
Tempo.co
Reporter: Tempo.co
Editor: Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Rabu, 5 Agustus 2020 13:25 WIB
TEMPO.CO, Jakarta – Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri menyebutkan jebloknya pertumbuhan ekonomi nasional minus 5,32 persen di kuartal kedua tahun ini adalah kontraksi ekonomi pertama sejak krisis terparah tahun 1998 silam.
“Karena pertumbuhan pada triwulan pertama hanya 2,97 persen, maka pertumbuhan kumulatif sampai semester pertama tahun ini pun terkontraksi sebesar 2,95 persen,” ujar Faisal Basri seperti dikutip dari blognya, http://www.faisalbasri.com, Rabu, 5 Agustus 2020.
Pernyataan Faisal merespons pengumuman Badan Pusat Statistik (BPS) atas data produk domestik bruto (PDB) terbaru yang menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang terkontraksi pada kuartal II tahun 2020. Sementara pada kuartal sebelumnya, pertumbuhan ekonomi minus 2,97 persen.
BPS sebelumnya mengumumkan pertumbuhan ekonomi di kuartal kedua tahun ini terkontraksi atau minus 5,32 persen. Angka ini makin jatuh ketimbang pertumbuhan ekonomi di kuartal sebelumnya sebesar 2,97 persen.
Dengan demikian, kontraksi ekonomi ini menjadi kontraksi kuartalan terbesar sejak dua dekade lalu. “Sejak triwulan I 1999 mengalami kontraksi sebesar 6,13 persen,” ujar Kepala BPS Suhariyanto, Rabu, 5 Agustus 2020.
Suhariyanto juga mengimbau agar semua pihak membangun optimisme. Pasalnya, dia melihat adanya geliat ekonomi sejak relaksasi PSBB pada awal Juni lalu. “Meskipun masih jauh dari total. Jadi triwulan ketiga, harus menggandeng tangan sehingga geliat ekonomi bergerak.”
Faisal Basri menyebutkan konsumsi rumah tangga yang merupakan komponen terbesar dalam PDB dengan kontribusi 58 persen, akhirnya merosot atau mengalami kontraksi sebesar 5,51 persen.
Kejadian ini, menurut dia, hampir hampir sama parahnya dengan krisis 1998 ketika pertumbuhan konsumsi rumah tangga minus 6,17 persen. “Di era Orde Lama sejak 1960, konsumsi rumah tangga hanya dua kali mengalami kontraksi, yaitu tahun 1963 sebesar 3,95 persen dan tahun 1966 sebesar 1,46 persen,” ucapnya.
Oleh karena itu, menurut Faisal Basri, suntikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau APBN berupa bantuan sosial bagi penduduk miskin dan rentan serta terdampak pandemi Covid-19 sangat diperlukan untuk membantu menahan kemerosotan lebih dalam.
Meski begitu, kemerosotan PDB ini masih tertolong oleh ekspor neto barang dan jasa (ekspor barang dan jasa dikurangi impor barang dan jasa). “Ini terjadi karena impor merosot lebih tajam ketimbang penurunan ekspor, masing-masing 16,96 persen dan 11,66 persen,” ucap Faisal Basri.
Namun karena hingga sejauh ini pandemi Covid-19 belum kunjung mencapai puncak kurva, Faisal memperkirakan kontraksi ekonomi bakal berlanjut pada kuartal ketiga, meskipun tak sedalam pada kuartal sebelumnya. Jika demikian, berarti dua triwulan berturut-turut mengalami kontraksi, sehingga Indonesia bakal memasuki resesi.
Faisal juga mendorong agar pemerintah tidak memaksakan diri agar terhindar dari resesi ekonomi dengan mengutamakan agenda pemulihan ekonomi ketimbang pengendalian Covid-19. “Jika dipaksakan, resesi berpotensi lebih panjang sehingga menelan ongkos ekonomi dan sosial kian besar,” ucapnya.
Menurut Faisal, akan lebih realistis jika pemerintah berupaya maksimum mengendalikan Covid-19 agar perekonomian bisa tumbuh positif kembali pada triwulan terakhir tahun ini. “Sehingga tahun 2021 bisa melaju lebih kencang.”
RR ARIYANI
Diunduh dari: https://bisnis.tempo.co/read/1372740/pertumbuhan-minus-532-persen-faisal-basri-jangan-paksakan-pemulihan-ekonomi