali lipat dari Indonesia. Malaysia, Vietnam, Thailand, dan Brazil sekitar tiga sampai empat kali lipat dari Indonesia.
Kapasitas pasar modal Indonesia tak kalah tertinggal, terutama pasar obligasi. Pasar obligasi dalam mata uang lokal hanya sedikit lebih tinggi dari Vietnam. Bagaimana surat utang pemerintah bisa terserap oleh warganya sendiri untuk menutup defisit APBN?
Maka terpaksalah menngundang lebih banyak investor asing. Pemilikan asing dalam obligasi negara dalam mata uang lokal di Indonesia tergolong sangat tinggi dan tertinggi di antara negara Emerging Markets.
Yang agak lumayan adalah pasar saham. Kapitalisasi di pasar saham mengalami peningkatan dalam 20 tahun terakhir dan lebih tinggi ketimbang China, Rusia, Meksiko, dan Turki. Namun masih lebih rendah dibandingkan dengan Vietnam yang relatif baru mengenal bursa saham.
Ketergantungan yang cukup tinggi pada investor asing di pasar modal membuat stabilitas makroekonomi cukup rentan. Uang panas (hot money) kerap merongrong stabilitas nilai tukar dan neraca pembayaran. Dalam “sekejap” investor asing keluar pasar sebagaimana terjadi pada Maret lalu.
Semakin parah sumber pembiayaan investasi dari dalam negeri karena nisbah pajak (tax ratio) terus menerus turun sampai titik terendah dalam 50 tahun terakhir.
Jadi, dari mana lagi kita mewujudkan keborosan? Dari mana lagi kalau bukan dengan berutang lebih banyak ke luar negeri.
Bagaimana cara membayar kewajiban utang kepada investor luar negeri dan utang bilateral maupun multilateral? Membayar cicilan dan bunga utang tak bisa dengan rupiah, melainkan dengan valuta asing.
Dari mana kita memperoleh valuta asing? Utamanya dari ekspor. Gara-gara pandemik global, nilai perdagangan dunia merosot tajam. Akibatnya pasar ekspor kita mengkerut.
Ditambah lagi porsi ekspor manufaktur Indonesia relatif sangat rendah akibat terjadi gejala dini deindustrialisasi.
Kebanyakan produk manufaktur yang kita ekspor adalah barang-barang yang berteknologi rendah yang tentunya dengan nilai tambah yang relatif rendah pula.
Sekalipun kita gabung yang berteknologi tinggi dan menengah, tetap saja porsinya masih rendah.
Padahal devisa dari ekspor bukan semata-mata untuk membayar kewajiban utang, tetapi terutama untuk membiayai impor. Repotnya, impor semakin beragam dan sebaliknya ekspor semakin tidak beragam. Walaupun data yang tersedia tidak mutakhir, namun kenyataan sekarang tidak jauh berbeda.
Maka, untuk membiayai perilaku boros, jalan pintasnya adalah dengan mengeruk kekayaan alam semakin dalam, merambah kawasan hutan, dan melonggarkan ketentuan tentang perlindungan lingkungan. Yang paling dekat dengan kekuasaan akan meraup rente paling banyak. Oligarki semakin mencengkeram. Demokrasi terancam.
Pada triwulan I-2020, subsektor tanaman pangan mengalami kontraksi paling parah (10,3 persen) setelah subsektor transportasi udara (13,3 persen). Ditinjau dari peranannya terhadap produk domestik bruto (PDB), subsektor tanaman pangan lebih besar ketimbang subsektor transportasi udara, masing-masing 2,82 persen dan 1,63 persen pada tahun 2019.
Namun, perlakuan pemerintah terhadap transportasi udara sangat besar sejak awal pandemik COVID-19, antara lain dengan memberikan rabat jumbo untuk tarif pesawat hingga kucuran dana Rp8,5 triliun untuk PT Garuda Indonesia (Tbk) berupa Dana Talangan Investasi.
Tapi, apa yang diperoleh petani tanaman pangan yang sangat terpuruk? Tidak ada sama sekali.
Karena rakyat harus tetap makan padahal produksi merosot, maka impor pangan menunjukkan trend peningkatan, sehingga defisit perdagangan pangan terus naik. Lihat Lampu Kuning Impor Pangan.
Bukan hanya pangan yang defisit. Untuk produk manufaktur pun Indonesia mengalami defisit, lebih besar impor ketimbang ekspor. Migas juga demikian. Untuk jasa, kita selalu defisit, terbesar adalah jasa transportasi laut.
Jadi, dari mana kita membiayai triple deficits itu? Ya dari mana lagi kalau bukan dengan menguras kekayaan alam atau komoditas primer. Petik, jual; tebang, jual; keruk, jual.
Sungguh, kebijakan pemerintah dalam menangani pandemik COVID-19 sangat bias kota.
Berita Tempo yang menjadi obyek tanggapan bersumber dari presentasi saya pada acara webinar yang diselenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Institut Pertanian Bogor (BEM IPB) yang digelar pada 22 Mei 2020.
Impor sayuran hanyalah salah satu yang saya ungkapkan. Sebagaimana isi berita Tempo, pembahasan saya mencakup pangan secara keseluruhan. Bahkan, saya mengatakan bahwa bukan pangan saja yang mengalami defisit, melainkan juga manufaktur dan migas. Jadi, secara keseluruhan, kinerja perdagangan luar negeri Indonesia menunjukkan perkembangan yang memburuk.
Sebagaimana terlihat pada peraga di bawah, nilai impor sayuran mengalami kenaikan signifikan dibandingkan tahun 2010. Memang nilainya tidak seberapa dibandingkan berbagai jenis pangan lainnya, termasuk buha-buahan.
Nilai impor buah-buahan jauh lebih besar. Laju pertumbuhannya jauh lebih tinggi. Nilai impor buah-buahan mencapai rekor tertinggi tahun lalu, mencapai 1,5 miliar dollar AS dan meningkat lebih dua kali lipat dibandingkan tahun 2015.
Laju impor buah-buahan tidak diiringi oleh peningkatan ekspornya. Pada tahun 2019, ekspor buah-buahan hanya 324 juta dollar AS atau sekitar seperlima dari impornya. Nilai ekspor buah-buahan tahun 2019 lebih rendah dari tahun 2017.
Impor sayuran maupun buah-buahan sangat didominasi dari China.
Yang paling parah adalah gula. Sejak masa kolonial hingga tahun 1967, Indonesia adalah negara pengekspor gula, bahkan sempat menjadi negara pengekspor terpandang di dunia. Pergulaan di Indonesia kian memburuk dan mencapai puncaknya pada 2016 ketika Indonesia menjelma sebagai negara pengimpor gula terbesar di dunia, sampai sekarang.
Pangan terpenting kedua setelah beras adalah terigu. Sayangnya diversifikasi pangan kita sangat bias ke terigu yang seluruh gandumnya diimpor. Volume impor gandum dan meslin meningkat pesat. Tak tanggung-tanggung, dalam waktu hanya sembilan tahun, impor gandum dan meslin melonjak lebih dari lima kali lipat. Tak kurang sebanyak 2,8 miliar dollar AS devisa yang terkuras hanya untuk produk ini.
Trend peningkatan volume impor juga terjadi untuk kedelai. Sekitar satu miliar dollar kita belanjakan untuk impor bahan baku utama tempe dan tahu ini.
Berulang kali pencanangan swasembada daging selalu kandas. Bukannya turun, impor daging malahan melonjak 10 kali lipat sejak 2001. Pada tahun 2019, impor daging sejenis lembu terbesar adalah dari Australia (44 persen) dan India (37 persen). Kapal tol laut pengangkut khusus sapi dari Nusa Tenggara tidak pernah terdengar lagi.
Demikian juga dengan impor binatang hidup. Kita menghabiskan 1,3 miliar dollar untuk impor daging dan binatang (ternak) hidup.
Bersyukur impor beras tahun lalu bisa ditekan setelah pada tahun sebelumnya mengalami lonjakan.
Impor garam kembali melonjak dalam dua tahun terakhir. Kebanyakan garam impor digunakan oleh industri. Kalau sekedar untuk konsumsi rumah tangga, sebetulnya produksi dalam negeri sudah mencukupi. Namun, dalam kenyataan sebagian garam impor merembes ke pasar bebas.
Secara keseluruhan, Indonesia mengalami defisit pangan sejak 2007. Sebagai negara dengan wilayah yang cukup luas, curah hujan relatif tinggi, sinar mentari sepanjang tahun, tanah yang relatif subur, rasanya untuk urusan pangan Indonesia tak sepatutnya mengalami defisit perdagangan. Ditambah lagi dengan potensi kekayaan laut kita.
Salah satu komoditas pangan yang banyak diimpor adalah sayuran. “Impor sayur, saya kaget. Impor sayur itu sudah mencapai 770 juta dolar setahun pada 2019,” ujar Faisal menyitir data dari Badan Pusat Statistik dalam diskusi daring, Jumat, 22 Mei 2020.
TEMPO.CO, Jakarta – Ekonom senior Universitas Indonesia Faisal Basri mengatakan adanya krisis akibat Covid-19 menunjukkan kurangnya ketahanan pangan di Tanah Air. Karena secara umum, menurut dia, impor pangan Indonesia selama ini tergolong tinggi.
Apabila dikonversi ke rupiah, nilai impor sayur itu mencapai sekitar Rp 11,55 triliun dengan asumsi nilai tukar Rp 15.000 per dolar Amerika Serikat. Faisal mengatakan impor sayuran tersebut paling banyak didatangkan dari Cina dan trennya terus menanjak.
Selain sayuran, Indonesia juga tercatat sebagai importir buah-buahan. Berdasarkan data 2019, dalam setahun Indonesia bisa mendatangkan buah dengan total US$ 1,5 miliar atau senilai Rp 22,5 triliun. “Raja impor buah juga Indonesia, ini grafiknya naik seperti roket,” kata Faisal.
Kendati demikian, pada 2019 angka tersebut cenderung turun menjadi hanya US$ 1,4 miliar. “Karena harganya turun,” kata Faisal. Selain itu, turunnya impor gula Tanah Air pada tahun lalu juga disebabkan oleh stok yang masih melimpah pada tahun lalu.
Komoditas lain yang impornya cenderung tinggi adalah daging. Faisal mengatakan impor daging setara lembu Indonesia mencapai US$ 830 juta pada 2019. Apabila dijumlahkan dengan binatang hidup lain yang dapat dimakan, impornya menjadi US$ 1,3 miliar.
Pada 19 Januari 2020, World Economic Forum (WEF) menerbitkan indikator baru yang dinamakan Social Mobility Index (SMI). Indeks ini mengukur pergerakan dalam status pribadi dari seorang individu dibandingkan dengan status orang tua mereka. Secara absolut, SMI menggambarkan seberapa besar kemampuan seorang anak untuk mengalami kehidupan yang lebih baik daripada orang tua mereka. Di sisi lain, mobilitas sosial relatif adalah penilaian dampak latar belakang sosial ekonomi pada keberhasilan individu dalam kehidupan.
Keberhasilan itu dapat diukur dari berbagai indikator mulai dari kesehatan hingga pendidikan dan pendapatan. Akses yang lebih baik terhadap pendidikan dan kesehatan diyakini mempermudah mobilitas vertikal.
Globalisasi dan teknologi kerap disinyalir sebagai penyebab memburuknya mobilitas sosial. Namun, laporan WEF menyoroti faktor pembuatan kebijakan yang buruk sebagai alasan signifikan.
Lima terbaik diborong oleh negara-negara Nordic.
Dari 82 negara yang dicakup dalam indeks mobilitas sosial, Indonesia berada di peringkat ke-67 atau ke-16 dari bawah dengan skor 49,3. Di antara negara ASEAN, Indonesia hanya lebih baik dari Laos. Peringkat tertinggi di ASEAN ialah Singapura (20). Menyusul kemudian Malaysia (43), Vietnam (50), Thailand (55), dan Filipina (61). Kempat negara itu memiliki skor di atas 50.
Sumber: World Economic Forum
Ada korelasi yang cukup kuat antara SMI dan ketimpangan. Indikator ketimpangan yang digunakan di sini ialah data penguasaan satu persen terkaya terhadap kekayaan nasional berdasarkan publikasi Credit Suisse “Global Wealth Databook.”
Semakin tinggi SMI kian rendah ketimpangan. Indonesia berada di atas garis trend, bertetangga dengan Turki dan Thailand. India memiliki SMI terendah kedua setelah Afrika Selatan, namun negara terakhir ini berada di bawah garis trend.
Ekonom senior dan pendiri INDEF, Faisal Basri akan membahas habis habisan soal efek corona ke Indonesia. Inilah perang dunia sesungguhnya. Faisal Basri mengatakan dampak dari virus corona yang makin mewabah ini semakin dahsyat di dunia, tanpa lockdown dan isolasi yang serius, RI bisa jatuh ke dalam bahaya. Simak wawancara Tim Redaksi CNBC Indonesia dengan Ekonom Senior dan pendiri INDEF, Faisal Basri dalam Podcast Cuap Cuap Cuan berikut.